Jualan Kemiskinan Masih Menjanjikan

Oleh : Bambang Budiono (Penulis yang domisili di Kecamatan Plumpang)

blokTuban.com - Sebentar lagi kita akan panen usaha peng-katrolan citra dan janji-janji manis dari kontestan politik 2024. Kemakmuran akan diobral dari podium ke podium, dari panggung ke panggung, dari diskusi ke diskusi yang dihadiri peserta bayaran. 

Kalsik. Semua klise dan klasik. Hampir tak ditemui pikiran baru dalam acara-acara semacam itu. Dan yang lebih memprihatinkan, setahun ke depan aksi-aksi semacam itu akan terpaksa kita telan, atas nama sungkan. 

Mereka yang kebetulan dekat dengan tim kemenangan dari para kontestan, atau bahkan kontestanya sendiri, akan berpesta dengan sokongan dana besar, yang di labeli modal politik.

Mereka yang tidak, paling akan menyimak kabar-kabar pesta pora tersebut dari media sosial. Atau paling banter menyaksikan spanduk-spanduk raksasa yang terpasang sepanjang jalan, pertigaan, perempatan, pintu masuk gang yang jauh dari kesan indah. Atau, mendapat kaos bergambar kontestan bila beruntung. Serta sedikit uang saku pada malam sebelum pencoblosan. 

Sebenarnya, kalau kita mau sedikit saja jeli. Jualan mereka dari tahun- ke tahun. Generasi-ke generasi selalu saja sama. Kemiskinan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur. Bahkan, ada guyonan kalau ke empat hal tersebut sengaja di abaikan agar setiap saat laku dijual. Entahlah. 

Baca terkait:

Marwah Desa dan Silau Pembangunan

Suatu hari, ada keperluan mendesak yang mengharuskan berkunjung ke rumah seorang anggota dewan. Seperti biasa diduga sebelumnya. Rumahnya indah dan besar. Ada kolam segala. Sepanjang gang menuju rumah anggota dewan itu, beberapa rumah tampak tertempel stiker keluarga miskin. Kondisi perumahan mereka memang layak bersetiker dengan bunyi kalimat itu.

Anggota dewan itu sudah beberapa periode menjabat. Saya masih ingat janji-janji politiknya 4 tahun lalu. Janji klise dan klasik, tentang empat komoditas jualan terlaris. Kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan pembangunan. Seisi ruangan bertepuk tangan waktu itu.

Setelah berperiode-periode menjabat. Stiker di rumah tetangganya tak kunjung lepas. Cerita singkat tentang kunjungan ke rumah anggota dewan tersebut membuat saya merenung panjang. Mencari-cari korelasi antara janji podium dan fakta. Anda tentu bisa menebak temuan dari pencarian saya. 

 

Berternak ke-lupaan 

Untuk bisa mengatasi masalah, orang harus kenal dengan masalahnya, lalu selanjutnya menggunakan pengetahuan sebagai salah satu senjata. Setidaknya, dalam literatur berbunyi seperti itu. 

Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu memimpin anggotanya untuk keluar dari masalah. Kriteria umum kepemimpinan berbunyi begitu. 

Mari kita cermati dua pernyataan di atas. Tahu sedang menghadapi masalah apa, adalah hal yang sangat penting untuk mereka yang ingin keluar dari masalah. Kesadaran bawa diri sedang bermasalah adalah situasi paling awal untuk merumuskan solusi.

Kesadaran tingkat awal inilah, yang justru sering kali terlupakan pada masyarakat negara-negara berkembang. Sering kali opini kita terbentuk atau sengaja dibentuk. Bahwa kita sedang baik-baik saja. Hidup tanah subur, iklim yang mendukung, masa lalu yang gilang-gemilang, harapan cerah di masa depan, dan seterusnya. 

Penggiringan opini begitu mudah dilakukan. Bahkan tukang becak yang baru sekali narik pun, uangnya rela dibelikan kupon undian. Demi janji kemenangan. Atau karyawan baru yang rela kredit HP mahal demi gengsi. 

Kondisi ini jelas tidak natural. Ada dialektika yang gagal antara mereka yang sadar masalah, dengan yang tidak sadar. Kalimat itu digunakan untuk memperhalus kata pembiaran. 

Kondisi semacam ini pulalah, yang terus diternak oleh segelintir orang agar masyarakat mudah dikontrol dan diarahkan. Dalam masyarakat yang merasa dirinya sedang baik-baik saja. Citra kemakmuran itu tampil sempurna. 

Kecemasan baru akan disebar dekat musim politik. Seakan menggugah kesadaran. Para kontestan memaparkan sejumlah fakta, bahwa masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Merekalah dewa penyelamat itu. Masyarakat terhenyak dan manggut-manggut. Setidaknya sampai beberapa bulan ke depan mereka merasa terwakili dan memiliki super hero. Sampai musim politik usai. Dan apalah daya, bangsa kita, bangsa pelupa. Begitu saja ingatan dan kesadaran akan ditumpuk oleh kabar-kabar baru. Dan tukang becak kembali antri di rumah bandar kupon undian.

Di mana para pemimpin pilihan rakyat saat masyarakatnya dalam kondisi semacam itu?!. Ah.... Jangan tanya mereka di mana. Kantor sejuk berpendingin ruangan dan jamuan makan siang, bisa membius manusia paling jenius sekalipun untuk menjadi pelupa. [*/Ali]

 

Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS