Penulis: Edy Purnomo
blokTuban.com - Seperti halnya lembaga pendidikan umumnya, santri yang belajar di pondok pesantren juga mempunyai hari-hari khusus dalam satu pekan untuk beristirahat.
Cerita ini masih berada di salah satu pondok tradisional yang ada di wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pada hari Jum'at, pondok ini meliburkan para santrinya untuk belajar. Biasanya ada kegiatan Roan, atau kerja bakti di lingkungan pondok.
Dua santri, sebut saja namanya Amin dan Taufiq sepertinya sedang malas mengikuti kerja bakti seperti santri-santri yang lain. Dengan menyusun berbagai alasan, mereka datang ke pengurus pondok dan meminta ijin ke pusat kota untuk belanja peralatan tulis.
"Kamu mau beli perlengkapan tulis apa, Kang?" tanya Taufiq yang diminta mengantar Amin ke kota.
"Bolpoin buat menulis di kitab," jawab Amin.
"Lha di koperasi pondok kan banyak Kang. Ngapain jauh-jauh ke kota," tanya Taufiq penasaran.
Bukan Amin namanya kalau tidak pandai mencari alasan. Meski begitu dia jujur keppada sahabatnya ingin memanfaatkan momen itu buat berjalan-jalan di swalayan yang cukup besar. Amin baru dapat kiriman dari orang tua dan ingin mentraktir Taufiq makan bakso dan es degan favoritnya. Alasan terakhir yang membuat Taufiq ikut bersemangat.
Pergilah dua santri menggunakan angkutan ke kota. Mendatangi pusat perbelanjaan yang cukup besar meski hanya untuk membeli satu biji bolpoin yang dipergunakan buat maknani (menulis arti kata di kitab kuning). Itupun belum tentu ada di swalayan dan justru sudah ada di koperasi milik pondok pesantren.
Sampai di pusat perbelanjaan, mereka langsung menuju rak alat tulis. Amin menemukan bolpoin yang diinginkan dan menyimpannya di saku agar tidak terlupa. Mereka kemudian berkeliling dan sekedar melihat-lihat isi swalayan.
Masalah datang. Amin yang lupa masih membawa bolpoin di saku bajunya kaget ketika akan memasuki wahana permainan. Alarm berbunyi dan dua satpam langsung mendekatinya.
"Hay Dik, berhenti dulu," teriak satpam.
Amin dan Taufiq yang belum menyadari apa yang terjadi menuruti perintah satpam. Mereka mendadak pucat begitu mengetahui ada bolpoin di saku Amin yang ternyata belum terbayar.
"Mau ambil barang ya? Sudah ikut kami ke belakang," kata Satpam itu garang. Tidak menghiraukan alasan yang diberikan dua santri yang ketakutan itu.
Mereka harus membayar harga bolpoin itu berlipat-lipat. Aturannya: manajemen menambahkan satu angka nol dibelakang harga asli. Harga bolpoin yang dibawa Amin saat itu adalah Rp15.000. Karena harus menambah satu nol dibelakangnya, maka jumlah yang harus dibayar adalah Rp150.000. Jumlah yang cukup besar bagi mereka.
"Aduh...bagaimana ini Kang Amin?" tanya Taufiq.
Yang ditanya tidak menjawab. Mungkin merasa berat karena memikirkan uang kiriman dari orang tuanya habis buat membayar denda.
"Kamu itu nyantri di mana? Santri kok main ambil barang yang bukan haknya. Kan ndak baik," tanya manajer itu sambil membetulkan kaca mata.
Ditanya begitu, dua santri itu lebih takut lagi. Terbayang kemarahan Abah Kyai mereka jika mendengar mereka tersandung masalah. Apalagi mengetahui mereka tidak sekedar membeli perlengkapan tulis, tapi juga jalan-jalan di swalayan tanpa ijin.
Sedikit berbisik, mereka kompak tidak menyebutkan nama dan alamat pondoknya. Untuk mengelabuhi manajer dan dua satpam itu, mereka menyebut nama pondok lain sebagai tempat belajar. Mereka berharap bisa aman karena petugas itu tidak akan mendatangi pondok pesantren mereka.
Setelah membayarkan uang denda dengan menghabiskan seluruh uang kiriman Amin. Dua santri ini langsung pulang ke pondok dengan kecewa. Keesokan harinya, usai mengaji pagi mereka mendapat panggilan dari kyai.
Mendapat panggilan Kyai, bagi seorang santri adalah hal yang luar biasa. Biasanya ada sesuatu yang penting ingin disampaikan.
“Ada apa ya Abah mendadak memanggil kita? Jangan-jangan tahu kita terlibat masalah,” ucap Amin cemas.
Pergilah mereka saat itu juga ke ndalem, sebutan rumah utama di lingkungan pondok yang ditempati kyai.
“Ayo le, melu aku,” Kyai mereka mengajak naik ke mobil yang disopiri salah seorang pengurus pondok.
Ternyata mereka diajak berkunjung ke pondok pesantren lain. Pondok pesantren yang oleh Amin dan Taufiq disebut sebagai tempat mereka belajar dihadapan manajer swalayan. Dada mereka terasa ingin pecah saking takutnnya.
“Kyai, maafkan kelancangan dan kesalahan dua santri saya nggih? Saya yang bersalah tidak bisa mendidik mereka.” Kata Kyai mereka dihadapan seorang kyai lain yang secara usia tampak lebih muda.
“Ada apa Mas Kyai?” tanya kyai itu karena belum mengetahui duduk persoalannya.
Kyai mereka bercerita dengan jelas. Ternyata manajer swalayan itu juga pernah nyantri ditempatnya. Menceritakan kepada seorang pengurus pondok mengenai kejadian kesalahpahaman di swalayan yang menimpa para juniornya.
“Aduh Kyai, kenapa mesti repot-repot ke sini buat meminta maaf. Adikmu inilah yang semestinya ke ndalem buat silaturahmi,” jawab kyai muda itu tersenyum begitu mendengar duduk persolannya.
“Lagian biarkanlah Kyai, namanya juga mereka masih muda-muda. Masih sangat wajar berbuat khilaf,” lanjut kyai muda itu sambil tersenyum kepada Amin dan Taufiq. Yang dipandang langsung menunduk malu dan salah tingkah.
Begitulah dua kyai itu menyelesaikan persoalan. Keduanya justru saling meminta maaf dan beberebut salah.
Usai berbincang cukup lama. Kyai beserta dua santrinya itu kembali ke pondok pesantren. Tidak ada kemarahan seperti yang mereka bayangkan.
“Ini titipan dari Kang Mas mu,” kata Kyai sambil mengulurkan uang Rp150 ribu yang dibayarkan Amin di swalayan dan satu bolpoin yang semestinya mereka beli.
“Kepada saudara harus bisa menutup aib. Jangan malah aib kita dikasihkan saudara yang tidak tahu apa-apa.” Kata kyai itu sambil masuk ke dalam rumah.
*Cerita dibuat dan diolah berdasarkan kisah nyata seorang santri di pesantren Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Selama bulan puasa redaksi blokTuban.com mengangkat kisah, cerita, dongeng, nasehat dan tradisi yang didapat dari pondok pesantren. Kisah bisa didapat dari penuturan santri, kyai, ataupun sumber-sumber lain.