Letda Soetjipto melewati pertempuran demi pertempuran dengan pasukan Belanda secara gemilang. Tapi, kusuma bangsa itu akhirnya gugur di medan juang yang ada di perbatasan Dusun Tapen, Desa Sidoharjo, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban.
Reporter: Edy Purnomo
blokTuban.com – Pagi setelah waktu Subuh, 23 Februari 1949, pasukan Letda Soetjipto yang sedang beristirahat di rumah Sadir, seorang tokoh masyarakat di Senori dikejutkan dengan informasi: pasukan Belanda sudah masuk wilayah Kecamatan Senori dengan personil dan senjata lengkap.
Belanda tentu sudah mendapat informasi keberadaan para pejuang. Mencari tempat persembunyiannya, dan ingin menghancurkan.
Sebelumnya, pejuang-pejuang republik itu juga berencana melakukan penyerbuan pos Belanda di sekitar tempat minyak mentah di Wonosari, Senori. Tapi serangan itu urung terlaksana karena Belanda sudah lebih dulu tiba.
Sebelum serangan Belanda, Letda Soetjipto bersama dengan 20 orang pasukan gabungan dari TGP, juga mendapat kiriman pasukan dari TRIP berjumlah 16 orang sehari sebelumnya. Dari Dusun Punten, Desa Binangun, Kecamatan Singgahan, pasukan Indonesia itu bergegas menyongsong kedatangan pasukan Belanda ke arah barat daya menuju Tapen.
Pasukan dibagi menjadi dua, di sayap kanan adalah regu pasukan pimpinan Sidiq dan TGP yang beberapa hari selalu menyertai Letda Soetjipto, sementara di sayap kiri berdiri regu pasukan dari TRIP yang dipimpin Rohmat. Pertahanan berbentuk frontal di belakang parit persawahan, dengan Letda Soetjipto berada di tengah pasukan membentuk inti pertahanan.
Baca juga [Di Sumodikaran, 100 Gerilya Gagal Lumpuhkan 5 Serdadu]
“Karena medan datar, dari jarak jauh pasukan Belanda sudah dapat terlihat dengan jelas,” Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985;288.
Areal persawahan itu menjadi saksi dua kubu yang sedang berhadap-hadapan. Letda Soetjipto yang berada di barisan inti pertahanan langsung mengambilalih senjata utama, sepucuk SMR kaliber 7.7. Pertempuran antara pasukan republik dan pasukan serdadu Belanda tidak bisa terelakkan.
Rentetan tembakan yang saling berbalas terdengar cukup jelas di perkampungan terdekat, yakni di Dusun Punten dan Dusun Tapen. Seperti biasa, warga langsung mengungsi ke desa lain sambil membawa barang berharga, terutama ternak.
"Kalau sudah ada suara tembakan, warga sekampung pasti lari mengungsi," pengakuan Sowi Kromo dan istrinya Suratmi, warga Dusun Punten kepada Edy Purnomo, wartawan blokTuban.com, 17 Agustus 2016 lalu.
Sowi Kromo dan Suratmi berusia 90 tahun lebih. Selama Agresi Militer Belanda II, mereka mengaku sudah menikah dan sering mengungsi setiap terjadi pertempuran. Sowi Kromo sendiri adalah warga yang bekerja mengambil makanan dari para dermawan untuk diantarkan kepada para pejuang.
Diceritakan Sowi Kromo, peristiwa pertempuran itu terjadi di kala bulir padi mulai berisi dan penduduk menunggu masa panen padi tiba. Pasukan Letda Soetjipto, meski dengan senjata yang lebih sederhana memberi perlawanan mati-matian dan sangat merepotkan Belanda.
Sejam setelah saling menembak, pasukan di bawah komando Letda Soetjipto mulai kehabisan amunisi. Akibatnya pertahanan mulai goyah, terutama di barisan kanan dan kiri. Para pasukan hanya bisa sesekali melepaskan tembakan secara sporadis untuk menghemat peluru dan menahan serangan.
Beberapa pasukan yang sudah benar-benar kehabisan peluru diperintahkan mundur dari arena pertempuran. Yang masih bisa bertahan adalah barisan tengah, tempat dimana Letda Soetjipto memegang kendali dengan senjata SMR.
Amunisi milik pejuang akhirnya benar-benar sudah habis. Barisan kanan dan kiri sudah tidak mampu melawan gempuran Belanda yang juga melengkapi diri dengan granat dan peluru mortir. Belanda dengan pasukan lebih banyak dan senjata lengkap berusaha memperlebar barisan agar bisa mengepung sedikit pasukan pejuang itu.
Pantang mundur, itulah semboyan pasukan terakhir ini meski dalam kondisi terdesak. Serangan menggunakan mortir dan granat dari pasukan Belanda tidak membuat nyali ciut, justru membuat semakin berani. Tibalah saatnya, dimana pasukan Belanda sudah berhasil mengepung dan menembaki pejuang itu dari belakang menggunakan senjata breem.
Letda Soetjipto, gugur dengan luka tembak di bagian punggung. Senjata yang dia pegang terjatuh dan berusaha diambilalih temannya, Raji, namun serdadu Belanda tidak memberikan kesempatan bergerak dan langsung memberondongnya dengan peluru.
Meski tanpa komando, dua bawahan Letda Sotjipto, yakni Muridan dan Masib, masih melakukan perlawanan sejadi-jadinya. Tapi kedua orang itupun juga gugur di tengah kepungan Belanda sebagai kusuma bangsa.
“Setelah perlawanan tidak ada, maka pasukan Belanda bergerak maju dan memeriksa pertahanan Letda Soetjipto,” Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985;288.
Belanda juga melakukan pembersihan dan pemeriksaan rumah demi rumah milik penduduk. Tercatat ada 9 rumah yang dibakar Belanda, kesemuanya karena dianggap telah membantu pasukan gerilya.
Penduduk baru berani melihat arena pertempuran setelah Belanda benar-benar pergi. Penuturan warga sekitar, Letda Soetjipto gugur dengan kondisi tengkurap di areal persawahan, ada juga jenazah pejuang itu yang dibenamkan pasukan Belanda di selokan berlumpur dan ditinggalkan begitu saja.
Warga juga yang kemudian ikut mengevakuasi jenazah empat pejuang itu. Setelah dimandikan, mereka dimakamkan di salah satu lahan kosong yang sekarang dipergunakan sebagai SDN Saringembat, Kecamatan Singgahan. Bahkan untuk mengenangnya, nama jalan desa tersebut adalah Jalan Letda Soetjipto. Makam empat pejuang kemerdekaan itu baru dipindah lagi ke makam pahlawan sekitar tahun 70’an. (*)
Serpihan Agresi Militer Belanda II di Tuban-Bojonegoro (23)
Pertempuran Penghabisan Letda Soetjipto
5 Comments
1.230x view