Oleh: Muhammad A. Qohhar
blokTuban.com - Angin semilir sepoi-sepoi. Sesekali berdesir kencang. Pagi itu, cuaca tidak seberapa cerah, karena mendung sudah menggelayut di sebelah timur. Matahari pun enggan menampakkan sinarnya padahal musim seharusnya telah memasuki kemarau.
Kang Samin mengarahkan pandangan jauh ke arah gerombolan penambang pasir manual. Tiga orang tengah menyelam melalui tangga yang tersandar di badan perahu. Sedangkan dua penambang lain mulai menata gundukan pasir yang memenuhi setiap sudut lempeng tembaga tipis yang tersusun rapi, tanpa celah dan bisa mengambang di air.
"Haa... Kok puasa-puasa minum. Benar-benar tidak puasa penambang-penambang itu," gumam Kang Samin sambil menggelengkan kepala.
Tidak lama setelah pasir penuh di perahu, lima penambang naik dan mesin menderu untuk menuju ke tepian. Sesampainya di bibir Bengawan Solo, truk telah menunggu dengan bak terbuka. Perlahan dan pasti, pasir telah dipindahkan dengan skop dan cangkul hingga perahu bersih.
"Kang, ayo sarapan dulu. Sudah waktunya ini." Salah satu penambang menawari Kang Samin. Mendengar ajakan tersebut, Kang Samin hanya tersenyum sinis, karena penambang tersebut rata-rata berasal dari Kabupaten Jombang.
"Eh, tidak puasa ya? Kan ini puasa bulan Ramadan," tanya Kang Samin.
Sambil terus melahap makanan di tempat plastik dengan lauk ayam panggang, tiga penambang tidak seberapa menghiraukan ucapan Kang Samin. Nasi dan lauk di rantang telah habis, tanpa sisa sedikitpun. Penambang tersebut minum dan menyalakan sebatang rokok dari baju lengan panjang yang tergantung di kayu.
"Mana mungkin bisa puasa kang, kerjanya menyelam di air. Banyak lobang di tubuh yang semestinya kemasukan air," sergah penambang dengan beralasan.
Menurutnya, ia telah berusaha semaksimal mungkin untuk berpuasa di awal Ramadan, tetapi akhirnya juga gagal. Sebab, saat menyelam air masuk di hidung dan terkadang melalui telinga. Hingga akhirnya tidak puasa sampai sekarang ini. Apalagi dirinya juga dituntut bertambah serius bekerja demi bekal lebaran dan menyenangkan keluarga.
"Masya Allah Kang, hanya demi hari raya, kalian rela mengkhianati puasa?," pangkas Kang Samin dengan nada lirih dan mimik muka sedih.
Mendengar ucapan Kang Samin kali yang dalam, salah seorang penambang kaget. Ia tersentak. Dan bahkan sampai memandang wajah Kang Samin dalam-dalam. Batang rokok dengan gabus warna cokelat yang masih menyisakan setengah itu dimatikan, dengan cara menancapkan ke tanah. Sedangkan dua orang lainnya masih menghabiskan rokok yang telah habis.
Penambang dengan rambut ikal, kulit warna sawo matang terbakar dan mata memerah itu matanya berkaca-kaca. Ia seperti memikirkan sesuatu. Perasaannya kacau, bahkan air mata yang sejak tadi tertahan di kelopak mata akhirnya tumpah juga, walaupun tidak seberapa banyak. Laki-laki berumur 45 tahun itu menundukkan kepala. Suasana sunyi, karena dua penambang lain juga terdiam dengan ikut mematikan rokok yang memang sudah diambang purna itu.
Mendung semakin menyebar dan membuat cuaca tidak panas. Deru mesin perahu meraung dari tengah bengawan, hilir dan mudik silih berganti. Setiap lima sampai sepuluh menit ada beberapa perahu melintas, baik yang akan menuju ke lokasi tambang di wilayah desa seberang atau kembali ke tepian agar bisa mengisi truk yang antre dengan pasir yang dibawa.
Selain tiga penambang tersebut, terdapat puluhan penambang lain yang tidak puasa. Mereka makan dan minum layaknya hari-hari biasa di luar bulan suci Ramadan. Kondisi tersebut bisa terlihat saat mereka di atas perahu, baik saat berangkat menambang pasir manual maupun pulang ke tepi bengawan. Minum dan merokok tanpa peduli orang-orang yang menggarap lahan di tanah hak Solo Valley.
Kang Samin kembali ke gubuk di sudut lahan yang digarapnya. Posisi bangunan dari bambu dan beratap jerami itu bertambah tidak kelihatan, karena jagung sudah semakin tinggi dan mulai mengeluarkan biji. Ia tertegun di bagian luar gubuk yang terbuka, dan merebahkan badan di atas pembaringan yang terbuat dari belahan bambu.
"Ya Allah, ampuni hamba yang banyak dosa dan salah. Semoga dengan puasa ini, hamba semakin bisa mengendalikan hawa nafsu dan menjadi insan penyabar."
Mata Kang Samin mulai sayu dan lama-kelamaan menutup. Suara hirupan udara dari dua lobang hidungnya juga terdengar berat. Angin berhembus menggoyang batang jagung, sehingga tampak melambai-lambai jika dilihat dari kejauhan. Suasana bertambah sejuk, karena gerimis mengguyur dengan intensitas sedang.
Dari rimbun tanaman jagung, sesosok bayangan membelah dan mendekati gubuk Kang Samin. Lama kelamaan bertambah mendekat dan hanya berjarak beberapa meter saja. Rupanya Kang Sabar yang tengah mencari sahabat karibnya di tegalan tepi bengawan.
"Ealahh Kang... Kang. Tak cari-cari ternyata istirahat di sini," gumam Kang Sabar sambil duduk di bersadar di tiang penyangga teras gubuk. [mad]
*Reporter blokMedia Group (blokBojonegoro.com dan blokTuban.com)