Krisis Perlindungan Hukum, 94 Perempuan dan 48 Anak di Tuban Jadi Korban Kekerasan

Reporter : Moch. Nur Rofiq 

blokTuban.com - Menyambut Hari Pergerakan Perempuan Indonesia pada 21 Desember 2024, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KP. Ronggolawe mempublikasikan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024. 

Dalam laporan tersebut, LBH KP. Ronggolawe mengungkapkan kompleksitas kekerasan yang menimpa perempuan, anak, dan warga miskin di Kabupaten Tuban

Hingga tahun ini, tercatat 194 kasus kekerasan yang mereka dampingi melalui layanan litigasi maupun non-litigasi.  

Menurut Direktur LBH KP. Ronggolawe, Nunuk Fauziyah, kasus-kasus tersebut meliputi 94 kasus kekerasan terhadap perempuan, 48 kasus kekerasan terhadap anak, dan 52 kasus yang melibatkan warga miskin yang berhadapan dengan hukum. 

Kasus-kasus ini diterima melalui berbagai saluran seperti pengaduan langsung, telepon, media sosial, hingga email dari korban, keluarga, atau tetangga korban.  

"Kami mendampingi para korban secara pro bono dengan melibatkan konselor, pengacara, dan paralegal yang memiliki semangat untuk memberikan layanan hukum gratis. Tujuannya adalah memberikan perlindungan, kepastian hukum, dan memperjuangkan hak-hak korban," ujar Nunuk dalam siaran pers yang diterima blokTuban.com, Rabu (18/12/2024). 

LBH KP. Ronggolawe menilai jumlah kasus yang tercatat hanya sebagian kecil dari keseluruhan insiden kekerasan yang sebenarnya terjadi. 

Fenomena "gunung es" ini menunjukkan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan, terutama di kalangan perempuan dan anak korban kekerasan.  

Dari data yang dihimpun, latar belakang korban umumnya adalah perempuan muda, berpendidikan rendah, berasal dari pedesaan, dan keluarga miskin. 

Sementara itu, pelaku cenderung memiliki pendidikan lebih tinggi, berusia dewasa, dan memiliki posisi sebagai pejabat publik atau tokoh masyarakat.  

Jenis kasus yang mendominasi meliputi Kekerasan Seksual (KS), Kekerasan Terhadap Istri (KTI), Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), pencabulan, pernikahan anak, serta kekerasan terhadap anak. 

Warga miskin yang berhadapan dengan hukum juga menghadapi kasus seperti pencurian kecil, perjudian, hingga pelanggaran ringan lainnya.  

"Fakta ini memperlihatkan ketimpangan relasi kuasa yang sangat nyata antara pelaku dan korban, terutama ketika pelaku memiliki pengaruh politik atau jabatan tertentu," tambah aktifis perempuan di Bumi Ronggolawe itu. 

Nunuk juga mengkritik kurangnya upaya serius dari pemerintah Kabupaten Tuban dalam menerjemahkan substansi undang-undang yang ada, seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Anak, dan UU TPKS.  

"Pemkab Tuban belum serius memberikan layanan hukum dan perlindungan kepada korban. Padahal, sudah ada Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin. Namun, implementasinya belum optimal," tegasnya.  

LBH KP. Ronggolawe mendesak pemerintah daerah dan DPRD untuk segera meningkatkan alokasi anggaran untuk layanan perlindungan, konseling psikologis, visum, bantuan hukum, dan pemulihan korban. 

Lalu, membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan yang lebih komprehensif di lingkungan kerja pemerintah.  

Kemudian, mengawasi pelaksanaan PERDA terkait bantuan hukum serta mempercepat pengesahan peraturan bupati sebagai tindak lanjut.  

LBH KP. Ronggolawe menyampaikan terima kasih kepada masyarakat, media, dan pihak-pihak yang telah mendukung upaya advokasi mereka. 

Lembaga ini berharap rekomendasi yang diajukan dapat menjadi perhatian khusus pemerintah, sehingga langkah konkret untuk pencegahan, perlindungan, dan pemulihan kekerasan terhadap perempuan, anak, dan warga miskin segera terwujud.  

"Semoga ini menjadi momentum perubahan untuk Tuban yang lebih adil dan berkeadilan bagi semua warganya," tutup Nunuk. [Rof/Ali]