Oleh: Mohammad Iqbal
Medio bulan empat kemarin, April 2017, kampus UIN Sunan Ampel dihadapkan dengan kondisi percaturan politik mahasiswanya yang lumayan berkabut. Beberapa mahasiswa dari kubu selatan kurang sepakat dengan aturan Pra Pemilu Raya (Pemira) yang dibuat KPU. Karena memiliki indikasi menghalangi kubu tersebut masuk dalam partisipasi demokrasi kampus. Hal tersebut memunculkan beberapa keributan. Salah satunya bentrokan yang terjadi ketika pihak yang diuntungkan oleh regulasi—untuk tidak mengatakan se-pihak dengan golongan yang masih/sedang berkuasa—mengusung calon ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas dengan istilah kerennya Presiden Mahasiswa sedang melakukan kampanye terbuka di lingkungan kampus. Kampanye tersebut berakhir dramatis karena dibubarkan oleh mahasiswa yang kontra dengan aturan yang telah dibuat KPU.
Jika boleh ditelaah—diluar dari kepentingan golongan—aturan yang dibuat oleh KPU Pemira 2017 memang terkesan mengada-ada. Bagaimana tidak. Mengacu timeline yang dibuat, pendaftaran partai sampai dengan perhitungan suara hanya dibuat 3 hari saja. Bisa dibilang, hal tersebut dikatakan membatasi akan adanya partisipasi publik. Hal tersebut mengindikasikan ambisi golongan tertentu dalam kursi eksekutif mahasiswa dalam tingkat universitas. Pemira tersebut tetap dilaksanakan dengan penundaan waktu satu hari. Dengan hanya melibatkan sekitar 25 orang saja (perwakilan prodi) untuk menentukan dan mewakili suara sekitar 13000 mahasiswa UINSA dalam penentuan siapa yang akan duduk di kursi eksekutif tersebut.
Sontak kejadian tersebut membangunkan mahasiswa untuk menyuarakan penolakan indikasi pengambatan keterbukaan informasi publik dan kebebasan berekspresi atas kepentingan golongan. Peran Persma di UINSA juga tidak luput untuk turut mengawal ironi politik mahasiswa tersebut. Meski dari sekitar 9 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang resmi tidak lebih dari setengahnya yang tetap mengawal kejadian tersebut. Selain itu, pembuatan petisi penolakan hasil Pemira 2017 di change.org juga dilakukan mahasiswa dan telah ditandatangani sekitar 200 orang.
Dikatakan kampus adalah sebagai miniatur negara demokrasi, hal ini berindikasi kuat akan adanya monopoli kekuasan golongan di UINSA yang tidak diimbangi dengan adanya keterbukaan partisipasi mahasiswa sendiri sebagai rakyat. Sehingga adanya atau tidak adanya badan eksekutif mahasiswa tersebut, menurut pengamatan penulis, tidak berdampak positif secara langsung terhadap keseluruhan mahasiswa maupun organisasi intra.
Tanggapan yang dilakukan pihak eksekutif mahasiswa yang bersangkutan terhadap pemberitaan persma malahan tidak positif. Kalau boleh bercerita, Penulis pernah ditemui pihak tersebut dan mereka menganggap apa yang dilakukan persma adalah tindakan penyerangan. Sehingga mereka meminta dukungan dan tidak adanya lagi bentuk serang-menyerang. Hak jawab dan hak tolak tidak digunakan. Hal ini penulis simpulkan bahwa tidak ada keterbukaan sistem dari calon-calon penerus bangsa yang anti-kritik layaknya bentukan orba.
Pers sering dikatakan sebagai pilar demokrasi juga telah disusupi golongan tertentu. Sehingga salah satu fungsinya yaitu sebagai control social maupun watch dog semakin lemah di kampus. Terlepas dari masalah birkorasi kampus (jajaran rektorat-dekanat) yang harus tetap diawasi, birokrasi mahasiswa sendiri juga harus turut dikawal sebagai penerus masa depan bangsa.
Banyak penolakan dari pihak yang dirugikan atas pemberitaan Persma. Birokrat kampus non-mahasiswa sering melakukan tindakan intimidasi secara langsung seperti ancaman drop-out terhadap yang bersangkutan hingga pembredelan lembaga Persma-nya. Sedangakan langkah yang dilakukan birokrasi mahasiswa menyikapi kerja jurnalistik yang dirasa menyudutkan terkadang malah dengan tindakan kekerasan.
Pihak yang dirugikan akan menyerang Persma dengan mengatakan tidak indepennya pers karena dirasa berpihak dengan birokrat kampus. Bahkan lebih parah dikatakan sebagai humas kampus. Padahal Persma sudah berusaha seberimbang mungkin. Hal itu akan dikatakan pihak yang bersangkutan ketika mereka merasa tersudutkan oleh pemberitaan Persma. Selain itu pernyataan tersebut dilegitimasi lagi dengan realitas bahwa Persma dihidupi oleh dana birokrat kampus. Pers
Mengutip perkataan seorang sastrawan eks-tapol Buru, Pramodya Ananta Toer, dalam karyanya Bumi Manusia mengatakan “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Ungkapan tersebut menjadi autokritik terhadap pemuda terpelajar sekarang ini yang notabene sebagai penerus bangsa. Menutupi dan menolak suatu hal yang perlu diperbaiki. Buruknya nanti, hal ini akan dibawa saat mereka berhadapan langsung dengan meja birokrat pemerintah.
Persma harus mengimbangi diri dengan bagaimana cara ia bersikap. Berpihak dengan keadilan dalam kemanusiaan serta menyuarakan suara yang tak terdengar. Sehingga nanti Persma akan menjangkau ranah nasional dan membantu tujuan negara yang berkeadilan sosial. Pasti dengan harapan dukungan payung hukum yang jelas meski beberapa orang akan menganggap sedikit utopis. Namun hal ini harus sangat dipertimbangakan sangat, karena banyak kasus represif terjadi terhadap anggota Persma seperti yang terjadi di Medan bulan ini.
Sebagai penutup, penulis mengutip pernyataan Benyamin Constant (1767-1834) bahwa “Dengan surat kabar (pers), kadang-kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan”.
*Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Adab dan Humaniora dan Anggota Ikatan Mahasiswa Ronggolawe Tuban, juga Pemimpin Umum di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas