Penulis: Kama Dahayu
blokTuban.com - Dunia Pendidikan tak pernah habis menjadi perbincangan. Sejak dulu pendidikan selalu menjadi isu menarik untuk dibahas. Mulai dari pemerataan pendidikan, kurikulum yang gonta ganti, hingga kualitas SDM yang belum terangkat. Permasalahan pendidikan seakan tak pernah habis seperti permasalahan hidup kita yang tak pernah surut.
Saat ini pendidikan kita semakin disorot karena permasalahan ‘pungli’ atau sering disebut pungutan liar. Belakangan santer terdengar berita tentang salah satu kepala sekolah di provinsi sebelah mendapat teguran dari pemerintah daerah setempat karena telah menarik biaya dalam wujud sumbangan untuk pembangunan.
Saya yakin semua tahu masalah ini. Niatnya bagus, baik pula sebab berusaha berpihak pada rakyat. Hanya saja niat baik ini akhirnya menjadi kurang tepat sebab tak dibarengi dengan pengecekan di lapangan. Mengapa demikian?
baca juga:
Mau Daftar Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2023? Cek Syarat dan Caranya
Baik mari kita buka kitab Juknis BOS dari pemerintah pusat. Menurut juknis BOS Pasal 21 yang mengatur tentang larangan pengelolaan Dana BOS pada poin i) memelihara sarana dan prasarana sekolah dengan kategori kerusakan sedang dan berat, dan poin j) membangun gedung dan ruangan baru.
Dua poin tersebut menurut maknanya jelas menyebutkan bahwa sekolah tidak boleh mengelola Dana BOS terkait pembenahan sarpras kategori sedang hingga berat dan melakukan pembangunan baru.
Sementara era terus berjalan, kebijakan terus berubah mengikuti perkembangan zaman yang membuat sekolah mau tidak mau harus mengikuti pula dengan memberikan sarpras penunjang kegiatan belajar mengajar yang layak.
Tentu saja pembenahan sarpras kategori sedang hingga berat bahkan pembangunan gedung baru dibutuhkan, hal ini tentu tak bisa dipungkiri sebab tak bisa main sihir dengan mantra abakadabra maka jadilah gedung baru (kecuali para guru dan kepsek penyihir).
baca juga:
Contoh Soal Tes Skolastik Beasiswa LPDP 2023, Cek Link Download PDF
Belum lagi lomba yang tidak diadakan instansi pendidikan seperti dinas pendidikan atau instansi resmi pendidikan lain yang sifatnya tidak berjenjang hal ini tidak bisa dibiayai oleh BOS sehingga mau tidak mau harus mencari dana lain di luar dana BOS.
Jika demikian mengapa pemerintah menuntut sekolah untuk menjadi wadah berproses bagi peserta didik dalam hal lomba jika lomba saja dibatasi. Sedangkan lomba yang bersifat luas justru lomba yang diselenggarakan di luar instansi resmi pemerintahan.
Poin lain tentang pengelolaan BOS adalah, konsumsi diklat pun hanya dijatah satu hari satu nasi terlepas dari diklat yang menginap atau tidak. Bagaimana peserta didik dapat makan sekali dalam sehari? Apakah manusiawi? Ya kita semua manusia dan tentu tahu cara memanusiakan manusia. Bentuk anggaran semacam ini semoga juga bentuk dari kemanusiaan. Ya, semoga.
Selain itu, masalah selanjutnya adalah kurangnya tenaga pendidik/kependidikan di sekolah. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 48/2005 Jo PP No. 43/2007 tentang larangan sekolah merekrut guru honorer, sementara dalam dana BOS honor guru dapat diberi jika guru honorer tersebut sudah terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
baca juga:
Apa Itu Kurikulum Merdeka? Ketahui 3 Karakteristiknya
Sementara untuk pendataan Dapodik butuh waktu paling tidak dua tahun atau lebih tergantung keberuntungan si honorer tersebut dan tentu saja tergantung seberapa cekatannya operator Dapodik sekolah dalam memperjuangkan honorernya.
Apabila Nasib terburuknya sampai tiga tahun lebih si guru honorer atau pegawai honorer yang tidak terdaftar Dapodik bagaimana nasibnya? Kecuali jika honorer benar-benar tak butuh gaji karena murni pengabdian.
Bagaimanapun menjadi pendidik adalah membawa manusia yang berkemanusiaan dan tentu saja membawa manusia yang berkemanusiaan mahal harganya sebab tak hanya ilmu tapi juga butuh keterampilan khusus.
Maka dengan kebutuhan dalam rangka mencetak SDM bangsa Indonesia atau membangun generasi muda sebagai generasi berkualitas ini membutuhkan hal tersebut.
Nah, jika hal tersebut kemudian dibatasi dalam pengelolaan BOS maka darimana sekolah dapat dana melakukan pembenahan? Darimana sekolah menggaji guru/pegawai honorer yang belum terdaftar Dapodik? Darimana sekolah dapat membiayai lomba yang diselenggarakan di luar instansi resmi?
Maka mau tak mau arahnya adalah komite sekolah. Komite sekolah itu apa sih? Kita kembali ke juknis BOS bahwa Komite adalah Lembaga mandiri yang beranggotakan wali murid, guru, dan tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Sudah dibaca? Sudah dipahami? Mari kita bahas bersama.
Anggota komite sekolah adalah wali murid, guru, dan tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Sudah jelas tokoh-tokoh inilah yang menjadi tumpuan sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dalam hal pembiayaan agar sekolah tetap menjadi tempat yang tepat bagi tumbuh kembang kualitas generasi bangsa.
Lalu darimana dana didapat? Bisa saja pihak komite sekolah memberikan sumbangan dana misal seratus juta rupiah tiap tahun. Tapi pertanyaannya apakah seratus juta cukup setiap tahun? Jelas tidak jika melihat kondisi saat ini. Lantas bagaimana cara mengatasinya? Kita tentu saja tahu jawabannya: melakukan pembukaan sumbangan atau pembayaran komite.
baca juga:
Dilema SD Negeri di Tuban Nol Siswa Baru, Dinas Pendidikan: Tidak ada Merger Sekolah
Sumbangan berarti tidak dibatasi. Ya belum tentu juga. Sebab di dunia ini adakah yang mau menyumbang banyak setiap tahun? Ada, hanya 1:100 mungkin melihat keadaan ekonomi saat ini demikian.
Nah, mari kita bredel lagi. Anggaplah dalam satu sekolah terdapat lima ratus siswa yang diberikan kebebasan sumbangan per tahun. Dari lima ratus siswa, tiga ratus siswa menyumbang seratus ribu rupiah dan dua ratus siswa menyumbang satu juta rupiah rupiah maka dalam satu tahun paling tidak sekolah mendapat dana 230 juta rupiah. Terlihat banyak ya. Mari kita bedah lagi.
Dana tersebut digunakan untuk honor Guru Tidak Tetap/Pegawai Tidak Tetap misal kita buat satu juta untuk (Guru = 500.000,00, Pegawai = 500.000,-) dikalikan jumlah GTT/PTT 9 orang maka butuh tujuh juta dalam satu bulan, dikalikan 12 bulan sehingga menjadi 108 juta rupiah dalam satu tahun.
Honor GTT/PTT yang tidak tercover BOS saja butuh dana setidaknya seratus juta rupiah. Sisa masih 130 juta untuk perawatan dan pembangunan, pembiayaan lomba, pelatihan dan lainnya apakah cukup? Silakan dipikir sendiri. Anda sudah cerdas dan kritis dalam berpikir.
Baiklah, mari kita lanjut ke permasalahan berikutnya. Saat ini adalah bulan kemerdekaan: Agustus. Kita semua tahu di Agustus tentu saja akan diruwetkan dengan Peringatan Hari Besar Nasional (PHBN).
Berbagai kegiatan dilakukan mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, desa, kabupaten, maupun sekolah turut melaksanakan. Salah satu peringatan tahunan dalam PHBN adalah adanya karnaval, sepeda hias, gerak jalan, dan lainnya yang seakan diwajibkan setiap sekolah mengikuti kegiatan tersebut.
Pertanyaannya, darimana biaya itu didapatkan? Sementara Dana BOS tidak dianggarkan untuk kegiatan semacam ini. Siapa yang membayar? Kepala sekolah atau guru bukanlah sultan yang dengan mudah memberikan uang untuk kegiatan, mereka juga manusia, mereka juga rakyat, yang mendapat tugas sebagai pelaksana dari atasan—sang pembuat kebijakan, tetapi mengapa mereka yang pelaksana itu lantas harus diadili atas perbuatan yang bukan berasal dari inisitifnya? Instansi pendidikan ditabrak dari berbagai pihak.
Satu sisi pemerintah daerah memberikan surat keputusan mengikuti kegiatan, di sisi lain wali murid menekan instansi pendidikan seakan menarik iuran. Tidak salah wali murid melakukan hal itu, begitu pun pemerintah daerah, keduanya manusiawi sebab yang satu terhimpit tugas dari atasan, yang satu terhimpit realita kehidupan.
Dalam penarikan iuran pun masih saja ditabrak dengan iuran yang terlalu mahal, siswa yang tidak ikut kegiatan juga diminta membayar. Demikianlah hal-hal yang dilontarkan beliau-beliau wali murid kepada instansi pendidikan.
Jika iuran sedikit maka mau tidak mau harus dilakukan penghematan dengan berbagai cara salah satunya adalah mengajak seluruh warga sekolah mengupayakan persiapan kegiatan. Namun, hal ini tentu saja berisiko peserta didik tidak mendapat hak dalam mendapat pengajaran.
Nah, jika demikian maka iuran harus diperbesar untuk dapat mengerahkan ‘jin’ pekerja sehingga seluruh warga sekolah dapat dengan tenang melakukan kegiatan belajar mengajar dengan nyaman dan bahagia tanpa berpikir persiapan kegiatan tersebut. Pertanyaannya, seberapa banyakkah yang siap membayar iuran banyak? Entahlah, hanya alam yang bisa menjawabnya.
Kita bandingkan dengan sekolah swasta yang melakukan penarikan uang gedung dan lainnya tidak ada yang mempermasalahkan. Tahukah Anda bahwa sekolah swasta juga mendapat hak yang sama dari pemerintah berupa Dana Hibah seperti halnya sekolah negeri yang berupa Dana BOS.
Mengapa saat sekolah swasta mendapat hak yang sama dengan sekolah negeri dari pemerintah tentang dana bantuan pendidikan, tetapi pemerintah cenderung banyak membatasi sekolah negeri terkait penarikan keuangan untuk menutup anggaran yang tidak bisa dicover dana BOS? Jika hal ini terus terjadi maka mungkin saja sekolah negeri akan jauh tertinggal dengan sekolah swasta terkait fasilitas yang akan mempengaruhi kualitas.
Dengan demikian, sekolah swasta tidak mendapat teguran terkait penarikan iuran dan dapat dana hibah pula, sementara sekolah negeri meskipun dana BOS diberi dengan segala batasannya tetapi penarikan iuran untuk menutup kekurangan dari BOS dibatasi. Sekolah swasta dengan mudah menyelenggarakan pelatihan untuk guru dan siswa, sementara sekolah negeri sulit melakukan hal serupa. Kesadaran semacam ini perlu dibangun agar dalam menanggapi sesuatu tidak berat sebelah dan dapat lebih bijaksana sebab dilihat dari berbagai sudut pandang.
Fakta di lapangan sudah saya sajikan, tidak bermaksud menyalahkan satu pihak atau membela pihak lain hanya saja alangkah bijaksananya jika kita bersama saling bertabayun dan bekerja sama dalam menuntaskan permasalahan ini sehingga dunia pendidikan tidak makin ngawur dan generasi bangsa akan semakin berkualitas. Dibutuhkan kesalingmengertian antarsemua pihak agar dapat terwujud pendidikan yang berkemanusiaan dan berkesejahteraan serta merasakan merdeka yang benar-benar merdeka.
Mari di bulan kemerdekaan ini kita jadikan evaluasi bersama tanpa saling menyalahkan dan bersama membangun pendidikan yang mencerminkan kurikulumnya. Kurikulum Merdeka Belajar di bulan kemerdekaan. Semoga kita semua merdeka. Tabik.
Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS