Oleh: Shu'udi,n Aziz *)
Orang kampung saya, mungkin juga kampung lain di Bojonegoro selalu menyebut Idul Adha dengan istilah 'riyaya besar'. Riyaya adalah bahasa Jawa dari hari raya. Sementara istilah 'besar' sampai saat ini saya belum memgetahui bagaimana asal-usulnya. Jika di kampung saya malam Idul Adha lebih ramai dari pada malam idul fitri, karena di malam itu disediakan berbagai macam hidangan makanan ringan di meja tamu setiap rumah warga sekitar rumah saya. Anggapan saya, inilah yang menyebabkan di kampung saya idul adha disebut 'riyaya besar'.
Bagi umat Islam ada dua lebaran yang diperingati, Idul Fitri dan Idul Adha. Ied ('id) diterjemahkan dengan hari raya atau lebaran. Lebaran mengandung maksud lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya kita akan bisa lebaran dari kemaksiatan. Lebur artinya lebur dari dosa. Luber artinya luber dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari rahmat.
Adha berarti qurban atau korban. Kata yang kedua dalam bahasa Indonesia mempunyai dua makna, korban bisa jadi disakiti (baik hati atau badannya), bisa juga berarti ketulusan, persembahan, persembahan kepada siapapun. Makna yang kedua inilah yang senada dengan makna hari raya Idul Adha; persembahan kepada Tuhan, dan dalam persembahan ini dibutuhkan ketulusan.
Kesunahan berkurban merupakan syariat yang diajarkan Islam, juknisnya pun diatur oleh aturan syariat meski di sana terdapat aneka ragam perbedaan (khilafiyah). Misal tentang keutamaan hewan yang digunakan untuk berkurban. 3 Madzhab selain Maliki sepakat jika urutan keutamaan hewan yang untuk berkurban adalah unta, sapi kemudian kambing.
Sedangkan menurut madzhab Maliki urutan keutamaannya kambing, unta kemudian sapi. Semua pendapat tentang itu tentu punya dasar masing-masing, namun dalam tulisan ini yang akan dibahas bukan dalil urutan keutamaan-keutamaan tersebut, melainkan esensi dari kurban.
Banyak sumber yang menerangkan bahwa berkurban menjadi sarana meningkatkan ketaqwaan, karena persembahan yang akan diterima Tuhan adalah yang disertai ketaqwaan juga ketulusan, bukan seberapa banyak/seberapa bagus hewan yang dikurbankan, seperti yang termaktub dalam alquran kisah Qabil dan Habil putra Nabi Adam.
Daging kurban hasil sembelihan dibagikan ke kaum faqir miskin dalam kondisi mentah, berbeda dengan aqiqah yang 'sunnah'nya dibagikan dalam keadaan matang dan boleh dibagikan kepada siapapun. Meski berbeda, keduanya melatih kita agar berjiwa sosial tinggi. Selain dua hal di atas masih banyak esensi kurban yang diterangkan oleh para ulama-ulama terdahulu maupun kontemporer.
Ada hal menarik yang dapat saya simpulkan dari berbagai macam esensi kurban, yakni pengorbanan nafsu binatang (nafsu hewani). Maqalah/adigium yang saya ingat dalam hal ini adalah: al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang bisa berbicara), artinya, pada dasarnya sifat-sifat binatang seringkali bahkan kadang mendominasi dalam diri manusia, 'kemaruk', ingin menang sendiri, bertengkar, hanya mikir urusan perut dan bawah perut dan lain sebagainya.
Dengan suasana idul qurban/idul adha ini ada pertanyaan besar yang harus kita renungkan: selain berkurban hewan, sudahkah kita mengorbankan (membunuh ) nafsu kebinatangan kita?
Bukankah alasan Tuhan mengutus Ibrahim untuk mengorbankan anaknya itu adalah semata agar Ibrahim bersih dari nafsu kebinatangan?
Salam, selamat berkurban..
*) Penulis adalah santri Gubuk Taqrib Sendangrejo Dander, Bojonegoro