Oleh: Suhendra Mulia, M.Si.
blokTuban.com - Budaya (cultural) di dalam KBBI (2022) diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Sedangkan kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Untuk dalam sudut pandang nasional kebudayaan adalah kebudayaan yang dianut oleh semua warga dalam suatu negara.
Budaya tidak lepas dari perjalanan panjang bangsa Indonesia yang memberikan dampak positif luar biasa bagi generasi ke generasi. Budaya yang membuat kita mempunyai jatidiri sebagai bangsa, khususnya bangsa berbudi luhur, berdaulat dan bermartabat.
Budaya inilah yang menjadi cikal bakal kita untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama menyebutkan bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sedangkan kemerdekaan menurut KBBI (2022) adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya), kebebasan. Indonesia mengalami fase-fase dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fase-fase itu antara lain fase di masa penjajahan, fase kemerdekaan, dan fase masa milenial di era globalisasi.
Menurut Prof. Dr. Firman Noor Peneliti Pusat Riset Politik BRIN (2022) mengatakan bahwa perbedaan terkait fase tersebut terletak pada persoalan yang dihadapinya. Di awal kemerdekaan masih seputar merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Setelahnya mengisi kemerdekaan dan menjaganya dari kepentingan sesaat oleh kelompok tertentu atau separatis. Dan di era milenial lebih kedepan nantinya pada tantangan dan kurang lebih terkait untuk mempertahankan jati diri bangsa di tengah arus globalisasi.
Nasionalisme (Firman Noor, 2022) adalah ide tentang kebangsaan. Karakteristik dan kepentingan bangsa nomor satu, harus dipelihara, diutamakan dan dijadikan penjuru. Ide ini membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan primordial, kelas atau kepentingan lain yang bersifat kekhasan sebuah kelompok saja. Ideologi ini menampung semua kalangan dengan beragam latar belakang.
Generasi milineal (Firman Noor, 2022) nasionalismenya masih ada namun dengan pengertian dan penafsiran khas a'la milenial atau anak sekarang. Nasionalisme yang ada pada mereka, mungkin tidak bersifat heroik namun bukan berarti anak-anak sekarang melupakan begitu saja jati dirinya sebagai anak bangsa. Mereka tetap punya jati diri di tengah percaturan global.
Pandangan dari Prof. Dr. Alie Humaidi, Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN (2022) mengatakan kesemestaan lokalitas yang beragam tetapi terancam dalam kehidupan kebudayaan nasional itu merupakan tantangan tersendiri bagi para ilmuwan di bidang kebudayaan.
Di dalamnya ada yang memposisikan secara tegas, antara peran kebudayaan nasional yang bersifat menyeluruh dalam “kelas nasionalnya”, dan kebudayaan daerah dalam “kelas daerahnya”.
Namun, tidak jarang ada ilmuwan yang berusaha mengelaborasi kebudayaan daerah ke dalam peran dan posisi kebudayaan nasional, sebagai bentuk implementasi dari apa yang disebut kebudayaan nasional sebagai “rumah besar berbagai kebudayaan daerah”.
Nasionalisme tidak terlepas dari khazanah kekayaan bangsa yang merupakan dari berbagai kelompok etnik, bahasa, budaya dan agama yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.
Nasionalisme (Alie Humaidi, 2022) dapat dilihat dengan adanya penanda yang berakar dari budaya dan bahasa di daerah. Mekanisme integrative, negosiatif dan hibridisasi yang memungkinkan rajutan kebangsaan dalam ikatan lokalitas yang tetap kuat adalah keniscayaan praktik kebangsaan ini ditransmisikan secara lintas generasi.
Kontak-kontak kebudayaan dalam lintasan geohistoris sebelumnya telah memungkinkan adanya bangunan kesepahaman bersama pentingnya pembentukan negara atau bangsa. Kesepahaman ini disempurnakan bentuknya oleh kelompok cerdik cendekiawan, dan dimodifikasi dalam wajah kekinian seiring tantangan globalisasi yang menyeruak masuk dalam berbagai lini kehidupan warga negaranya.
Nasionalisme ke-Indonesiaan yang diwarnai dengan beragam bahasa dan kebudayaan lokal merupakan wajah asli yang tidak dapat ditawarkan keberadaannya.
Indonesia itu bukan keseragaman tapi keragaman, nasionalisme (Alie Humaidi, 2022) adalah suatu kemampuan menghimpun dan mengelola keberagaman. Nasionalisme sesungguhnya berdiri pada semangat dan sekaligus mekanisme mengelola tiga karakter proses kebudayaan ini pada suatu wadah yang tepat.
Sehingga semua komponen masyarakat yang ada di dalamnya merasa terakui, terhargai, dan mendapat mandate kebudayaan kolektif untuk menerjemahkan mandate kebudayaan pada khususnya.
Dan pada akhirnya Nasionalisme adalah proses hibridisasi keragaman bahasa dan budaya yang ada dikemas dengan mesin dan mekanisme politik kebangsaan.[*]