Sejarah Desa Sidonganti Tuban dan Kesabaran Mbah Bagong Menunggu Penjual Ikan

Penulis : Ahmad Nawaf Timyati Fandawan

 

blokTuban.com – Memiliki penduduk yang bermayoritas sebagai petani, Desa Sidonganti merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Desa dengan Luas sekitar 7.017 Kilometer Persegi ini dihuni kurang lebih sekitar 6.000 an jiwa.

Desa Sidonganti berbatasan dengan Desa Tenggerwetan di sebelah Timur, Desa Trantang di sebelah Utara, Desa Gemulung sebelah Barat dan Desa Guwoterus di sebelah Selatan. Desa ini sekarang dipimpin oleh Ahmad selaku Kepala Desa Sidonganti.

Pada setiap desa pasti mempunyai sejarahnya masing – masing begitupun dengan Desa Sidonganti, namun mengenai sejarahnya sendiri sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya karena seringkali tertuang di dongeng – dongeng secara turun terumurun yang penyampaiannya hanya melalui mulut ke mulut.

Sejarah tentang asal muasal Desa Sidonganti sendiri menurut Sekdes Sidonganti Agus Sutrisno (32) yang diambil dari RPJM Desa menuturkan bahwa sejarah yang paling popular diantaranya adalah menurut Mbah Kaimin, dahulu ada dua orang wali yaitu Bagong (yang disebut guru) dan Lempar (yang disebut murid).

Setiap hari kedua orang tersebut pekerjaannya hanya berburu hewan di hutan yang mana di suatu hari pada saat berburu ke hutan Ndelong (Alas Ndelong) Mbah Bagong dan Lempar berhasil menangkap seekor menjangan yang kemudian hasil tangkapannya itu ingin segera dibawa pulang ke kampong halamannya (Rumahnya), tapi muridnya yang bernama Lempar sudah tidak tahan lagi untuk menahan haus dan lapar di hutan dan sudah tidak tahan lagi untuk menikmati buruannya.

Yang mana kemudian Mbah Bagong dan Lempar mengambil ranting – ranting kayu dan rumput ilalang yang sudah mengering di hutan untuk dibuat membakar hasil buruannya.

Akan tetapi, pada saat itu belum mengenal yang namanya korek api, Mbah Bagong dan Lempar sempat kebingungan untuk menyalakan api. Lalu Mbah Bagong anehnya bisa menyalakan api dan membakar ranting kayu dan rumput tersebut dengan memakai air ludahnya yang keluar dari mulutnya.

Dan kedua orang itu pun bertempat tinggal disebuah tempat yang bernama Banjarrejo (Mbanjar) dan mempunyai ladang yang terletak di Sidonganti. Setiap hari dia butuh lauk pauk,  kebetulan tempat lauk pauknya yang dekat berada di Sidonganti (Ladangnya) dan tempatnya yang Banjarrejo (Mbanjar) dahulu jauh dari orang jualan lauk pauk, dan kalau ingin lauk pauk dia datang ke Sidonganti dan menunggu orang berjualan ikan dari Tambakboyo kemudian beliau memilih untuk bertempat tinggal di Sidonganti.

Dikemudian hari terjadilah pembentukan sebuah desa yang terdiri dari tiga dusun yakni Dusun Tegal Guwo, Dusun Soco dan Dusun Sidonganti. Dan kenapa dinamakan Desa Sidonganti karena berasal dari Kata SIDO yang berarti Jadi, dan NGANTI yang berarti Menanti atau menunggu yang mana dikarenakan Mbah Bagong dan Lempar datang ke Sidonganti untuk menunggu orang jualan ikan.

“Menurut sesepuh dulu katanya di sini itu yang babat alas Desa Sidonganti itu ada Mbah Bagong dan Mbah Lempar yang dulu katanya aslinya Banjarrejo itu bukan asli orang Sidonganti. Beliau berdua itu Mbah Bagong dan Mbah Lempar itu menurut sesepuh dulu itu pengembara atau dulu juga orang itu angon di sini, angon itu pengembala biasa mencari makan di wilayah Sidonganti," tutur Agus Sutrisno (32), Kamis (19/10/2023)

Dulu orang tersebut, lanjutnya setiap mau makan katanya menunggu makan itu di Desa Sidonganti kalau bahasa orang dulu namanya Nganti jadi nganti itu ngenteni, ngenteni itu kalau bahasa Indonesia menunggu. Jadi disebutnya Desa Sidonganti itu Sidonganti artinya jadi menunggu kalau bahasa Indonesia seperti itu, jadi kalau setiap mau mencari makan menunggu disini seperti itu terus dulunya kata sesepuh Mbah Bagong dan Mbah Lempar itu setiap menunggu sambil mencari jerami untuk memasak disini.

Ditambahkan Turyani selaku Seksi Pelayanan Desa Sidonganti, bahwa di Dusun Soco sendiri terdapat sebuah makam dari seorang sesepuh yang bernama Mbah Arsyad atau warga Dusun Soco biasa menyebut Mbah Kamplok/Tamplok yang konon adalah seorang yang berasal dari Banten  juga merupakan murid dari Sunan Bonang.

Ia datang ke Dusun Soco untuk menyebarkan agama Islam dan mencari murid di sana. Konon diberi julukan Mbah Kamplok/Tamplok dikarenakan beliau suka memeluk atau dipeluk oleh murid – muridnya.

“Kemudian beliau nememukan sebuah air yang bersih dan indah juga pohon – pohon besar, kemudian beliau bertempat di situ terus dia membuat rumah dengan motong kayu banyak dan menamai desa Pang (kayu bercabang) atau Soco terus buat tiang, cabangnya itu banyak terus dipotong buat tiang rumah, kalau ada masa – masa depan, rejaning zaman dinamakan Dusun Soco,” ungkap Turyani.

Mengenai tradisinya, Desa Sidonganti masih terdapat sebuah tradisi berupa manganan atau sedekah bumi dan tayuban yang dilakukan setahuan sekali secara bergantian di Sumur Pandeng di Sendang yang berada di Dusun Soco. Sedangkan di makam umum berupa sedekah bumi saja.

Mengenai potensinya sendiri, Pemdes Sidonganti berfokus pada pengolahan hasil ladangnya yang mana memang di Desa Sidonganti ini bertumpu pada sektor pertanian. Selain itu juga pihak desa untuk sekarang memiliki rencana dengan mengupayakan untuk perbaikan infrastruktur dengan pembuatan jalan usaha tani.

“Kalau di sini itu potensinya kan dari pertanian dari hasil ladang juga, mungkin kedepannya pengolahan dari hasil pertanian apa yang akan kita perbaiki. Untuk saat ini kita fokus ke pembuatan jalan usaha tani pokoknya dari infrastuktur dulu nanti baru setelah itu kalau transportasinya bisa lancar kita mungkin akan mengadakan pelatihan misalkan dari jagung itu kita olah menjadi apa seperti itu,” tutup Agus Sutrisno. [Naw/Ali]