Oleh: Muhammad A. Qohhar*
blokTuban.com - Kang Samin menangis, sesenggukan. Air mata sejak tadi sudah membasahi baju bagian atas yang ia kenakan malam itu. Ia tidak perduli. Tangannya menengadah dan belum juga ingin dilepaskan. Berulang kali dirinya memohon ampun atas semua yang telah dilakukan dahulu kala, banyak lupa dan terkadang menyentuh perasaan disengaja. Ia menyadari jika gunung dosa masih menutupi pijar sinar pahala.
Ya Tuhan, Engkau yang menciptakan alam
Engkau yang membingkai siang dan malam
Maafkan jalan hidupku dulu yang kelam
Aku tidak ingin seperti putra Nabi yang tenggelam
Ya Tuhan, Engkau pemilik segalanya
Pencipta hidup dan mati sang hamba
Berikan jalan lurus di dunia dan akhir masa
Karena hanya itu yang bisa membawa diri ke surga
Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB dinihari. Kang Samin belum bisa memejamkan mata. Ia terus memanjakan doa. Bermunajat pada Tuhan Yang Maha Esa. Ia menyadari jika selama ini banyak alpa, terutama masih minim mengirim doa untuk meningkatkan pahala. Berulang kali ia menggelar salat malam, baik Tahajjud, salat sunah tasbih hingga taubat.
Setiap sujud berlangsung, air mata yang keluar dari dua kelopak tidak bisa ditahan. Mengalir deras dan terus menerus. Dirinya mengakui sangat lemah dan masih banyak dosa di dunia. Sehingga saat malam Nuzulul Quran di Bulan Suci Ramadan digunakan benar-benar untuk meminta ampun kepada Sang Pencipta.
Di surau atau musala yang dekat dengan rumahnya, Kang Samin menutup dengan membaca doa yang ada di ayat suci Alquran. Doa khotmil Quran. Lirih dan penuh dengan air mata. Surau lama dengan model bagian bawah geladak terbuat dari lembaran papan dan berdidik sesek (anyaman bambu) menjadi tempat syahdu untuk mencitai tulus Tuhan YME.
Setelah selesai, Kang Samin beranjak berdiri dan menuju ke teras surau. Ia duduk sendiri sambil menikmati sebatang rokok kretek lokal. Cukup lama ia merenung, mengevaluasi setiap langkah yang ditempuh sejak beranjak dewasa sampai tua. Banyak hal yang mewarnai hidupnya, terutama ketika ia merantau ke berbagai wilayah di Indonesia untuk mencari nafkah, sampai akhirnya memutuskan bekerja di rumah sambil merawat telatah di tepi aliran Bengawa Solo milik Solo Valey.
Matanya berkaca-kaca. Kang Samin tak henti mengucap syukur kepada sang pencipta. Ia termasuk sebagian orang yang beruntung. Masih bisa menikmati indahnya malam Ramadan dan beribadah lima waktu dengan berjamaah. Banyak diantara temannya yang sudah berpulang dan tidak diberi usia panjang.
Termasuk empat seangkatannya yang meninggal dalam beberapa tahun belakangan ini.
"Ya Robb, semoga umur panjang ini selalu bisa saya gunakan untuk beribadah kepadaMu dengan ikhlas dan mempunyai cinta yang tak berbatas."
Ditengah merenung, Kang Samin tidak sadar di samping kanannya telah berdiri Kang Sabar. Ia termangu, diam dan tidak ingin mengganggu. Bahkan, Kang Samin sampai terkejut ketika tidak sengaja menoleh dan melihat sosok tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Engkaukah Sabar?" tanya Kang Samin.
"Ia Kang, aku ini. Sudah 10 an menit yang lalu berdiri disini."
Mendengar jawaban tersebut, Kang Samin sempat kaget. Sebab, saat ia menghamba pada Tuban, ternyata sampai tidak memperhatikan sekitar. Sangat konsentrasi dan melepas semua hal tentang dunia. Bahkan, ketika karibnya datang, suara sandal yang menyentuh tanah juga tidak didengarnya.
"Kamu tadi tidur ta Kang? Kok saya datang sampai tidak tau," celetuk Kang Sabar yang langsung duduk di teras surau berhadapan dengan Kang Samin.
"Eh, ngawur kamu Sabar. Saya tidak tidur. Merenungi nasib saja dan memohon ampun pada Tuhan," jawab Kang Samin dengan menghela nafas dalam.
Suasana hening. Tidak ada satu kalimat pun terucap dari keduanya. Kang Samin menundukkan kepala sambil tangan sebelah kanan di bagian jari memutar tasbih warna putih. Sedangkan Kang Sabar mendongak melihat atap surau yang gelap. Tanpa cahaya. Hanya sinar remang-remang dari lampu panjar di depan rumah warga.