Oleh : Usman Roin
Pemandangan calon anggota baru Remaja Islam Masjid Agung Jawa Tengah (Risma-JT) sedang melaksanakan pengabdian (baca: KKN untuk Mahasiswa) dalam bentuk kamping ke beberapa masjid –di Semarang– sungguh patut untuk diapresiasi.
Bagi penulis, ada pesan menggelitik bahwa turun gunungnya remaja masjid dalam bentuk pengabdian ke masyarakat akan banyak melihat sisi realitas yang sesungguhnya. Yakni, hari-hari ini eksistensi remaja dirasa sudah mulai tidak terlihat aktifitasnya untuk sekedar ngopeni kegiatan di masjid.
Mulai dari kegiatan pengajian Alquran di kalangan anak-anak yang semakin lengang. Minimnya partisipasi kegiatan di masjid dan juga absennya para remaja mendatangi masjid untuk sekedar ikut salat berjamaah. Maka bagi penulis, belajar dari pengalaman kamping tersebut sungguh mengisyaratkan kepada calon remaja masjid –secara umum– untuk lebih peka dan terampil mengamati secara jeli, agar masjid bukan menjadi benda asing dan ganjil dalam perspektif mereka.
Di sisi lain, terpampang pula satu kenyataan yang dramatis. Yakni, keberadaan masjid saat ini hanya digunakan ubudiyah semata. Padahal menurut Mohammad E. Ayub (2007) dalam bukunya ’Manajemen Masjid’, sejarah mencatat bahwa keberadaan masjid di zaman Rasul menjadi media efektif untuk menyelenggarakan pendidikan.
Lebih dari itu, masjid juga berfungsi sebagai media konsultasi dan komunikasi permasalahan umat, santunan sosial, latihan militer, tempat pengobatan korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula menerima tamu, tempat menahan tahanan serta pusat penerangan dan pembelaan agama.
Akhirnya, walau fungsi dan peran masjid yang secara luas –seperti diatas–sulit diwujudkan pada masa kini, namun itu tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan pada hal-hal tersebut. Setidaknya, perlu upaya mendalam guna mengembalikan fungsi dan peran masjid agar lebih luas, kembali di tengah-tengah masyarakat di era sekarang ini.
Dengan demikian, langkah untuk mengadakan kamping berbasis masjid adalah wujud dari item untuk mengembalikan fungsi yang hakiki dari masjid, serta upaya menerapkan pendidikan karakter berbasis masjid. Alhasil, impian menanamkan pendidikan karakter untuk remaja masjid ini mestinya harus dimengerti oleh pengurus Masjid. Terlebih, bila sejak dini (anak-anak) didekatkan pada masjid, secara tidak langsung masjid sudah mempunyai save calon pemimpin yang bernama remaja masjid yang tau betul bagaimana mengembalikan fungsi kemasjidan yang hakiki dalam kemanfaatan untuk umat.
Pendidikan Karakter
Memang ada hal yang perlu menjadi perhatian saat ini, yakni berkurangnya semangat dalam mengelola perkumpulan remaja masjid dengan sebaik-baiknya. Padahal, dari semangat remaja masjid yang kreatiflah, sebuah masjid akan tetap dinamis dengan kegiatan. Penyebabnya, masjid memiliki kader yang siap untuk meneruskan estafet kepemimpinan.
Bulan ramadan adalah saat yang tepat masjid menjadi wadah pendidikan karakter remaja berbasis masjid perlu untuk direalisasikan. Tidak asal menempatkan orang, namun kering pemahamannya dari basic tata kelola masjid. Hingga, kebijakannya kadang-kadang bersifat emosional dan tidak menempatkan porsi pelayanan umat sebagai agenda utama.
Diakui atau tidak, adanya remaja masjid yang aktif adalah sebagai dari hasil pola penanaman karakter tentang ke Islaman sejak dini lewat sarana masjid. Mulai dari syiar Islam dengan berbagai Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), pelaksanaan baca tulis Alquran secara intensif, sampai pada pembekalan dinamika beroganisasi sebagai wahana latihan kepemimpinan. Hasilnya, lahirlah kader yang mampu menyelaraskan antara bentuk kegiatan dengan tipologi jamaahnya. Sehingga, kehadiran mereka menambah respon yang positif terhadap keberadaan masjid dan fungsi kebermanfaatannya.
Langkah Konkret
Oleh karena itu, hemat penulis, upaya untuk menanamkan karakter remaja berbasis masjid bisa terwujud antara lain melalui hal berikut: Pertama, pemberian bimbingan. Ini artinya, lantaran remaja belum kaya pengalaman dalam melaksanakan kegiatan, baik di masjid maupun di dalam masyarakat sekitar masjid, mereka perlu dibimbing oleh pengurus atau jamaah masjid yang punya segudang pengalaman. Jadi pada posisi ini, perhatian remaja hakekatnya melihat potret seberapa besar intensitas orang tua secara langsung mengawal keberadaan masjid. Maka, untuk mendorong remaja supaya giat aktif di masjid, orang tua terutama pengurus takmir masjid harus terlebih dahulu memberi role model dengan tetap eksis dan semangat mengurusi masjid.
Kedua, mendorong ketangkasannya. Disinilah remaja perlu dirangsang sedini mungkin melalui proses interaksi selama di masjid untuk lebih inovatif dan kreatif. Sehingga, dengan adanya program kamping di masjid, daya sentuh kebutuhan masjid terhadap remaja akan terukur secara baik. Sebab, masjid mempunyai komponen yang berperan –remajanya– guna mendukung pada dinamisnya masjid, hingga mereka menjadi sosok yang penerus estafet kegiatan kemasjidan.
Ketiga, beri tanggung jawab. Disinilah remaja akan disadarkan bahwa perilaku bertanggung jawab tidaklah melekat sejak lahir. Namun, melalui proses latihan yang panjang dan melelahkan. Justru dengan memberikan ruang husus remaja untuk belajar memanajemen kegiatan-kegiatan hingga baik dan sukses. Alhasil, tanggung jawab dari remaja akan terpatri menjadi karakter yang positif untuk tuntas melaksanakannya.
Dan keempat, studi komparatif. Atau belajar kepada masjid-masjid yang sudah punya kemapanan tata kelola remajanya. Ini adalah hal paling cerdas untuk membentuk dan melahirkan remaja masjid yang berkarakter kemasjidan melalui semangat belajar pada remaja lain yang sudah mapan dalam kegiatan dan pengelolaan.
Akhirnya, bila hal diatas tidak ada, lalu apa yang mau dibanggakan dari keberadaan sebuah masjid. Membanggakan bangun saja tidak akan cukup, sebab ia akan punah termakan usia. Aset yang dimiliki, secepat kilat akan hilang, sebab dicabut keberkahannya. Hanya, remaja yang punya ruh kemasjidanlah yang akan mengerti bagaimana memelopori kegiatan masjid menjadi dinamis setiap saat. Semoga!
Warga Bojonegoro & Mantan Ketua Umum Remaja Islam Masjid Agung Jawa Tengah