Penulis: Febria Zela Syabilla
blokTuban.com - “Pergiiii,”... teriak Seno dari dalam kamarnya. Dengan nada terbata-bata juga isak tangis perempuan paruh baya itu masih berdiri di depan pintu kamarnya.
“Sudah toh le,, kamu ini jangan seperti ini...” ungkapnya sambil menangis.
Tak ada jawaban disana, yang ada hanya kegaduhan si mbok dan orang yang berdandan layaknya orang kota yang kaya raya.
“Sudah-sudah, lagian mbok mau apa kalau Si Seno keluar kamar?” Sahut seorang dengan menarik tangan si Mboknya.
Mereka berdua lantas duduk di kursi bambu yang sudah lapuk dimakan usia, yang sudah hampir 16 tahun kursi itu menjadi saksi kehidupannya.
“Mbok, anakmu Seno itu tak tahu diri! kenapa juga masih Si Mbok mengkhawatirkannya.” Jelasnya.
“Man, man, apa kau tak tahu.. sedari dulu, aku yang merawatnya ya pantas saja kalau Si Mbokmu ini khawatir,” jawab Si Mbok dengan menatap tajam mata putranya.
“Aku tahu Mbok, tapi itu Senoo..” ucapnya dengan menumpah luahkan emosinya.
“Seno,, seno yang dulu aku bangga-banggakan, kenapa kau sepeti ini le..” ucapnya meratapi nasibnya.
***
Semenjak Seno mengenalnya, semenjak itu Seno menjadi berubah. Seolah ingin dimengerti dan ingin seperti mereka. Ya layaknya anak muda zaman sekarang dengan kendaraan kuda besi juga dengan teman yang sering mereka agung-agungkan, benda kecil dengan macam-macam aplikasinya. Benda kecil itu bernama smartphone atau handphone pintar, ya dari namanya saja sudah seperti itu. Sudah bisa dibayangkan bagaimana kecanggihannya.
Setelah beberapa jam Seno tak keluar dari kamar, kini akhirnya ia menghampiri kamar Si Mboknya yang tertutup rapat. Pintu kamar yang hanya terbuat dari anyaman bambu yang sedikit sudah dimakan rayap.
“Mbok-mbok..” suara Seno dari balik pintu kamar Si Mboknya.
“Masuk le..” sahut Si Mbok.
“Mbok, kenapa Mbok? tanya Seno khawatir.
“Le,, anakku Seno...” ucapnya terhenti.
“Kenapa Mbok..Seno di sini Mbok..” ucapnya sambil memegang tangan si Mboknya.
Remaja belasan tahun itu dengan seksama mendengarkan suara Si Mboknya yang semakin didengarnya semakin melemah. Ada guratan kekhawatiran di sana, ada kemelut tapi seperti masih ingin berlama-lama.
“Mbok Seno akan jadi anak sholeh Mbok, seno akan jadi harapan Si Mbok, pokoknya Seno akan membahagiakan Mbok dan keluarga ya Mbok ya “ ucap Seno panjang lebar. Tapi masih tak ada suara dari perempuan yang sudah lanjut usia itu, napasnya terengah-engah, matanya sayu dan bibirnya seperti ingin berkata-kata lagi.
Ah,,dilihat bibir itu semakin lama semakin tak bergerak, matanya yang sayu kini mulai terpejam dan tangannya masih erat menggenggam tangan Seno. Seno histeris, ia memeluk tubuh Si Mboknya yang telah terpisah dengan rohnya.
“Mboooookkk,,,” teriak Seno.
Sontak membuat Kang Masnya yang berkunjung di rumahnya ikut panik dan kaget.
“Ada apa...” tanya Rahman terhenti karena melihat Si Mbok yang terkulai lemas sudah tak bernyawa.
Langsung saja Kang Masnya mendekap Seno dan sedikit meneteskan air mata.
Para tetangga dan saudara dekatnya pun satu persatu datang menghampiri Seno.
Di sana terlihat seorang berjilbab panjang nan memesona itu menemani Seno, mengusap kepala Seno dan membacakan sesuatu ya sesuatu. Sangat pelan hingga tak ada tamu yang melayat pun mendengar suaranya. Seno sedikit tenang dalam pelukan perempuan itu, seperti ada ikatan batin juga seperti ibu dan anaknya yang telah lama tak berjumpa. Seno begitu tenang di sana, hanya saja banyaknya tamu yang turut berduka cita tak menjadikan seno lebih tenang dari semula. Ia terus merintih, memanggil Si Mboknya.
“Mbok, secepat itu kah Mbok meninggalkanku...aku masih butuh Mbokk,, Mbok..” Bibirnya tak berhenti merintih. Hingga pada saat kereta yang mengantarkan Si Mboknya ke tempat pengistirahatan terakhirnya itu berjalan dan hilang dari pandangannya, tak disangaka Seno tiba-tiba tak sadarkan diri. Ia benar-benar kehilangan pondasinya untuk menjalani terjalnya kehidupan.
***
Sampai pada semua jejak Si Mboknya terakhir merasuk dalam ingatannya, ia sampai hati terus berada di ruangan yang menjadi saksi bisu pondasi dalam hidupnya. Masih saja tak rela jika ia harus sendiri dan benar-benar sendiri.
“Anakku Seno... biarlah Mbokmu tenang di sana Nak..” ucap perempuan muda berjilbab panjang itu.
Seno memandangnya dengan tatapan yang sangat tajam, ia seolah tak rela hati jika perempuan itu menyebutnya dengan sebuah kata yang mengakui dirinya sebagai putranya.
“Kauuu.. perempuan itu..?” Tanyanya dengan nada yang sengit.
“Perempuan itu? Maksudmu apa Nak..?”
“Perempuan yang meninggalkanku, 15 tahun yang lalu..” tanyanya mempertegas.
“Ibuk tidak meninggalkanmu, Nak,“ Jawabnya dengan berderai air mata.
“Lantas jika engkau tak meninggalkanku, mengapa kau baru datang di saat Si Mbok meningalkanku, kemana saja engkau selama ini wahai Ibukku?” sahutnya.
Perempuan itu hanya terdiam dan meneteskan air mata.
“Mengapa kau diam Buk..? jawab pertanyaanku!” bentaknya dengan mata berkaca-kaca.
Dipeluk tubuh anaknya yang mulai remaja itu, Seno menyingkirkan pelukan Ibuknya.
“Kalau engkau benar Ibukku, kau pasti tau kabar Ayahku? Dimana ia sekarang?” tanyanya penasaran.
Tiba-tiba suasana menjadi hening, ketika sosok laki-laki itu datang dengan seberkas amplop yang sepertinya masih rahasia.
“Sudah lee,, kasian Ibumu..jangan kau cerca dengan banyak pertanyaan” ucapnya santai.
“oh jadi selama ini Kang Rahman tau semuanya? Kenapa kau juga diam saja Kang?” tanya Seno dan beranjak dari ranjang tua Si Mboknya.
Dan perempuan itu hanya menangis, ia terisak tanpa suara.
“Yang sabar Mbak Yu, aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini” Kang Rahman menepuk pundak perempuan itu.
Masih tanpa suara, tapi yang jelas Seno semakin bertanya-tanya.
“Ini le.. coba kamu baca dan renungkan..Pak lekmu ini tak bisa berbuat apa-apa..keputusan semua ada ditanganmu” ungkap kang Rahman pada Seno yang duduk di tepi ranjang.
“Apa kang,,? Tak usahlah bertela-tele.. Seno tak paham!” celetuknya.
“Dibuka dulu..” sahut Kang Rahman.
Dibukanya perlahan semua berkas itu, pelan namun seksama. Sambil Membaca lebih lama lagi Seno sesekali memandang wajah Ibunya yang teduh nan berseri itu. Ia melempar senyuman dan kembali membaca lebih lanjut. Bibirnya tak berhenti bergerak, dan mengeluarkan sedikit suara dengan volume yang sangat rendah, namun masih bisa terdengar oleh Ibu dan Pak Leknya.
“Jika nanti aku tak kembali padamu, maka jangan harap aku akan kembali menemui. Jika bukan karena izin dari Tuhanku, aku tak mungkin bisa menuliskan dan mengirimkan coretanku dihari ulang tahun putra kita yang pertama. Kuharap engkau ikhlas melepasku, Karena apa-apa yang muaranya pada cinta kasihNya akan juga kembali padaNya.
Aku yang mencintaimu karena Allah, tetap tegar sayangku..bidadariku. Jagoan kecilku Seno Adhiyatsa Pratama, jaga Mamah untuk Ayah, Nak.”
Seno kembali menatap wajah Ibunya lalu menghampirinya, memeluk erat dan mencium tangannya.
“Maafkan Seno buk, Seno akan jaga Ibu sampai kapan pun. Ibu percaya itu kan?” ungkap Seno meyakinkan.
Perempuan muda itu hanya mengangguk dan membalas senyum dari Seno buah hatinya.
***
Langit malam kini memberi isyarat sebuah jawaban pertanyaan, bintang malam pun seakan memberikan penjelasan. Bahkan purnama kelima belas pun menjadi saksi bisu, jika akan ada masa dimana cinta sesungguhnya akan diuji.
“Mbokk,, tenang ya kau di sana Mbokk..Seno rindu pelukan Si Mbok..” ungkap Seno sambil memandang purnama tanpa hadirnya Si Mbok tercinta. [col]
*Febria Zela Syabilla merupakan Mahasiswi Universitas PGRI Ronggolawe Tuban yang juga sebagai anggota Komunitas Sanggar Sastra (KOSTRA) UNIROW Tuban, penulis berasal dari Lamongan yang berdomisili di Tuban