Reporter : Savira Wahda Sofyana
blokTuban.com - Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya resmi disahkan menjadi Undang-undang pada Selasa (12/4/2022) melalui rapat paripurna DPR RI ke-19. Lahirnya kebijakan tersebut merupakan wujud dari keberpihakan negara pada banyaknya korban kasus kekerasan seksual.
Lahirnya Undang-undang itu sendiri tidak lepas dari perjuangan berbagai pihak mulai dari pendamping korban, akademisi, organisasi masyarakat sipil, DPR RI, pemerintah dan juga korban dari tindak kasus kekerasan seksual.
Oleh karena itu, adanya peresmian ini turut mengundang haru banyak pihak. Menurut Koalisi Perempuan Ronggolawe (KP Ronggolawe) melalui Siaran Pers tertulisnya jika UU TPKS yang baru saja diresmikan tersebut merupakan contoh baik dari kerjasama antara masyarakat, sipil, pemerintah dan parlemen dalam menghasilkan sebuah UU tersebut.
Untuk itu Forum Pengada Layanan (FPL), Jaringan Mayarakat Sipil (JMS) serta para penyintas kekerasan seksual, mengapresiasi Panja RUU TPKS Baleg RI yang sudah menyelenggarakan proses pembahasan RUU TPKS, dengan memberi ruang partisipasi terhadap masayarakat, untuk dapat memberikan masukan.
“Kami juga mengapresiasi pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi,” terangnya dalam siaran pers tertulis, Rabu (13/4/2022).
Selain itu, FPL dan JMS juga telah mencatat hal penting yang merupakan capaian dari RUU TPKS yang telah memasukkan beberapa bentuk tindak pidana seperti pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, serta perbudakan sosial.
Kendati sudah banyak capaian dalam RUU TPKS, dalam siaran pers tersebut menyebutkan jika dalam hal ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup berat. Pasalnya, tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam Undang-undang yang baru diresmikan itu.
“Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan Pemerintah agar bisa memasukkan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP, menjadi pekerjaan rumah juga bagi FPL dan JMS untuk mengawal RUU KUHP,” tulisnya.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah FPL serta JMS selanjutnya ialah melakukan advokasi peraturan dari UU PKS. Hal ini tentu sangat diperlukan dengan tujuan setelah Undang-undang resmi disahkan, agar bisa segera diimplementasikan atau dilaksanakan dengan baik.
“Pemerintah harus melibatkan FPL dan JMS dalam menyusun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang dimandatkan UU TPKS, agar pelaksanaanya sesuai kondisi lapangan,” lanjutnya. [Sav/Ali]