Oleh: Muhammad A. Qohhar*
blokTuban.com -
Tubuh Kang Sabar menggigil kedinginan. Ia seperti masuk angin. Beberapa kali bersin-bersin dan bahkan disertai muntah. Kepalanya berputar tidak karuan. Kang Samin yang tidak jauh dari dirinya tampak menjadi dua bagian. Kadang terang dan cepat sekali berubah menjadi kabur. Begitu seterusnya.
Teh panas yang sejak tadi berada di depannya mulai dituang dan diminum perlahan. Obat herbal anti masuk angin dari produsen ternama asal Jawa Tengah sudah masuk di mulut dan ditelan tanpa sisa. Tiga butir telur asin yang berada di meja warung sekitar eks lokalisasi Gandul itu dilahapnya.
"Pelan-pelan, Sabar, kamu seperti orang kesetanan kalau makan. Nanti tersedak baru tau rasa," kata Kang Samin mengingatkan.
Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Lalu lalu lalang warga yang melintas juga mulai jarang. Hanya terlihat sesekali. Ada yang mengendarai sepeda motor berboncengan, dan tampak pula sedirian menuju ke arah Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Kang Samin termenung, sambil mengingat-mengingat kejadian yang menimpanya beberapa waktu belakangan ini.
"Mbok, kenapa di sini sekarang sepi? Dulu ramai ya?" tanya Kang Sabar kepada penjual warung yang berusia sekitar 60-an tahun.
Mbok Nah, sapaan akrab wanita tersebut, hanya terdiam saja. Gurat kesusahan tampak tergambar jelas di wajah keriputnya. Warung makan yang sudah ditinggali puluhan tahun itu tinggal menunggu waktu yang tepat untuk gulung tikar. Sebab, setiap hari pemasukan sudah jarang diterima, bahkan lebih banyak rugi. Makanan yang disajikan juga tidak pernah habis, kecuali dimakan sendiri atau diberikan kepada pengemis atau gelandangan.
"Ya begitulah. Jalan ini dulu bisa dipilih untuk ke dua jalur. Surga atau neraka. Makanya selalu ramai orang dari berbagai daerah ke sini," jawab Mbok Nah dengan lirih.
Sambil menikmati secangkir kopi kotok hitam pekat di cangkir, Mbok Nah sesekali menghela nafas panjang. Ia melihat dua laki-laki yang tidak jauh dari dirinya itu dalam-dalam. Bisa tergambar, kalau mereka akan meretas jalan menuju ke surga dengan bantuan doa. Sebab, tujuan utama ke Sunan Geseng yang jaraknya beberapa kilometer dari Gandul, eks lokalisasi masyur yang dulu banyak menyajikan birahi dan surga dunia.
"Kenapa Mbok, ada yang salahkah dengan ucapan saya?" Kang Sabar kembali berucap.
Ia memandangi perempuan tua itu dan sesekali melihat Kang Samin yang menikmati makan pengganti berbuka. Sebab, karena perjalanan yang lumayan jauh dari rumah dan terkendal halangan, akhirnya Kang Samin baru bisa berbuka. Menu kali ini nasi putih dengan sayur lodeh, tempe dan telur asin. Ia sesekali mendengar percapakan Mbok Nah dan sahabat karibnya.
"Ngak ada yang salah kisanak (panggilan untuk orang baru dan belum dikenal). Memang, dulu di sini ramai sekali orang datang. Dari Bojonegoro, Lamongan, Gresik dan bahkan Jawa Tengah," jelas Mbok Nah.
Ia menceritakan, sejak Gandul ditutup oleh pemerintah setempat, pekerja seks dan mucikari sudah pergi entah kemana. Ada beberapa yang sempat kembali ke Gandul, namun sebatas untuk bernostalgia di tempat asal mereka mencari makan. Karena tidak sedikit yang merasa bahwa Gandul adalah tarikan nafas kehidupan dan bahkan kenikmatan sesaat bagi sebagian orang. Beberapa cerita mengiring pahit getir kehidupan di Gandul.
"Itu dulu, setelah tutup semuaya berubah. Ratusan orang entah kemana. Tinggal seperti saya ini yang mencari sisa-sisa sedikit rezeki dari tepian Gandul," terangnya.
Sebenarnya hutan yang rimbun disini tidak hanya diisi oleh maksiat saja, dulu. Sebab, banyak orang ziarah dan berdoa di makam Sunan Geseng. Lokasinya tidak jauh dari sini pula. "Makan, surga dunia ada di Gandul dan surga di akhirat ada di Sunan Geseng. Itu kata orang di sini," ceritanya.
Mendengar ucapan Mbok Nah itu, Kang Sabar dan Kang Samin hanya bengong. Keduanya saling pandang dan setelah itu geleng-geleng kepala. Mereka akhirnya berpamitan dan melanjutkan perjalanan ke Sunan Geseng. Memang, tujuan utama dari rumah dengan mengendarai sepeda motor tahun 1970 itu untuk berziarah ke makam Sunan Geseng.
"Lha mau ke mana kisanak? Kok buru-buru?" tanya Mbok Nah.
"Mau menyepi dan menata hati," tegas Kang Samin sambil memberikan uang pecahan Rp10.000 dua lembar. [mad]
*Reporter blokBojonegoro Media (blokBojonegoro.com dan blokTuban.com)