blokTuban.com - Entah apa saja yang sudah kulewati di tahun 2020, aku hanya ingin menuliskan sebuah pintu harapan. Malam ini aku terduduk di teras depan rumah, menatap kesepian tanpa ada tawa manusia. Kali ini aku tak sendiri, rupanya bulan dan bintang juga ikut andil untuk menyaksikan harapanku suatu saat nanti.
Aku jadi teringat mendiang ayah. 2 tahun yang lalu ayah pergi meninggalkanku karena kecelakaan yang menewaskannya. Bukan hanya meninggalkanku saja, tapi juga meninggalkan ibuku dan kakak-kakakku.
Hidup terasa hampa, melihat kedepanya jika ibu harus menjadi kepala rumah tangga yang harus menghidupi ke3 anaknya. Rasanya tidak tega, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku masih pelajar, masa depanku masih sangat panjang.
Untukku di tahun berikutnya kuharap dirimu sudah mengalami proges untuk mimpimu saat ini. Di tahun berikutnya semoga aku sudah berkeliling dunia, menjamah semua pelosok negeri. Aku hanya ingin menemukan pengalaman dikota orang.
Berusaha beradaptasi dengan orang asing. Kata ayah, dimanapun aku berada, selalu tinggalkan jejak kebaikan di dalamnya. Lita tersenyum, tak menyangka bahwa apa yang terjadi kali ini juga salah satu harapannya di masa lalu. Lita pun menutup buku lusuh pemberian ibunya kala itu.
"Ayah Lita rindu.." monolog Lita dengan memeluk kedua lututnya. Tak sadar air mata sudah terjatuh sejak tadi. Rindu yang paling jauh, Lita hanya memejamkan mata untuk mengungkapkan salam rindu pada pada ayahnya. Lita mengusap air matanya, di tahap keikhlasan Lita masih saja tak mahir dalam hal itu.
Lagi-lagi Lita hanya menyalakan takdir akan semua yang terjadi padanya. Lita segera berjalan menuju kamar ibunya. Saat memasuki kamar ibunya Lita di sambut senyum hangat khas ibunya.
"Ibu.., andai saja ayah tidak pergi meninggalkan kita, pasti ibu tidak akan bersusah payah bekerja" lirih Lita "Di umur ibu yang sudah seharusnya hanya menikmati hasil dari anak ibu, tapi Lita belum bisa memberikan apa-apa untuk ibu" lanjut Lita dengan sesekali mengusap air matanya.
"Nak, ini semua sudah takdir, dan takdir bukan untuk ditentang, melainkan diterima keberadaannya" dengan suara khas ibunya yang mampu memberikan kehangatan untuk dirinya. "Berbaringlah di sebelah ibu" dengan menepuk ranjang sebelahnya.
Keesokannya Lita sudah di sambut oleh sinar matahari diufuk timur. Melihat ibunya yang sudah tidak berada di ranjang sampingnya. Lita melangkahkan kakinya membuka gorden kamar. Pemandangan pertama yang ia tangkap ialah riuhnya burung untuk saling bercengkrama. Mendengar ciutannya saja sudah membuatnya tersenyum.
Lita segera berjalan menuju dapur menemui ibunya yang sedang memasak. Yaa, itulah yang selalu ibu Lita lakukan sebelum berangkat bekerja, memasak sarapan pagi untuk anaknya. "Pagi bu, apa ada yang bisa Lita bantu?" tanya Lita sambil berjalan mendekat ke ibunya.
"Pagi sayang, bantu ibu menyiapkan makanan ini ke meja makan!" jawab ibunya, baiklah jawab lembut Lita, "hati-hati jangan sampai tumpah" kata ibu sambil berjalan di belakang punggung Lita, "iyaaaaaa ibuuuu" dengan nada meledek khas Lita.
Ibunya hanya tersenyum melihat tingkah anak perempuannya. Selesai sarapan Lita hanya berdiam diri di dalam kamarnya.
^^ syair sendu kembali mengalun merdu dalam eloknya rindu yang beradu ^^
~nestapa rindu.
Lita termenung dipojok kamarnya, kasus yang menimpa ayahnya ternyata di sebabkan oleh tabrak lari. Lita masih menerka nerka siapa yang tega melakukan, andai pelakunya mau membawa ayah Lita kerumah sakit, mungkin nyawa ayahnya tertolong. Lita segera mengakhiri pikirannya, mungkin saja itu sudah takdir batas waktu ayah Lita untuk berpulang.
Dering telepon dari hp Lita cukup membuyarkan lamunannya. Lita bergegas mengangkat telepon dari pembicara di seberang sana. "Hallo, assalamualaikum" sapa Lita menyambut seseorang diseberang sana untuk membuka topik selanjutnya. Rupanya dari Lia, gadis periang yang sudah menemaninya dari bangku SD dulu. Kalau ditanya apa yang sedang mereka bicarakan, maka hanya sekedar ucapan selamat pagi dengan suara cempreng khas Lia. Gadis cerwet yang sudah menemaninya sejak bersekolah di sekolah dasar sudah seperti saudara.
Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa mereka berdua adalah dua saudara kembar, tentu saja orang mengatakan itu. Berat dan tinggi badan mereka memiliki selisih yang tidak jauh berbeda. Dengan sifat yang saling bertolak belakang, tapi itu tidak membuat persahabatan mereka terganggu.
Telepon sudah berakhir. Lita kembali termenung, Lita sedang bergulat dengan fikirannya, entah apa yang Lita fikirkan. Semenjak kejadian itu Lita jadi sering sekali melamun. Hingga muncul di fikiran Lita bahwa semuanya memang sudah takdir seperti yang di katakan ibunya. Tidak seharusnya Lita tenggelam dalam kesedihan terus menerus, Lita harus membuka lembaran baru lagi.
_
***
Perpisahan yang paling menyakitkan ialah tulisan takdir yang mengatakan bahwa orang yang kita cintai sudah menyelesaikan tugasnya di dunia. Aku tidak tau kapan terakhir kali nanti aku menghembuskan nafas. Takdir memang semengejutkan itu, bagaimana bisa kita dengan bangganya mengatakan ingin melakukan kebaikan esok saja. Padahal belum pasti apa masih ada kesempatan untuknya menghirup udara segar esok.
"Aku percaya kalau kebahagiaan itu sementara maka kesedihan juga begitu. Allah SWT tak akan memberikan cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuan.
Erza Yulita Anggraeni dari sekolah SMPN 5 Tuban duduk di bangku kelas 9 Asal dari Tuban Jawa Timur, jln.patimura Gg07 nomor 20 (*)
Temukan konten cerpen menarik lainnya di GOOGLE NEWS