Oleh: Usman Roin*
Menjadi guru yang bukan sekadar mengajar tentu akan lebih terhormat, dan kehadirannya di rindukan siswa. Terlebih ada pameo (sindiran) terkenal mengatakan, guru biasa itu memberi tahu, guru baik itu menjelaskan, guru pintar itu menunjukkan dan guru yang luar biasa itu yang mengilhami. Tentu bila para guru tidak ingin disebut sekadar menyelesaikan tanggungjawab mengajarnya, maka profesi dan aktivitas pembelajarannya perlu dijiwai.
Banyak fakta telah berbicara, bila guru tidak menghadirkan jiwa (sepenuh hati) dalam pembelajaran. Terlebih Prof. Mujamil Qomar (2007:150) dengan gamblang menggambarkan, bahwa kebanyakan guru hanya mengejar rutinitas mengajar dan hampir tidak pernah melakukan inovasi-inovasi pembelajaran. Sehingga tak ayal, bila saat mengajar guru mudah marah, fokus membalas sosial media (sosmed), hanya mengasih tugas resum atau lainnya, serta memilih keluar untuk hal-hal yang kurang penting tujuannya.
Tentu fakta di atas beda dengan kategori guru yang menghadirkan jiwa saat mengajar, yakni telah mempersiapkan bahan pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Bahkan ia akan memberikan pembelajaran yang mengesankan, hingga kemudian anak kerasan untuk berlama-lama di kelas. Setelah selesai pengajarannya pun, ia tidak lantas berbangga diri, melainkan coba mengevaluasi apa hal-hal yang patut dan tidak dilakukannya. Baik dari segi penyampaian materi atau sikap saat pembelajaran berlangsung.
Oleh karena itu, agar para guru tidak termasuk kategori sekadar mengajar, bagi penulis ada beberapa hal yang harus dilakukan:
Pertama, belajar dan mempersiapkan pembelajaran. Pada bagian ini, guru yang ingin pembelajarannya berhasil tentu akan menyisihkan waktunya untuk digunakan belajar, bisa dimalam harinya atau pagi menjelang fajar tiba. Mulai dari mempersiapkan ringkasan yang efektif, efisien dari materi yang akan disampaikan. Bila perlu, konten materi tersebut dibuat dalam bentuk pointes yang dilengkapi dengan varian animasinya. Sehingga, pembelajaran yang dilakukan bukan hanya sambil lalu, melainkan dipersiapkan strategi dengan sebaik-baiknya. Alhasil bila guru melakukan hal ini, gambaran kemungkinan untuk gagal pahamnya anak dari pembelajaran tidak akan sampai terjadi.
Kedua, menyuguhkan sesuatu yang baru. Dalam hal ini, metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidaklah monoton (itu-itu saja) yang berkonotasi membosankan. Melainkan selalu mengedepankan unsur kebaruan baik dari segi konten mata pelajaran (mapel) maupun metode penyampain yang bervariatif. Untuk bisa melakukan, pada porsi ini langkahnya guru harus selalu up date berbagai teori-teori pembelajaran terkini yang bisa dirujuk dari pelbagai buku kependidikan, atau hasil-hasil riset pembelajaran inovatif yang banyak diulas secara komprehensif oleh jurnal-jurnal pendidikan. Bahkan, keberadaannya sekarang bisa dinikmati dengan hanya men-download lewat internet.
Ketiga, mengikuti training (pelatihan). Ini memberi maksud, perkembangan kekinian anak sebagai peserta didik yang heterogen, disertai hadirnya tantangan eksternal yang tak terbendung menjadi semakin kompleks cara untuk mendidiknya. Untuk itu, guru juga perlu melakukan adaptasi dengan rumpun pengetahuan pembelajaran yang terkini pula. Tujuan, agar guru mampu mengadakan perubahan positif konstruktif progresif. Artinya, suatu proses pembelajaran yang mampu mengubah perilaku anak dengan berbagai cara, pendekatan dan strategi pembelajaran yang bersifat kontemporer.
Hal itu bisa terwujud bila guru mau aktif mengikuti pelatihan pembelajaran, baik dari sisi media, metode ataupun materi itu sendiri. Bisa dari lembaga pendidikan sendiri, oleh dinas pendidikan, atau melalui rumpun kecil guru sebidang pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang sudah ada.
Akhirnya, hadirnya kesadaran diri guru untuk meningkatkan profesionalismenya adalah jalan terbaik untuk menghasilkan output pendidikan yang istimewa. Semoga!
*Penulis adalah pegiat Komunitas Penulis Nahdlatul Ulama (KopiNU) Bojonegoro & Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang.
Mengonkretkan Profesionalisme Guru
5 Comments
1.230x view