Oleh: Usman Roin *
Menulis punya fungsi merekam sejarah. Ia hadir menjadi bukti atas sesuatu yang terjadi. Hingga bila penulis boleh menggambarkan, kebesaran entitas suku, organisasi, prestasi, keindahan panorama alam, hingga kelebihan magis baik orang atau barang tidak akan terdengar gaungnya oleh orang lain, tanpa hadirnya penulis yang mengulasnya. Justru dari tulisan yang ditulis oleh para penulislah semua itu terdokumentasikan dengan rapi. Walau sang penulis kadang telah tiada, namun karya abadinya bisa dinikmati sepanjang masa.
Untuk menjadi penulis di abad modern ini relatif mudah. Persoalannya, mau apa tidak meluangkan waktu –menulis– kemudian dibagikan kepada pembaca. Lalu berkelanjutan atau cukup sekali saja (inkonsisten) menulis itu dilakukan. Karena menulis bila tidak dibiasakan, gambarannya ia seperti penyakit dalam yang menggrogoti diri, melahirkan ragam alasan untuk tidak melakukannya. Lalu, selalu menghindar bila mendapat giliran, hingga yang lebih parah, menulis dianggap sebagai kegiatan ‘yang tidak penting’.
Oleh karena itu, naluri menulis yang telah diwariskan para ulama-ulama terdahulu, sepatutnya menjadi renungan bersama. Apa karya abadi yang akan diberikan untuk generasi kita? Tentu pertanyaan ini menjadi cambuk bersama untuk bersikap, mau ikut menuliskan sejarah hari ini dengan kata-kata, atau membiarkannya begitu saja seiring dengan lapuknya usia.
Pertanyaan kecil berikutnya, apa yang diketahui generasi saat ini? Opsi jawabannya, tentu kebutaan pengetahuan, dan kearifan nilai-nilai lokal tidak akan terwarisi untuk masa mendatang. Yang jamak justru, men-share produk-produk hoax yang bisa memicu chaos, dan yang lebih parah tidak pernah mau belajar untuk meningkatkan kemampuan diri, serta hanya menjadi penikmat (konsumen) kata. Ini artinya, gambaran generasi mendatang sudah terbuka –walau hanya sebesar jarum– yakni, bukan bagian dari generasi bermental pencipta. Pertanyaannya, sampai kapan ini akan terjadi?
Atas dasar inilah, guna menghadirkan kemampuan menulis –yang telah kita miliki– ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya:
Pertama, berkumpul dengan sesama penulis. Ini memberi maksud, untuk bisa belajar fisika –satu misal– guru yang harus ditemui tentu guru fisika dan bukan guru bahasa Indonesia. Begitu juga dengan menulis, tips ampuh agar bisa belajar menulis adalah berkumpul dengan sesama penulis. Bisa dengan hadir ke komunitas yang sudah terbentuk atau yang baru akan dilahirkan. Terlebih, untuk mengikat jalinan komunikasi aktivitas tersebut, hari ini relatih mudah dan telah tersedia medianya. Yakni, cukup membuat group dibeberapa sosial media (sosmed) yang fungsinya membangun kedalaman interaksi, saling memberi semangat, hingga proses bimbingan secara rutin belajar menulis dengan ahlinya.
Ke dua, mengikuti pelatihan. Untuk bisa menulis dengan baik dan benar, maka perlu diketahui dahulu caranya. Solusinya, bisa dengan ikut pelatihan yang hari-hari sudah banyak dilakukan instansi atau lembaga. Mulai dari menulis berita, opini, resensi buku dan lain sebagainya. Alhasil, pelatihan menulis yang diadakan tidak sekedar berbicara teori manis menulis an sich, melainkan juga bagaimana peserta diminta mempraktekkan menulis itu sendiri. Dengan demikian, manfaat yang bisa diambil dari pelatihan ini adalah mengidentifikasi sejauhmana kemampuan menulis yang miliki. Untuk kemudian, dibenarkan bila ada kesalahan, ditingkatkan pemahaman yang benar menurut kaidah kepenulisan, hingga akhirnya muncul semangat dalam diri menulis dan menjadi bagian dari generasi penulis-penulis mendatang.
Ke tiga, dengan membaca buku kepenulisan. Menjadi penulis pemula itu tentu butuh pengetahuan yang kaya. Dan hal itu bisa dilakukan dengan membaca buku kepenulisan. Mulai dari buku-buku tentang tips, kiat atau jurus kilat menulis yang banyak ditulis oleh para penulis yang sudah berkecimpung di dunia kepenulisan. Jadi, bagi calon penulis pemula memiliki buku-buku tentang menulis sangatlah dianjurkan. Tujuannya, untuk memotivasi diri cinta menulis, juga dalam rangka membuka wawasan hingga memberikan jalan keluar terhadap hambatan menulis yang dialami, melalui berbagai pendekatan yang ditemukan pasca membaca, guna membangun akselerasi skill menulis.
Akhirnya, menulis itu adalah pekerjaan mulia. Karena ia merekam catatan sejarah agar tak mudah dilupakan. Maka, hadirnya komunitas penulis memang diperlukan dalam rangka menularkan virus menulis dari pemula menjadi mahir hingga kemudian profesional.
.*Penulis adalah pegiat Komunitas Penulis Nahdlatul Ulama (KopiNU) Bojonegoro & Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang.