Oleh: Nanang Fahrudin
Malam ini terasa berbeda bagi Kang Tamin. Betapa tidak, ia bersama Kang Soleman mengikuti jamaah salat tarawih dengan imam seorang syekh dari Palestina. Sang syekh juga memberikan ceramah kepada jamaah yang hadir di masjid besar. Belum pernah mereka melihat secara langsung seorang imam dari negara lain, apalagi mendengar menjadi makmum salat.
Sayangnya dalam kesempatan yang bagi mereka langka ini, Kang Sabar malah tidak nongol. Entah kemana dia, karena sejak kemarin sore tidak kelihatan batang hidungnya. Biasanya ia nongkrong di warung kopi Kang Suyit. Atau kalau tidak, ya paling di teras langgar Kaji Tohir.
Jamaah tarawih dengan imam dari Palestina baru selesai sekitar pukul 20.30. Tapi Kang Tamin dan Kang Soleman seperti enggan beranjak dari duduk. Mereka masih mencoba meresapi apa yang dikatakan oleh sang syekh melalui penerjemah. Bahwa di Palestina, umat Islam tidak bisa menjalankan ibadah puasa seperti umat Islam di Indonesia. Mereka selalu dalam ancaman keselamatan dan dalam kelaparan.
“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saudara kita di Palestina menjalankan ibadah puasa. Mereka salat berjamaah saja dibatasi,” kata Kang Tamin.
“Ya Kang. Sementara kadang kita di sini terlalu menyepelekan bulan penuh berkah ini. Kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi terus menerus. Pergi ke pasar. Berbelanja ini itu. Menghambur-hamburkan uang untuk kebutuhan yang tidak-tidak,” sahut Kang Soleman.
Setelah acara usai dan orang benar-benar tinggal sedikit yang tersisa di masjid, barulah Tamin dan Soleman beranjak meninggalkan masjid. Berboncengan motor mereka menuju kampungnya. Keduanya masih menyimpan banyak kenangan dan tanda tanya setelah mendengar kondisi Palestina dari orang Palestina langsung.
Mereka tidak langsung pulang, tapi seperti biasa mereka mampir ke warung kopi Kang Suyit. Dan benar, di sana Kang Sabar sedang asyik nongkrong sambil ditemani secangkir kopi. Wajahnya sayu dan terlihat suntuk. Mungkin ia sedang tidak punya uang, pikir Kang Tamin.
“Assalamu’alaikum Kang,” sapa Kang Soleman.
“Wa’alaikum salam. Dari mana ini? Kok ndak ngajak-ngajak.”
“Walah sampean tidak ada dari kemarin. Kita dari salat tarawih dan mendengar syekh dari Palestina berceramah,” kata Kang Tamin.
“Kenapa tidak mencariku. Pasti ikut kalau tahu ada acara begituan.”
“Sapa suruh menghilang.”
“saya tidak menghilang. Cuma saya dari kemarin lagi bingung saja. Kebutuhan saat puasa kok banyak banget ternyata. Saya sedang mencari utangan.”
“Jika sampean ikut acara bersama kami tadi, mungkin sampean akan berpikir lain tentang Ramadan di sini. Sampean pasti akan bersyukur bisa berpuasa di negeri tanpa perang begini. Mereka, saudara-saudara kita di Palestina, jangankan makan, untuk minum air bersih saja kesulitan,” kata Kang Soleman.
Kang Sabar diam saja.
“Ya, ceramah sang syekh tadi sebenarnya bukan hanya soal Palestina. Tapi kalau kita renungkan dalam-dalam juga sebuah tamparan bagi kita yang menganggap apa yang kita lakukan dengan puasa kita sudah sangat berat. Padahal, banyak orang terutama yang ada di Palestina sana menjalankan puasa jauh lebih berat dari kita.”
“Betul kang. Seharusnya saya harus mengubah cara pikir yang keliru ini,” kata Kang Sabar.
“Tidak hanya sampean kang. Saya juga merasa disindir. Kita yang disini malah sibuk menyiapkan daftar belanjaan untuk lebaran mendatang. Padahal, saudara kita di lain tempat untuk makan besok saja masih kesulitan.”
“Lalu kita harus bagaimana?”
“Ya bagaimana, yang penting kita tidak melampaui batas-batas kewajaran dalam mempersiapkan perayaan lebaran. Kita harus lebih fokus pada ibadah puasanya, bukan persiapan perayaannya. Dan ini sangat sulit. Puasa kita adalah puasa enteng banget, karena negara kita tidak sedang perang. Ini harus kita syukuri. Banyak umat Islam yang menjalankan puasa denngan sangat berat, karena sedang perang atau dalam kemiskinan yang sangat. Makanya kita harus selalu ikut merasa prihatin dengan kondisi saudara kita yang tidak seberuntung kita. Rasa prihatin juga akan menumbuhkan rasa syukur pada apa yang kita miliki sekarang,” kata Kang Soleman.
“Sik ta kang. Sampean kok moro-moro pinter banget. Sampean habis makan apa?”
“Makan sate tempe,” jawab kang Soleman sambil tertawa.