Ghasab Sarung Sang Kiai

Penulis: Edy Purnomo

blokTuban.com – Ghasab, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri di tulis 'gasab', atau kebiasaan memakai barang bukan miliknya tanpa ijin yang punya barang bisa jadi salah satu cerita yang selalu menyertai santri semasa belajar di pondok pesantren. Meski kadang menjengkelkan, rata-rata para santri atau orang yang pernah nyantri di pesantren sudahh sangat mafhum dengan kebiasaan jelek ini.

Ghasab berbeda dengan mencuri. Karena hanya sekedar pinjam tanpa memberitahu sama pemiliknya. Biasanya langsung dikembalikan setelah dipakai. Di keseharian para santri, apa saja bisa kena sasaran ghasab: sandal, baju, sarung, peci, kitab, dan barang-barang lain yang bisa dipergunakan. 

Ghasab  yang mempunyai arti mempergunakan milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri. Sedangkan dalam perspektif fikih ghasab secara bahasa adalah mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang-terangan.

Ini kisah tiga santri yang badung dan belum bisa meninggalkan tradisi ghasab. Sebut saja namanya Tolib, Tohir, dan Toni. Tiga santri yang mondok di salah satu pesantren di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Mereka berani ghasab atas barang-barang milik Gus nya sendiri.

Tiga santri itu sebenarnya adalah anak-anak yang cerdas. Hidup dan menyatu dengan pesantren sebelum usia remaja. Karena usia sudah dewasa, selain mondok mereka juga berkuliah di salah satu kampus swasta. Entah memang benar betah mondok atau sekedar ingin mengirit biaya hidup daripada ngekos atau sewa rumah kontrakan. 

Para santri baru menganggap mereka adalah santri senior. Saking seniornya mereka, sering mendapat kepercayaan membantu mengelola acara-acara pondok. Juga diminta para Gus, sapaan putra kyai, untuk membantu banyak pekerjaan mereka. Sering juga diminta tolong para ustadz untuk membantu keamanan dan ketertiban pondok pesantren ketika mereka tidak ditempat.

Suatu hari di Jum’at pagi yang cerah. Tiga santri kawakan itu mempunyai agenda penting: pelatihan organisasi mahasiswa. Mereka ternyata adalah aktivis-aktivis kampus yang akan merekrut anggota baru untuk organisasi. 

Santri juga harus tampil necis dan bersih, begitu mereka berpikir. Apalagi berkegiatan bersama dengan mahasiswa lain yang bukan anak pondok pesantren. Jadilah mereka bertekad untuk tampil sebaik-baiknya dengan pakaian yang juga sebisa-bisanya harus yang terbaik. 

Tolib, yang mendapat jatah berbicara di jam pertama terlihat percaya diri dengan kain sarung tenun berwarna coklat yang dia kenakan. 

“Kita harus bangga menjadi santri, ya harus pakai sarung tapi jangan yang kumal seperti celana kamu itu,” katanya kepada seorang kawan sambil tertawa mengejek.

Beda Tolib, beda Tohir. Santri yang sebenarnya juga anak seorang pemuka agama dari Jawa Tengah itu datang dengan baju koko putih berenda hitam di bagian lehernya. Tercium bau harum dan terlihat bekas lipatan rapi khas baju yang selesai disetrika. Kontras dengan sarung yang dipergunakan, meski bersih tapi tetap kucel tidak ada bekas setrika.

 “Santri harus bersih. Karena kebersihan adalah sebagian daripada iman,” katanya mantap.

Toni, beda lagi. Satu dari tiga sekawan itu juga berusaha tampil maksimal. Penampilan yang mencolok terlihat dari sandal dan peci yang dipergunakan. Peci hitam tampak baru dan terlihat hanya dipergunakan di momen-momen tertentu. Kaki dia yang agak kurang terawat terlihat lebih baik dengan sandal yang tercuci bersih. 

Jam demi jam terlewati. Hingga akhirnya ada panggilan telepon dari ustad Rozaq di ponsel milik Tolib. Usai mengangkat telepon Tolib terlihat tersenyum.

“Pak Rozaq itu apa punya ilmu linuwih ya? Kok bisa tahu kita pakai baju bagus buat datang di pelatihan ini,” tanyanya kepada dua orang kawannya.

“Pak Rozaq itu juga Gus kan, keturunan Kyai. Wajar kalau punya kelebihan karena sering tirakat. Nggak kayak sampeyan-sampeyan,” timpal seseorang yang mendengar obrolan tiga sekawan itu. 

Setelah pulang ke pondok. Mereka mendapati kabar yang mengagetkan. Baju koko, peci, sarung, dan sandal yang dipersiapkan ustad Rozaq dari rumah buat mengisi khutbah salat Jum’at mendadak raib ketika dititipkan di kamar santri.

Entah jadi apa tidak ustadz Rozaq khutbah saat itu, karena tiga sekawan ini langsung lari meninggalkan barang-barang yang semula di ghasab karena saking malunya. Mereka kira perlengkapan salat itu milik santri lain. Ternyata korban mereka adalah gurunya sendiri.(*)

*Kisah nyata yang diolah redaksi www.blokTuban.com.