Oleh: Nanang Fahrudin
Seorang ibu menangis sesenggukan, meratapi dagangannya yang disita petugas Satpol PP. Gara-garanya ibu tersebut berjualan makanan di warungnya pada siang hari. Satu persatu dagangan dibawa sang petugas. Sayur ditumpahkan ke wadah plastik lalu dibawa. Aneka gorengan juga tak luput dari penyitaan. Seakan-akan gara-gara makanan itulah umat Islam tidak bisa berpuasa sama sekali.
Peristiwa memilukan itu terjadi di Serang, Banten. Daerah yang teramat jauh dari tempat Kang Sabar tinggal. Tapi terasa dekat juga. Tangisan sang ibu penjual terus terdengar di telinganya. Ilmu agama Kang Sabar cetek. Tapi ia tak habis pikir, kenapa ada aturan yang membolehkan menyita makanan milik pedagang?
“Dalam hukum syar’i, dibolehkan seseorang untuk tidak berpuasa. Yakni orang sakit, orang bepergian, perempuan hamil dan menyusui, serta orang sudah tua renta. Empat golongan itu, ketika tidak berpuasa maka pada siang hari mereka otomatis akan makan sebagaimana hari biasa. Lalu, bagaimana kalau semua warung dipaksa tutup. Artinya, kita mendholimi orang-orang yang memang diberi hak oleh Allah untuk tidak berpuasa pada hari itu.”
“Kalau mau begitu. Mbok sekalian pedagang-pedagang di sekitar rumah sakit juga dilarang buka. Pasien-pasien yang sakit jangan diberi makan. Karena untuk menghormati dokter dan perawat yang sedang berpuasa. Orang-orang yang tua renta diawasi dengan seksama, jangan sampai ada yang makan demi menghormati yang muda yang sedang berpuasa.”
“Mungkin saya terlalu bodoh untuk memaknai apa yang dilakukan pejabat negara itu.”
Kang Sabar terus melontarkan kekesalannya. Ia mengamuk pada meja di depannya. Pada kursi kayu reot yang berdiri miring di ruang tamunya. Televisi 14 inchi dibiarkan menyala tanpa ada gambar satu stasiun televisi pun. Dan seperti tak ingin berhenti ia melanjutkan.
“Kita selalu keliru memaknai Ramadan. Kita memaksa lingkungan kita untuk berpuasa. Padahal kita lah yang seharusnya menjalankan puasa. Kenapa kita selalu berburuk sangka bahwa orang yang datang ke warung membeli makanan adalah orang yang tidak berpuasa. Kenapa kita tidak berpikir bahwa orang itu membutuhkan makanan untuk ibunya yang sakit. Untuk kakeknya yang baru saja mengalami kecelakaan. Dan sebagainya dan sebagainya.”
Kang Sabar keluar rumah. Ia hendak pergi ke langgar menunggu takjil. Tapi pikirannya tetap tak bisa berdamai. Lalu dilihatnya Kaji Tohir sedang duduk-duduk di teras langgar. Disapanya tetangganya itu.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam Kang!”
“Ji, sampean sudah lihat razia warung di Banten?”
“Ya kang, saya lihat,” kata Kaji Tohir. Memang, sahabatnya ini selalu bisa mengendalikan emosinya. Ia menyelesaikan persoalan dengan tenang dan tidak terburu-buru.
“Saya tidak habis pikir kang. Kenapa setega itu,” katanya.
“Cuma satu kalimat kang. Tuhan Maha Baik. Itu saja. Semua akan menemukan jalan keluarnya. Memang saya juga geli melihat razia-razia semacam itu. Kok seperti puasanya anak kecil yang tak kuat melihat kalau ada makanan. Padahal, puasa kan menahan lapar dan segala godaan. Lha kalau godaan makan saja tidak bisa. Bagaimana mau menahan godaan korupsi, godaan mencuri, dan godaan-godaan lainnya.”
“Lalu bagaimana kang?”
“Ya, bagaimana kita harus mengambil hikmah dari kejadian itu. Dan setahu saya, Allah telah mengganti kerugian ibu itu. Mungkin nilainya lebih besar dari jumlah kerugiannya.”
“Ya kah?”
“Ya, lewat tangan orang-orang yang membantunya melalui donasi untuk ibu pedagang tersebut. Terpenting kita belajar dewasa saja dalam berpuasa.” [col]