Bucu Kendit, Tradisi Sambut Malam Satu Suro

Reporter: Mochamad Nur Rofiq

blokTuban.com - Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa. Di awal bulan Suro atau Sura di mana bertepatan dengan tanggal satu Muharram dalam kalender Hijriyah.

Masyarakat Tuban yang berada di wilayah selatan, malam satu Suro biasanya diperingati pada sore menjelang malam hari. Masyarakat setempat menyebutnya Surup atau Sandik Olo. Pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu Suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Masyarakat Jawa memiliki pandangan beragam mengenai Satu Suro, sebagian besar hari ini dianggap kramat. Bahkan untuk sebagian masyarakat, pada malam satu Suro memiliki tradisi untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Masyarakat Senori misalnya, di beberapa desa memiliki tradisi unik yang dinamakan 'Bucu Kendit'. Menyambut satu Suro atau satu Muharrom, sebagian warga di Desa Katerban dan Banyuurip mengadakan tradisi Bucu Kendit yang dilaksanakan di setiap pertigaan dan perempatan jalan desa.

"Tradisi Bucu Kendit ini merupakan tradisi turun temurun, dari saya kecil sudah ada ritual semacam ini" ujar Sulastri Munardi (40), salah satu peserta hajatan bucu kendit dari Desa Banyuurip.

Tradisi yang masih sangat diyakini sebagian besar masyarakat di ujung selatan Kabupaten Tuban ini, di lakukan dengan membawa nasi dan tumpeng yang diatasnya terdapat nasi yang berbentuk kerucut, atau bucu. Di bucu tersebut ada kenditnya atau garis warna hitam yang melingkar pada bucu.

"Selain tradisi bucu kendit yang di laksanakan rutin tiap tahun, besok malam juga diadakan Sholawatan dan pengajian umum," tambah Musriulani (45) peserta hajatan Bucu Kendit yang lain.

Terpisah, warga Desa Katerban, Ripah (58) memaparkan, di Desa Katerban acara bancaan atau hajatan Bucu Kendit selain dilaksanakan dalam rangka menyambut satu Suro, juga dilaksanakan setiap Kamis sore menjelang Magrib di bulan Suro.

"Tempatnya juga sama di pertigaan jalan desa," papar Ripah.

Lebih lanjut, kalau jaman dulu tradisi seperti ini sangat ramai sekali artinya sebagian besar masyarakat desa katerban ikut melaksanakannya, tetapi sekarang sudah mulai tergerus oleh zaman.

"Jadi yang melaksanakan hanya sebagian kecil," pungkasnya.[rof/ito]