Oleh: Usman Roin *
RUH-menulis tak akan dimiliki kecuali bagi orang yang rajin menulis. Ukuran rajin itu, seorang penulis bisa menentukan sendiri kapan ia harus menulis, baik terjadwal atau tidak. Karena, menulis akan menjadi habit (kebiasaan) yang meningkat manakala itu dilakukan secara konsisten (ajeg). Dengan konsistensi yang terjaga, Winarno dalam bukunya, ‘Kiat Sukses Menjadi penulis: Menjadi Profesional Berdaya Saing Tinggi’ (2012:39) pun menyebut akan mengantarkan menjadi penulis handal. Pertanyaannya, apakah para penulis yang belajar menulis sudah meluangkan waktu sehari, dua hari, dst., untuk membiasakan menulis?
Pertanyaan itu sebenarnya ditujukan bagi para penulis, mahir maupun pemula yang coba-coba ingin belajar menulis. Untuk yang mahir, kebiasaan menulis memang perlu diintensifkan agar kemampuannya mengolah kata-kata terjaga, ide kreatifitasnya semakin mengalir, tulisannya mempunyai karakteristik khas, hingga akhirnya dalam waktu singkat bisa terbukukan agar menjadi karya yang bisa dinikmati oleh orang lain. Jadi, bagi penulis mahir, menulis itu sudah menjadi ruh, seperti kalau orang pagi-pagi sekali tidak minum kopi rasanya ada yang kurang, bila sehabis makan bila tidak merokok dirasa ada yang kurang lengkap sebagai penutup sajian.
Atau meminjam bahasa bukunya Bambang Trim yang berjudul, ‘Karier Top Sebagai Penulis’ (2011:7), memilih jalan menulis itu ibarat jatuh cinta pada seorang gadis ataupun pemuda pujaan. Yang pertama, harus berniat untuk menjalin hubungan dengannya. Kedua, harus memiliki hasrat (passion) untuk memilikinya. Dan ketiga, harus memiliki keterampilan (skill) untuk mewujudkan impian tersebut dengan cara menikah dan hidup bahagia bersamanya.
Bagi pemula, menulis seharusnya menjadi target penjadwalan yang ketat. Karena substansinya, penulis pemula berkeinginan bisa menulis layaknya para penulis yang telah mahir. Hanya saja, penyakit penulis pemula sering tidak istikamah dalam menjaga konsistensi menulis kesehariannya. Padahal dalam angan penulis pemula, hati kecil ingin bisa menulis, namun minim usaha yang dilakukan. Kalau seperti itu, cita-cita menulisnya hanya akan berbuah angan-angan, menjadi konsumen tulisan orang lain yang dalam prakteknya kemudian sering men-share dari satu group WhatsApp (WA) ke yang lainnya. Pertanyaannya, di mana sisi keinginbisaan para penulis pemula bila hanya cerdas men-share karya tulis orang lain?
Selain itu, terdapat ragam alasan yang menjadi kilah “semantara” para penulis agar tak menulis. Ada yang karena lupa, tidak melihat jadwal -bila tergabung dalam group WA-, karena kesibukan, hingga berkilah fokusnya sudah bukan menulis melainkan meneliti. Jika ragam alasan itu yang dikedepankan, selama itu pula tidak akan pernah jadi menulis, hingga akhirnya tidak jadi penulis beneran.
Bagi penulis sendiri, alasan-alasan di atas hakekatnya adalah godaan, agar menulis tidak kunjung dilakukan. Namun anehnya, banyak penulis tergoda dan tak punya kekuatan untuk melawannya. Jadilah, lebih senang menuruti godaan yang dianggap kebutuhan "primer" yang harus diselesaikan karena tuntutan deadline. Padahal realitasnya, kebutuhan itu juga tidak urung terselesaikan.
Renungan kecil ini adalah hasil pengalaman empiris penulis, yang ingin mengajak orang-orang terbiasa menulis. Namun sekali lagi, realitas mengajak ya sebatas mengajak, tidak sanggup meraba hati para penulis yang punya cita-cita bisa menulis, untuk kemudian berubah konsisten belajar menulis menjadi penulis sesungguhnya. Karena tanda-tanda penulis imitasi itu tulisannya hanya asal-asalan, terburu-buru mengakhiri tulisan, tidak konsisten genrenya, dan tidak jelas substansi arahnya.
Adanya jadwal menulis, bila para penulis tak punya ruh ingin bisa menulis, jadwal tersebut hanya sebatas jadwal. Ia sambil lalu, yang tak segera dikerjakan. Jadwalnya tertulis jelas menunjukkan perintah membiasakan menulis, namun tulisannya tak kunjung muncul. Akhirnya, bila penulis ingin bisa menulis, maka penulis kudu terbiasa menulis, bukan malah menghindar tak menulis. Menulis itu mendidik diri menjadi kreatif mengolah kata, mengajak kita untuk senantiasa menggali ide yang ber-seliweran tak kenal waktu, menuntut ilmu guna memperdalam pembahasan, menelusuri minat dan pengembangan kemampuan, membentukan karakter pantang menyerah, proses aktualisasi diri, menyuarakan isi hati, dan transfer pengetahuan. Maka bagi penulis, tak menulis sama dengan menjumudkan diri dalam kelamnya dunia kata-kata. Lalu pertanyaannya, apakah yang diinginkan kebayakan penulis hanya sebatas khayalan untuk menjadi penulis sesungguhnya? Semoga ini bisa dijawab sendiri oleh calon generasi cinta menulis.
Penulis adalah Pegiat Komunitas Penulis Nahdlatul Ulama (KopiNU), Koord. Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Bojonegoro serta Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang
Menampar Khayalan Jadi Penulis
5 Comments
1.230x view