Penulis: Edy Purnomo
blokTuban.com - Namanya santri, semuanya harus bisa dikerjakan sendiri. Selain memperdalam ilmu agama sebagai tujuan utama, nyantri juga belajar tentang kemandirian dan sosial.
Belajar mandiri karena harus melakukan semua pekerjaan sendiri. Seperti mencuci, memasak, dan belajar sosial karena akan menemui banyak teman dari beragam latar belakang dan karakter.
Mencuci, bisa dibilang sebagai pekerjaan yang lekat dengan keseharian santri, selain aktivitas memasak yang sering dilakukan bersama-sama. Terbatasnya baju di asrama dan banyaknya aktivitas di pondok, mengharuskan santri memutar otak agar selalu punya stok baju bersih.
Solusi agar selalu punya baju yang layak dipergunakan mengaji adalah selalu mencuci. Meskipun seringkali bergantian meminta detergen atau hanya menggunakan air saja untuk mencuci saat kiriman dari orang tua terlambat datang.
Tempat mencuci, air, dan menjemur pakaian yang tidak seimbang dengan jumlah santri juga hal yang mesti disiasati secara pintar. Para santri akan membuat aturan main sendiri untuk menentukan jadwal mencuci dan menjemur pakaian.
Bagi sebagian santri yang tidak sabar karena kehabisan persediaan baju bersih, dan ini biasanya dilakukan santri putra, mereka akan tetap mencuci dan bisa menjemur baju di mana saja. Di asrama santri putra akan mudah kita jumpai sarung basah di jendela, di gantung di antara langit-langit teras kamar, di atas genteng, ataupun dijemur dengan berbagai tumpukan baju yang lain.
“Gak harus kering benar, kadang kita pakai masih agak basah yang penting sudah suci,” kenang seorang santri sambil tertawa.
Cerita santri kali ini masih berkaitan dengan cuci mencuci. Kisah datang dari orang yang pernah belajar di salah satu pondok pesantren di wilayah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini di bawah asuhan seorang kyai yang benar-benar disiplin untuk masalah kebersihan.
Kyai pengasuh ini selalu menyiapkan waktu berkeliling asrama santri untuk mengecek kebersihan. Memeriksa kerapian kamar atau sekedar berbincang-bincang dengan para santri.
Kyai pengasuh ini paling anti dengan barang-barang yang tidak ditempatkan semestinya. Seperti menjemur pakaian tidak di tempatnya, baju yang tidak di tempatnya, ataupun sepatu dan sandal yang berserakan.
Suatu Jum'at yang cerah di pertengahan tahun 2007, pondok pesantren ini mengadakan roan, atau istilah pesantren untuk menyebut kerja bakti. Selain membersihkan beberapa bagian pondok, para santri juga bagi tugas membersihkan kamar masing-masing. Biasanya satu kamar akan ditempati beberapa santri.
Santri-santri lain turun dari asrama dan membersihkan sudut-sudut lingkungan pondok. Sementara dua santri, yang merasa agak malas memilih berdiam diri di dalam kamar. Mereka beralasan akan membersihkan kamar-kamar di kompleks itu berdua.
"Biarlah Kang kita istirahat saja, nanti kamar ini juga pasti dibersihin ketika yang lain balik," kata seorang santri itu kepada temannya.
Di sela waktu bermalas-malasan, mereka melihat sesosok orang yang mereka segani menaiki tangga asrama. Sang Kyai pasti ingin melihat kebersihan kamar-kamar santri juga. Mereka harus bergerak cepat karena bisa jadi kamar mereka juga akan diperiksa.
"Walah Kang ada Abah mau ke sini. Ayo cepat beres-beres secepatnya," teriak santri itu.
Karena tidak punya niatan, santri itu membersihkan kamar sebisa-bisanya. Barang-barang langsung ditarik di sudut kamar agar tidak terlihat berantakan. Baju-baju kotor dan bersih dicampur begitu saja dan dimasukan ke dalam lemari tanpa dilipat.
"Yang penting kelihatan rapi saja di kamar," katanya.
Mereka pun bersikap seolah sedang bersih-bersih ke kamar. Kebetulan sekali kyai pengasuh itu melintasi kamar mereka berdua. Melihat ada dua santri di kamar dipanggillah mereka oleh sang kyai itu.
"Sini kalian," panggil kyai.
Belum apa-apa, dua santri itu merasa bangga mendapat panggilan dari Kyai. Karena kebiasaan sang Kyai adalah memuji santri-santrinya yang sedang bersih-bersih. Pujian dari seorang Kyai, apalagi buat santrinya sendiri adalah hal yang pasti membanggakan. Apalagi dilakukan di depan pengurus pondok pesantren yang lain.
"Menjemurnya jangan di jendela kamar ya," kata Kyai sambil menunjuk beberapa kain berbentuk segitiga berkibar-kibar ditiup angin.
Aha..., ternyata mereka lupa sedang menjemur celana dalam di jendela kamar. Berapa malunya dua santri ini pada sang Kyai.(*)
*Cerita dibuat dan diolah berdasarkan kisah nyata seorang santri di pesantren Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Selama bulan puasa redaksi blokTuban.com mengangkat kisah, cerita, dongeng, nasehat dan tradisi yang didapat dari pondok pesantren. Kisah bisa didapat dari penuturan santri, kyai, ataupun sumber-sumber lain.