Tradisi Geofagi atau kebiasaan makhluk hidup, dalam hal ini manusia dan hewan memakan tanah. Suatu hal yang lumrah ditemukan pada masyarakat pedesaan atau di peradaban praindustrial. Namun, di tengah era modern saat ini, masih dapat dijumpai produsen dan konsumen ampo atau panganan berbahan tanah liat. Seperti produsen ampo, ibu dan anak, Rasimah (64) dan Sarpik (37) asal Dusun Trowulan, Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban.
Reporter: Dwi Rahayu
blokTuban.com - Mengenal Tuban bisa dari berbagai aspek. Kali ini blokers (sapaan akrab pembaca blokTuban.com), diajak untuk mengenal panganan khas dari desa yang masyhur atas kejernihan air di pemandian Bektiharjo. Suguhan panorama Pemandian Bektiharjo menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang bertandang di pemandian tersebut.
Desa Bektiharjo yang kerap diidentikkan dengan sumber air Sendang Widodaren memiliki panganan khas, yaitu ampo. Ampo sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Tuban sebagian. Produksi ampo yang dikenal selama ini berasal dari Dusun Trowulan, Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding.
Untuk mencapai Desa Bektiharjo tidaklah sulit. Saat menyebut Bektiharjo identik dengan destinasi wisata pemandian Bektiharjo. Dari pusat kota untuk sampai di lokasi berjarak sekitar 5 kilometer. Sedangkan Dusun Trowulan dengan pemandiang Bektiharjo berjarak kurang lebih satu kilometer.
Di rumah sederhana milik satu-satunya produsen ampo, Rasimah (64), setiap harinya ampo diproduksi. Ia bertahan dengan pekerjaan yang sudah turun temurun. Memproduksi ampo, selain melestarikan bagian sejarah Tuban, juga sebagai mata pencaharian nenek paruh baya ini.
Dipastikan, tidak akan mencium aroma khas produsen suatu panganan dari arah dapur Rasimah. Pasalnya, makanan yang diproduksi Rasimah seutuhnya berbahan dasar atau baku dari tanah liat. Tanpa penambahan penyedap rasa ataupun aroma esense.
"Pekerjaan ini sudah dari turun temurun. Tidak ingat kapan mulainya," kata Rasimah, kepada blokTuban.com.
Ia menjadi generasi ke lima dalam silsilah keluarga sejak puluhan tahun silam. Dulu, ampo menjadi camilan istimewa di kalangan masyarakat pedesaan. Sedangkan untuk bahan tanah liat sendiri, ia peroleh dari lahan sawah yang ia sewa tahunan. Dengan merogoh kocek Rp2 juta, ia memanfaatkan lahan dimusim penghujan untuk bercocok tanam, sedangkan di musim kemarau untuk mengambil bahan ampo sebanyak mungkin.
Saat berada di ruang dapur, dapat dijumpai beberapa karung berisi tanah. Sengaja ia menimbun tanah saat musim kemarau. Lantaran di musim penghujan tanah becek dan sulit untuk diambil.
"Tanah yang dijadikan bahan ampo tidak sembarang tanah. Yaitu tanah yang tidak mengandung batuan kerikil," tambah warga RT 1 RW 1 itu.
Tanah liat yang diambil merupakan tanah berjarak sekitar 10 centimeter dari permukaan, guna menghindari batuan kerikil serta akar rumput yang terdapat di dalam tanah.
Proses pembuatan ampo diawali dari pembuatan adonan tanah. Dari sini dibutuhkan tekstur yang pas untuk menentukan bagaimana hasil ampo nantinya. Tanah dicampur dengan air hingga menemukan kepadatan dan kalis (tidak lembek dan tidak kering) supaya saat dikerok, tanah tidak mudah patah dan rapuh. Kemudian, dibentuk menyerupai kubus tiga dimensi, kurang lebih memiliki rusuk 30 centimeter.
Adonan ampo butuh didiamkan beberapa saat, sebelum dikerok menjadi stik ampo. Beberapa alat yang perlu dipersiapkan untuk mengeruk ampo, yakni pisau dan keruk atau kerok berbahan bambu, ganden (palu terbuat dari kayu) dan tataan adonan.
Tanah liat kalis atau adonan ampo mulai dikeruk menggunakan keruk bambu yang diraut menyerupai pisau. Untuk mendapat stik melingkar sempurna tidak semua orang bisa melakukannya. Seperti sudah ada bakat bawaan untuk mengeruk ampo. Memerlukan insting dan tekanan tenaga terukur. Jika tenaga terlalu ditekan akan merusak adonan, lantaran terlalu dalam saat mengeruk, selain itu adonan cepat habis dan tidak menghasilkan banyak stik ampo.
Selama mengeruk ampo, beberapa kali Sumirah meraut keruk bambu tersebut. Membutuhkan keruk runcing untuk menghasilkan stik ampo dengan ketebalan kurang dari satu centimeter, dengan panjang sekitar 6 sampai 8 centimeter.
Stik ampo hasil kerukan terlebih dahulu harus dijemur. "Kalau ampo dijemur lebih baik, supaya bapoh (kuat) dan tidak menghabiskan banyak kayu saat proses pembakaran," kata pembuat ampo lain, Sarpik (37), yang turut melanjutkan usaha pembuatan ampo dari sang ibu.
Sekitar satu jam dijemur di bawah terik matahari, stik ampo menyerupai jajanan coklat ini ditaruh dalam priuk dari tanah liat, untuk kemudian diletakkan di atas perapian. Untuk pembakaran tidak bisa menggunakan api yang menyala, akan tetapi hanya perlu diasapi untuk menimbulkan bau asap atau masyarakat menyebutnya sangit. Kayu yang digunakan pun tidak bisa sembarang kayu. Minimal kayu bertekstur keras seperti pohon jati, asam atau mangga untuk dimanfaatkan arangnya.
Sekitar 30 menit waktu pengasapan, stik ampo asap sudah dapat dikonsumsi. Saban hari, ibu dan anak ini mampu memproduksi ampo asap sekitar 17 kilogram dengan harga jual setiap satu kilogram Rp8.000 hingga Rp10.000. Untuk memasarkan ampo ia memiliki langganan di pasar kota Tuban. Masyarakat Kecamatan Semanding, khususnya Desa Bektiharjo, memanfaatkan ampo selain untuk camilan pula digunakan sebagai sesaji, ketika ada hajatan khitan, mantu (pernikahan), selametan kelahiran sapi atau hendak menanam dan memanen padi.
Selain itu, sudah tidak terhitung lagi, bahwa ampo produksi ibu dan anak ini kerap dijadikan bahan penelitian oleh kaum akademisi. Dari hasil penelitian tersebut, kini kegunaan ampo selain untuk camilan dan sesaji dapat dimanfaatkan sebagai obat.
"Sekitar lima tahun lalu, pernah ada mahasiswa dari Jakarta meneliti ampo. Tinggal di sini selama sepuluh hari untuk mengetahui proses pembuatan, dan kemudian dilakukan uji laboratorium," ujar sarpik menambahkan.
Beberapa penyakit yang dikabarkan dapat disembuhkan dengan mengkonsumsi ampo, diantaranya panas demam, gatal-gatal, sakit perut dan orang hamil. Ampo dikatakan pula dapat dimanfaatkan untuk memperlancar sistem pencernaan. Kendati berbahan tanah, setelah melalui proses pengasapan, saat dimakan rasa khas tanah asap memenuhi mulut. Sesaat kemudian rasa adem yang merupakan ciri khas tanah mulai terasa.
Ampo yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dan merupakan warisan leluhur, kini mulai sepi produsen. Di Dusun Trowulan, Desa Bektiharjo, jika beberapa puluh tahun lalu ada lebih dari lima orang pembuat ampo, kini hanya tinggal ibu dan anak tersebut. Pembuat ampo sebelumnya, sudah mulai kehilangan tenaga lantaran termakan usia dan tidak ada generasi selanjutnya. [dwi/rom]