Reporter : Ali Imron
blokTuban.com - Pembentukan entitas koordinasi terkait multi-hazard kawasan ASEAN sangat mendesak untuk dilakukan, beserta konsep dan strateginya, karena tidak ada yang dapat mengetahui, kapan bencana terjadi. Entitas tersebut merupakan bantuk mitigasi bersama negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak kesamaan.
"Gempa yang terjadi di Turki beberapa waktu lalu menjadi peringatan buat semua negara-negara yang rawan bahwa bencana seperti itu bisa terjadi kapan saja dengan dampak yang lebih buruk jika tidak segera dilakukan upaya mitigasi secara komprehensif," ujar Dwikorita seperti dilansir dari situs BMKG, Selasa (16/5/2023).
Gagasan BMKG tentang pembentukan Pusat Koordinasi Multi Bahaya di Kawasan Asia Tenggara disampaikan dalam pertemuan "AEIC Strategic Meeting Forum" secara daring disela-sela agenda KTT ASEAN ke-42 ini, merupakan respon terhadap semakin kompleksnya fenomena multi-hazard yang juga berpotensi terjadi di kawasan ASEAN.
Dalam pertemuan tersebut, dihadiri Perwakilan Malaysia, Timor Leste, Myanmar, dan Philipina, serta Kementrian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), IOTIC-UNESCO, pakar kebencanaan dari Institute Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Strategic meeting tersebut diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat disampaikan pada pertemuan level Pimpinan KTT ASEAN.
"Tidak hanya Indonesia, semua negara di kawasan Asia Tenggara juga menghadapi situasi yang sama dimana bencana yang menghantam terjadi begitu banyak dan dalam waktu bersamaan. Frekuensi kejadiannya pun semakin sering dengan intensitas meningkat dan durasinya makin lama," ungkap Dwikorita di Labuan Bajo, Kamis (11/5).
Dwikorita menyebut, BMKG selaku institusi yang mengoperasikan ASEAN Earthquake Information Center (AEIC) memandang perlunya memformulasikan rencana strategis di kawasan untuk mengantisipasi berbagai ancaman bencana tersebut.
Kesamaan kompleksitas latar belakang tataan tektonik dan lokasi geografik di kawasan ASEAN, lanjut dia, sangat mungkin menjadikan seluruh wilayah negara ASEAN memiliki potensi multi-hazard dimana kejadian bencana geologi bersamaan dengan kejadian bencana hidrometeorologi, atau yang dikenal sebagai bencana Geo-Hidrometeorologi.
"Isu ini harus mendapat perhatian semua kepala negara ASEAN, karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kejadian gempabumi dan tsunami yang komplek dan menimbulkan banyak korban jiwa, justru terjadi pada saat sistem peringatan dini bahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disiapkan, akibatnya kita tidak dapat meminimalisir dampak dari bencana tersebut," tuturnya.
Sementara itu, Pakar ITB sekaligus juga Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia, Harkunti mengatakan bahwa negara-negara ASEAN melalui AEIC diharapkan dapat mengimplementasikan dua tujuan dari UN DECADE OCEAN SCIENCE, yaitu dimana pada Tahun 2030, 100% komunitas yang berada di wilayah berisiko tsunami harus memiliki kapasitas kesiapsiagaan dan resiliensi terhadap tsunami sekaligus memastikan peringatan dini yang "actionable" sehingga respon dini juga dapat segera dilakukan.
"Jadi, baik Early Warning dan Early Action dapat diimplentasikan dengan baik " tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Filipina Ishmael Narag mengatakan, bahwa seluruh member AEIC harus bekerja sama dan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan bumi kekinian. Tidak hanya terkait pada penguatan sistem pendukung monitorin AEIC, tetapi juga kerjasama saintifik, melakukan riset bersama, agar penguatan kapasitas keilmuan dari negara-negara anggota AEIC akan semakin meningkat.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia menyambut baik gagasan yang dikemukakan BMKG tersebut dan akan mengupayakan untuk mengangkat isu tersebut di KTT ASEAN Ke-42.
"Pada prinsipnya Kementerian Luar Negeri mendukung untuk mengangkat isu ini pada KTT ASEAN periode berikutnya, oleh karenanya prosedur yang harus dilakukan untuk pengusulan pada level ASEAN, dapat dilakukan bersamaan paralel dengan penyiapan-penyiapan teknis, termasuk diskusi koordinasi secara "informal"," ujar perwakilan Kementerian Luar Negeri.
Pertemuan ditutup dengan penyampaian rekomendasi oleh Profesor Jan Sopaheluwakan, Pakar dari Universitas Indonesia yang turut membidani lahirnya InaTEWS, terkait upaya yang harus dilakukan ke depan, yaitu peningkatan kapasitas di level regional, transformasi peringatan dini yang lebih humanis, pengembangan Tsunami Early Warning System menjadi Multi-Hazard Early Warning System, di level ASEAN, dan peningkatan kerjasama untuk dapat mencapai 100% Tsunami Ready Community. [Ali]
Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS