Oleh: Adjie Dahlan*
Rabu, 30 Agustus 2017 kemarin menjadi babak baru bagi nasib Sekretaris Desa yang berstatus PNS di wilayah Kabupaten Tuban. Pemkab Tuban, secara resmi menarik mereka ke kabupaten sebagai bagian dari perangkat daerah melalui surat edaran yang ditandatangani Plt. Sekda, Achmad Amin Sutoyo. Jika sebelumnya mereka berkantor di desa, maka per 30 Agustus 2017, PNS eks sekdes ini mulai diwajibkan melakukan tugas dan berkantor di kecamatan setempat.
Sayangnya penarikan Sekdes PNS ini terkesan setengah hati dan sekedar mencari langkah aman di tengah pro kontra penarikan sekdes PNS yang belakangan mengemuka. Banyak pihak mengehendaki penarikan sekdes ke kabupaten. Aspirasi ini diwakili oleh Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Tuban. Sedangkan sebagian kepala desa yang telah cocok dengan kinerja sekdes juga menghendaki sekdes PNS itu tetap ditempatkan di desa.
Akhirnya melalui edaran itu, Pemkab Tuban seperti hadir dengan jalan komromi. Sekdes PNS tetap ditarik ke kabupaten, namun kepala desa diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada Bupati agar menugaskan kembali sekdes PNS di desa. Apabila Bupati menyetujui, maka sekdes PNS tersebut dapat ditetapkan sebagai sekretaris desa dengan catatan dinonaktifkan dari jabatan PNS.
Surat edaran Sekda yang menjelaskan penarikan dan penempatan kembali sekdes yang berstatus PNS itu sebenarnya merupakan tindaklanjut dari Peraturan Bupati Tuban No. 30 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No. 2 Tahun 2016 Tentang Perangkat Desa pada ketentuan peralihan. Sayangnya ketentuan perbup Tuban soal penempatan dan pengangkatan sekdes PNS kembali ke desa hanya melalui permohonan kades Kepada Bupati makin menambah daftar kebingungan daerah dalam memposisikan desa di era UU desa.
Lebih bingung lagi kepala desa yang tidak lagi menghendaki sekdes PNS kembali ke desa karena faktor kinerja atau mungkin ingin melakukan penjaringan dengan memberi kesempatan warganya. Tentu kades akan berada pada posisi sulit. Menarik sekdes ke desa tidak sesuai harapan, tapi jika tidak menarik takut dampak politis dari sekdes dan pendukungnya. Diperkirakan, jika edaran ini tetap berlanjut, maka mayoritas kades akan mengajukan penarikan sekdes ke desa karena faktor politis. Karena sekdes meminta kades menariknya kembali. Bukan karena pertimbangan kinerja.
Sebenarnya Perbup Tuban No. 30 Tahun 2017 yang mengatur ihwal pengangkatan Perangkat Desa sebenarnya telah diundangkan pada 21 Juni 2017, namun baru Minggu terakhir bulan Agustus 2017 disebarluaskan, kasak-kusuk yang beredar, meski telah diundangkan, pihak-pihak terkait di lingkup birokrasi masih gamang dan sibuk mendiskusikan, mengingat dalam perbup ini terdapat ketentuan yang dipandang cukup berani.
Salah satu ketentuan yang cukup berani dan menjadikan perbup ini cacat dimata hukum adalah mengenai pengangkatan sekdes PNS yang sebelumnya telah ditarik ke kabupaten dan masih dikehendaki oleh kepala desa. Dalam perbup ini, pengangkatan kembali sekdes PNS cukup dilakukan penunjukan oleh kepala desa melalui permohonan kepada Bupati. Apabila Bupati menyetujui, maka Kades menerbitkan keputusan pengangkatan.
Sayangnya mekanisme permohonan kepada Bupati itu tidak dikenal regulasi di atasnya. PP No. 43 Tahun 2014 Pasal 66 menyebutkan bahwa Pengangkatan perangkat Desa dilaksanakan dengan mekanisme penjaringan dan penyaringan atau seleksi calon perangkat Desa. Sedangkan pada Permendagri No. 67 tahun 2017, selain mekanisme penjaringan dan penyaringan, pengisian perangkat desa juga bisa dilakukan melalui mutasi jabatan antar perangkat Desa di lingkungan pemerintah Desa. Karena itu, prosedur pengisian sekdes sebagai perangkat desa dengan mekanisme menunjukkan melalui permohonan kepala desa kepada Bupati, jelas cacat hukum dan tidak dapat dibenarkan. Boleh saja aparatur sipil negara jadi perangkat desa, namun harus tetap mengikuti prosedur, bukan dengan jalan pintas.
Di samping itu, penempatan PNS di desa juga tidak lagi selaras dengan semangat UU Desa yang hadir untuk memberdayakan dan memberikan pengakuan akan eksistensi desa. Karena itu menempatkan aparatur daerah sama halnya menjadikan desa sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menjadi subsistem dan bawahan pemerintah kabupaten. Karenanya, sebelum kebijakan Pemkab Tuban berkaitan dengan perlakuan khusus bagi PNS eks sekdes ini menimbulkan dampak hukum yang lebih besar, maka Pemkab Tuban kiranya perlu melakukan langkah-langkah strategis.
Jika Pemkab Tuban ingin aman, maka Perbup Tuban No. 30 Tahun 2017 Tentang Perangkat Desa kiranya perlu segera diubah untuk menghapus ketentuan peralihan soal pengisian sekdes PNS yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Surat edaran Sekda yang mengatur pengembalian sekdes PNS harus ditarik kembali jika tidak ingin memunculkan polemik. Jika tidak, sangat mungkin sekdes PNS yang dikembalikan ke desa itu, setelah dilantik akan digugat ke PTUN oleh pihak-pihak yang tidak terima karena dilakukan tanpa melalui prosedur yang baku. Keputusan kepala desa tentang pengangkatan sekdes tanpa melalui penjaringan atau mutasi jabatan akan sangat lemah kekuatannya.
Alternatifnya, bagi desa yang khawatir mekanisme penjaringan akan menghasilkan perangkat desa yang minim pengalaman, maka Kepala desa dapat memakai opsi pengisian perangkat desa melalui mutasi jabatan antar perangkat desa di lingkungan
pemerintah desa.
Dengan mutasi jabatan ini, maka kekhawatiran desa mendapat sekdes yang tidak berpengalaman dalam proses penjaringan dapat dihindari. Caranya tentu dengan melakukan rotasi perangkat desa yang dianggap mampu untuk menempati posisi sekretaris desa yang peranya memang cukup vital.
Cacat hukum selanjutnya dari Perbup perangkat desa ini adalah upaya Pemerintah Kabupaten merebut kewenangan desa, utamanya dalam proses pengisian perangkat desa. Melalui perbup ini, Pemkab memaksa proses pengisian jabatan Perangkat Desa dilaksanakan secara serentak, meski dengan alasan untuk pertama kalinya pasca perbup diundangkan.
Pada momen serentak ini, pemkab juga mengambil alih proses penyusunan soal ujian tulis. "Naskah Ujian Tulis untuk pelaksanaan secara serentak ... disusun oleh Tim Penyusun Naskah ujian Perangkat Desa dari Pemerintah Daerah". Demikian bunyi Pasal 49 huruf b.
Pengambilalihan penyusunan naskah ujian tulis oleh Pemkab sungguh ironi. Langkah ini mengesankan kalau di desa tidak ada SDM yang mampu menyusun naskah ujian. Atas dasar apa pengambilalihan hak desa ini? Sedangkan UU Desa telah memberi rambu-rambu yang tegas bahwa pengaturan desa harus bertujuan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa dan membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
Harusnya, sebagai langkah maju, pemkab Tuban justru musti memberikan kepercayaan kepada desa untuk belajar mengurus kewenangannya sendiri. Jadikan ini sebagai momentum bagi desa untuk membuktikan kemampuannya. Biarkan Tim Pengangkatan desa menggunakan haknya dalam menyusun soal ujian bagi calon perangkat desa. Jika desa tidak pernah diberi kesempatan belajar, sampai kapanpun desa akan terus dibawa bayang-bayang ketidakberdayaan.
Yang paling dikhawatirkan publik, pengambilalihan proses penyusunan naskah ujian oleh pemerintah kabupaten ini dimasuki para pemburu rente yang akan merusak tatanan. Publik telah belajar dari dua kali pengisian perangkat desa serentak di era Bupati Fathul Huda yang penyusunan soalnya dikendalikan Pemkab. Meski tidak ada yang protes, namun mereka paham bahwa aroma kebocoran soal ujian sangat menyengat.
Kekhawatiran adanya oknum yang membocorkan soal soal ujian tidak bisa ditampik begitu saja, lantaran proses penyusunannya menjadi ruang gelap yang tak terungkap. Siapa saja yang terlibat dalam Tim Penyusun naskah kabupaten, adakah keterlibatan perguruan tinggi dan LSM dalam Tim itu, apakah kepolisian di dilibatkan dalam menjamin keamanan soal sejak penyusunan hingga distribusi? Semuanya gelap gulita. Tidak ada penjelasan dalam perbup.
*Penulis adalah Anggota Dewan Pakar Jarkomdesa Tuban.