Oleh: Suantoko
blokTuban.com - Syekh Maulana Ishak Al Magribi merupakan salah satu putra Syekh Jumadil Kubro yang mengemban misi dakwah menyebarkan agama Islam ke wilayah timur, seperti Campa, Sumatra, Jawa, dan wilayah di sekitarnya. Berdasarkan Babad sejarah Kerajaan Demak, Syekh Maulana Magribi adalah pemeluk agama Islam dari Jazirah Arab.
Beliau adalah ulama yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sebelum sampai tanah Demak, beliau singgah di Pasai. Sebuah riwayat juga mengatakan bahwa Syekh Maulana Ishak Al Magribi merupakan keturunan Nabi Muhammad dan masuk golongan waliyullah di Jawa.
Kalau di Tuban, banyak penduduk yang mempercayai waliyullah tersebut dimakamkan di lingkungan dondong, Kelurahan Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Setiap tahun, warga setempat menggelar haul (peringatann kematian), berupa pengajian dan pagelaran wayang kulit.
Syekh Maulana Ishak Al Magribi tiba di tanah Jawa bersamaan dengan gejolak di Kerajaan Majapahit. Beliau datang dengan tujuan untuk mengislamkan orang jawa. Momen tersebut terjadi pasca runtuhnya kerajaan Majapahit. Kemudian berdiri kerajaan Demak dengan dukungan para wali.
Syekh Maulana Ishak Al Magribi merupakan putra Syekh Jumadil Kubro. Bersama ayah dan dua saudaraannya beliau mengemban misi dakwah ke Tanah Jawa pada gelombang pertama. Gelombang tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi pulau Jawa pada saat itu. kesulitan demi kesulitan dialami oleh empat ulama tersebut termasuk Syekh Maulana Ishak.
“Pada waktu itu, Jawa masih angker,” ungkap Kamso, juru kunci makam Syekh Maulana Ishak Al Magribi, yang berada di kawasan atas angin, Kelurahan Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban.
Lantas empat pedakwah dari Timur Tengah tersebut kembali ke Turki, melaporkan temuannya kepada Sultan Muhammad I. Dari temuan di pulau Jawa, latas disusun kekuatan dakwah yang terdiri dari sembilan ulama yaitu Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, Maulana Jumadil Kubro, Maulana Ahmad Al Magribi, Maulana Malik Isroil, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanudin, Maulana Alayuddin, dan Syekh Subakir. Sembilan ulama tersebut ke Tanah Jawa dengan mengemban misi dakwah dengan masa bakti 100 tahun, apabila pindah atau meninggal harus segera dicari pengganti.
Kedatangan ulama gelombang dua yang terdiri dari sembilan ulama yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim, menyebar ke wilayah pulau Jawa.
Berdakwah Ke Timur
Para wali membagi tugas dengan beberapa wilayah penyebaran agama Islam. Tugas utama dari Syekh Maulana Ishak Al Magribi adalah ke bagian Jawa timur, di daerah Blambangan. Beberapa saat kemudian, Syekh Maulana Magribi menikah dengan putri Adipati Blambangan. Namun pernikahan tersebut hanya seumur jagung. Syekh Maulana diusir dari Tanah Blambangan karena diketahui ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah meninggalkan Blambangan, Syekh Maulana Ishak Al Magribi kemudian menuju Tuban. Di kota tersebut, Syekh Maulana Ishak Al Magribi ke tempat saudaranya yang sama-sama dari Pasai yaitu Syekh Assamarqandi. Lantas, beliau memilih daerah Semanding sebagai sasaran dakwah di Tuban. Dari kota Tuban, Syekh Maulana Ishak Al Magribi kemudian melanjutkan pengembaraan ke Mancingan.
Ketika menyebarkan agama Islam di Mancingan, sebenarnya Syekh Maulana telah memiliki putra bernama Jaka Tarub dari istri bernama Rasa Wulan, adik dari Sunan Kalijaga. Tatkala ditinggal pergi ayahnya, jaka tarub masih bayi.
Sebelum Syekh Maulana Magribi sampai Mancingan, di sana sudah menetap seorang pemuka agama Budha yang pandai bernama Salaening. Kediaman pendeta tersebut sebelah timur Parangwedang. Tempat pemujaan pendeta dan para muridnya yaitu di candi yang berdiri di atas Gunung Sentana.
“Ketika menghadapi Biksu tersebut, mula-mula Syekh Maulana menyamar sebagai murid Salaening,” ungkap Kamso.
Dalam kehidupan keseharian, Syekh Maulana kadang-kadang memperlihatkan kelebihannya pada pada masyarakat setempat. Lama kelamaan biksu Selaening mendengar kelebihan yang dimiliki Syekh Maulana Magribi. Akhirnya Salaeaning memanggil Syekh Maulana Magribi untuk dan diitanya siapa sebenarnya dirinya. Kesempatan itu, dimanfaatkan oleh Syekh Maulana Magribi untuk menyampaikan kepada biksu Salaening tentang ilmu agama yang sebenarnya. Kedua orang tersebut kemudian saling berdebat ilmu. Akan tetapi Salaening tidak menandingi ilmu Syekh Maulana Magribi, sejak saat itu Kyai Salaening ganti berguru kepada Syekh Maulana. Kyai Salaening masuk agama Islam.
“Pada waktu itu, di padepokan Kyai Salaening sudah ada dua orang putra pelarian dari kerajaan Majapahit yaitu Raden Dhandun dan Raden Dhander,” jelas Kamso. Kedua raden itu putra dari raja Brawijaya V. Kedua putra mahkota itu akhirnya masuk Islam, karena Kyai Salaening sudah masuk Islam. Lantas, putra mahkota itu berganti nama menjadi Syekh Bela-Belu dan Kyai Gagang (Dami) Aking.
Meski telah mengislamkan Kiai Salaening dan dua orang muridnya, Syekh Maulana tidak segera meninggalkan Mancingan. Beliau kemudian membuat padepokan di Gunung Sentono dekat candi. Tujuannya untuk mengurangi pemujaan di candi. Sesudah dianggap cukup menyampaikan siar agama, Syekh Maulana meninggalkan Mancingan dan berpesan agar padepokannya dihidupkan. [bersambung]
*Penulis adalah pegiat budaya dan literasi di Kabupaten Tuban