Sabar Mencari Kebahagiaan

 

Oleh: Nanang Fahrudin

Semua orang mencari kebahagiaan. Ada yang mati-matian berebut kursi bupati, gubernur, dan presiden karena yakin di posisi itulah mereka akan menemukan kebahagiaan. Ada orang yang rela membayar puluhan juta hingga ratusan juta untuk bisa menjadi PNS, karena dia yakin menjadi PNS adalah menghadirkan kebahagiaan.

Ya, kebahagiaan adalah puncak dari pencarian manusia. Ada yang menginginkan bahagia di dunia dan akherat, ada yang mementingkan kebahagiaan dunia dan mengabaikan kebahagiaan akherat. Begitulah dunia ini selalu diiming-imingi jalan menuju kebahagiaan. Dan pencarian kebahagiaan seringkali dilandasi oleh nafsu dan akal semata, bukan oleh hati.

Begitu juga dengan Kang Sabar, sebagai manusia biasa ia selalu berusaha mendapatkan kebahagiaan. Salah satunya dengan bekerja setiap hari. Tapi bekerja tak cukup membuatnya bahagia. Apalagi, penghasilannya pas-pasan setiap harinya. Kadang bekerja seminggu, namun dua kemudian harus mengencangkan ikat pinggang untuk berhemat.

Pada sebuah sore, Kang Sabar bertamu ke rumah Kaji Tohir. Maklum, ia butuh buka puasa gratis. Tapi, ada hal yang lebih penting di benaknya yang hendak disampaikan ke Kaji Tohir. Yakni tentang mencari kebaahagiaan.

“Ji,” sapa Kang Sabar “apakah kebahagiaan itu?”

“Wah, pertanyaan sampean itu kok aneh begitu. Sampean sahur apa tadi pagi,” jawab Kaji Tohir.

“Ya.....bukan begitu Ji. Kebetulan saya sedang kepikiran itu sejak kemarin. Saya kok merasa hidup ini hampa bagaimana gitu.”

“Oalah kang. Begini. Kebahagiaan itu ada di dalam hati. Yakni ketika kita sudah bisa sangat dekat dengan Allah. Bahagia itu ketika kita sudah tidak ada yang ditakuti lagi. Lha ketika kita takut miskin ya kita akan tidak bahagia terus.”

“Kenapa jalan menuju kebahagiaan itu sulit Ji.”

“Saya tidak tahu persis soal itu kang. Tapi begini. Saya pernah membaca buku Imam Ghozali tentang kitab kimia kebahagiaan. Bahwa mencari kebahagiaan itu ada beberapa cara. Dan cara paling dasar adalah mengenali diri kita sendiri. Mengenal diri ini bukan dalam bentuk fisiknya, melainkan dalam substansinya. Siapa diri kita, akan kemana kita, apa tujuan hidup kita, dan seterusnya. Karena dalam hadits Nabi disebutkan barangsiapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.”

“Kita ini kan memiliki sifat-sifat hewan, setan hingga malaikat. Bahkan, pantulan sifat-sifat Allah juga diberikan kepada manusia. Nah, kita harus mengenal diri kita agar bisa tahu mana sifat yang lebih dominan di diri kita. Seekor kuda dan keledai sama-sama bisa digunakan sebagai alat angkut. Namun kuda lebih baik karena bisa lebih cepat. Namun, ketika kuda tak mampu memanfaatkan potensinya, maka ia hanya akan menjadi alat angkut sebagaimaana keledai.”

“Begitu juga kita. Ketika kita akan memaksimalkan sifat hewani maka kita akan hanya mencari makan dan berkelahi. Namun ketika kita memaksimalkan sifat malaikat, maka kita akan berusaha berserah diri kepada Allah dan tak begitu memusingkan hal-hal duniawi. Manusia adalah keseimbangan dari semuanya itu kang!”

“Saya sedikit yang ngerti, tapi banyak ndak ngertinya. Hehe,” kata Kang Sabar.

“Intinya begini kang. Kita jangan menjauhi dunia, juga jangan terlalu memuliakan dunia. Kita harus selalu bersyukur. Allah menciptakan sifat hewan pada manusia bukan untuk dihilangkan. Karena sifat hewan itu juga ada manfaatnya. Allah tidak menciptakan sesuatu yang tidak berguna.”

Kaji Tohir melanjutkan “Sekali lagi kebahagiaan itu hanya datang dari Allah kang. Bukan datang dari yang lainnya. Maka, kita harus berusaha selalu dekat dengan Nya. Saya bukan orang yang sudah mencapai kebahagiaan. Tapi saya selalu berusaha meraihnya dengan berdoa kepada Allah. Ingat, semua dikendalikan oleh Allah.”

Sore menjelang maghrib, Kaji Tohir mengajak Kang Sabar ke langgar. Di langgar ada buka puasa bersama. Kebetulan ada tetangga yang selametan tiron. Bagi orang jawa, tanggal kelahiran tidak dirayakan setahun sekali, melainkan sebulan sekali. Dengan dinamai tironan.

“Alhamdulillah,” kang Sabar menyambut nasi kuning yang disodorkan kepadanya. Adzan maghrib berkumandang, waktunya menyantab makanan.