Reporter: Mochamad Nur Rofiq
blokTuban.com - Dengan segala kesederhanaan, Slamet (45) warga Dusun Laut, Desa Wotsogo, Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, memperjuangkan kedua anaknya yang sedang menuntut ilmu.
Putri pertama hasil pernikahannya dengan Kasmiah kini sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi Islam Negeri di Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan putra yang kedua kini tengah menimba ilmu di Madrasah Tsanawiyah sekaligus mondok di Kecamatan Jatirogo, Tuban.
Mengandalkan tanaman ubi jalar dan cabai pada lahan seluas 1/2 hektare dirinya yakin dapat mengantarkan anak-anaknya pada kehidupan yang lebih baik. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan lain ia juga beternak sapi lokal.
Bekerja sebagai petani sekaligus peternak sudah ia lakukan sejak muda. Pria yang tak pernah mengenyam bangku sekolah ini perlu jadi tauladan para petani di Jatirogo bahkan se-antero Indonesia. Dengan kegigihannya ia rela banting tulang demi mewujudkan cita-cita putra-putrinya.
"Saya tidak pernah sekolah, ya kerjaan saya cukup jadi petani," kata Slamet, merendah.
Penghasilan Slamet bisa dikatakan pas-pasan. Sebab jika dibandingkan kebutuhan, pemasukan sangat minim. Menurutnya, selama ini ia tidak pernah bekerja selain bertani. Tak ayal, jika Slamet kerap resah ketika tak ada hasil panen.
"Jika panen ada pemasukan, saat belum panen ya menunggu sambil tanam tanaman lain yang bisa menguntungkan," tandasnya.
Saat ini, Slamet memutuskan untuk menanam ubi jalar, alih-alih bisa meraih keuntungan usai panen padi musim lalu. Tetapi apa daya, justru harga ubi anjlok ketika panen raya.
Menurut slamet, panen tahun ini harga ubi sangatlah rendah kisaran Rp500, tak sebanding dengan biaya perawatan. Untungnya, dalam perawatan Slamet bisa mengerjakannya sendiri, bibit juga tanpa membeli.
Untuk antisipasi penurunan pendapatan, Slamet tak kekurangan akal. Di sebelah kandang sapi miliknya, ia berusaha menanam cabai merah. Lagi-lagi keberuntungan tak berpihak padanya. Panen ubi harganya jeblok, cabai pun juga keriting daunnya, sehingga tak berbuah maksimal.
"Musim ini cabai juga ikut gagal, akhirnya cukup dibuat masak istri," imbuhnya.
Masih kata Slamet, disaat seperti inilah ypetani Wotsogo itu akhirnya menjual hewan ternaknya. Ada cara sendiri yang dilakukan Slamet ketika harus menjual sapinya. Diceritakan, sapi yang dijual haruslah yang dewasa, artinya yang harga jualnya sudah tinggi. Kemudian, uang penjualan dipakai sesuai kebutuhan saja, sisanya ia gunakan membeli sapi bakalan (sapi kecil) untuk dibesarkan lagi.
"Istilah orang sini 'dikepeli' atau di dijual, tapi sisa uangnya dibelikan lagi sapi yang kecil," paparnya.
Hal itu dilakukan Slamet secara terus menerus agar roda ekonomi tetap berjalan. Di sisi lain Slamet adalah sosok orang tua yang toleransi tinggi terhadap keinginan anak. Asalkan tujuannya baik, ia tak pernah melarang.
"Saya tidak pernah mengekang anak untuk urusan pendidikan," tandasnya.
Ketika anaknya berkeinginan kuliah, ia tetap harus mendukung 100 persen. Urusan ekonomi ia percaya pasti ada beribu-ribu jalan. Kedua anaknya diberi kebebasan memilih sekolah maupun Universitas sesuai hatinya. "Kalau urusan sekolah saya beri kebebasan, sebagai orang tua hanya mendoakan dan membiayai," katanya saat ditemui blokTuban.com di baran (kandangnya).
Harapan Slamet, dengan ilmu yang diraih putra-putrinya, semoga hidup anaknya bisa cukup berguna dan mapan. "Semoga kedua anak saya termasuk anak yang sholeh dan sholehah," pungkasnya.[rof/col]