Oleh: Nanang Fahrudin
Hidup ini berubah cukup pesat. Internet membuat perubahan makin cepat saja. Dulu, era tahun 90 an informasi tentang apapun, hanya bisa diperoleh dari sumber terbatas. Kita dapat informasi dari radio atau televisi dengan jumlah informasi yang masih bisa dihitung. Tapi kini, informasi bisa datang tiap detik, selalu berubah, tumpang tindih, seakan tak terbatas.
Dulu, kita datang ke langgar, ke masjid, atau hadir dalam pengajian untuk mendengar seorang kiai berceramah agama. Atau kita bisa mendengar lewat radio atau menontonnya di televisi pada jam-jam tertentu. Begitu sangat terbatas dan bergerak cukup pelan. Kita pun bisa belajar mengendapkan informasi apa saja yang kita terima, kita mendiskusikannya, mempertanyakannya, dan seterusnya.
Tapi sekarang sangat berbeda. Informasi menyerbu setiap saat dari internet melalui WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya. Padahal, rata-rata orang Indonesia tersambung ke internet sekitar 15 jam tiap hari. Bahkan ada yang hampir 24 jam terkoneksi dengan internet. Sedikit- sedikit lihat hape, ada info baru apa.
Di hampir semua platform media sosial tersebut, informasi memberondong kita. Menarik-narik kita agar ikut berkomentar. Tiap membuka media sosial, kita akan mudah menemukan ceramah agama, kata-kata bijak. Di chanel YouTube kita akan mudah ustadz-ustadz berseliweran memberi ceramah. Dan tak jarang, kita juga menemukan orang saling memaki, mencemooh, menghina, dan mencoba meniadakan yang lain.
Ya, itulah era sekarang. Era banjir informasi. Era banjir ceramah agama. Era banjir makian dan cacian. Bill Kovach, seorang ilmuwan cum jurnalis menyebutnya sebagai “blur”. Karena ketika banjir informasi, maka akan sangat sulit membedakan mana informasi benar dan mana informasi salah. Semua bercampur baur. Jadilah blur semua.
Apakah banjir informasi itu sesuatu yang keliru? Apakah ceramah-ceramah agama yang berseliweran di media sosial itu perlu dihindari? Saya lebih memilih menjawab: tidak. Karena memang tidak ada yang salah. Salah dalam arti, apa yang terjadi saat ini adalah sebuah akibat dari perkembangan teknologi informasi. Dan memutus hubungan dengan internet misalnya, tentu juga punya risiko yang tak kecil. Mungkin di jaringan bisnis, pertemanan, dan lainnya.
Tapi maksud saya, apa yang terjadi saat ini cukup perlu disikapi dengan bijak. Tidak semua informasi itu benar. Itu rumus pertama. Selanjutnya, kita perlu hati-hati dalam menyikapi dan berkomentar tentang informasi apapun. Kita tidak selalu harus terlibat dalam tiap diskusi, tiap isu yang berkembang. Siapa yang mewajibkan kita untuk itu? Tentu tidak ada. Tapi diri kita bisa melakukannya. Kita bisa mencoba mengikuti laku wira’i yang tentu sesuai kadar kemampuan kita.
Wira’i boleh dibilang sebagai sikap kehati-hatian. Dalam agama, wira’i tak sekadar berhati-hati dari apa yang diharamkan, melainkan dari yang makruh atau subhat. Yang “blur” tadi. Yang belum tentu benar dan belum tentu salah. Bersikap wira’i adalah tidak mudah percaya informasi yang disampaikan oleh orang lain, tidak merendahkan orang lain, tidak sombong, tidak buruk sangka, memelihara lisan, tidak menghina orang lain, dan lain sebagainya.
Agama kita sudah mengajarkan hal-hal demikian. Tentu banyak dari kita yang sudah hafal di luar kepala. Tapi, entah kenapa sahwat untuk saling membenci, saling memaki lantaran beda pandangan, dan seterusnya menjadi pilihan yang seksi di era banjir informasi ini.
Oleh karena itu, puasa ramadhan kali ini sangat tepat untuk kita berefleksi. Bagaimana kita harus bersikap di era banjir informasi, di era blur saat ini. Kita harus berusaha selalu rendah hati dengan meyakini bahwa apa yang kita ketahui bukan kebenaran informasi yang mutlak. Masih terbentang ruang untuk keliru. Kalau kita sangat yakin bahwa kita benar, lalu di mana Tuhan Yang Maha Benar.
Apalagi perlu diingat, media sosial adalah realitas virtual. Bukan realitas sebenarnya. Di dunia ilmu sosial hal itu disebut sebagai dunia simulakra. Dunia yang rawan untuk menipu. Lalu kenapa kita hanya mengandalkan dunia virtual untuk membaca dunia realitas? Saya tidak hendak mengatakan bahwa apa yang ada di dunia virtual adalah keliru semua. Bukan. Tapi, kita perlu menempatkannya pada porsi yang tepat. Dan tentu kita harus belajar wira’i di era banjir informasi ini.
Mohon maaf, saya bukanlah seorang ustadz, guru, atau ilmuwan dengan IQ tinggi. Saya cuma gemes saja melihat media sosial menjadi ajang saling mencaci, saling memaki. Tidakkah kita bisa saling menghargai, beretika dalam bermedia sosial, dan tak menutup mata akan kebaikan orang lain? Sekali lagi bulan puasa yang tinggal beberapa hari ini sebaiknya kita gunakan untuk refleksi. Tulisan ini khususnya tertuju bagi saya sendiri. Salam.