Sang Penjaga Bumi

Penulis : Siti Nur Aini

blokTuban.com - Guruh, ia adalah seorang anak yang ditinggal oleh kedua orang tuanya. Sejak kedua orang tuanya berpisah ia tinggal bersama mbok Yam. Guruh dan mbok Yam hidup sebatangkara. Setiap harinya selalu berkelana, jalan-jalan ke sawah. 

Terkadang ia pun tertidur digubuk sawah milik petani, lalu pergi setelah pemiliknya datang. Selain berjalan di sawah ia pun berjalan di hutan, sungai, untuk mencari buah-buahan ataupun umbi-umbian dari hutan untuk dimakan oleh Guruh dan mbok Yam, dan minumnya dari mata air.

Meskipun pakaiannya tidak compang-camping tak sekalipun ku melihat ia menggunakan alas kaki. Pernah suatu saat kutanyakan, lalu ia menjawab “ lebih nyaman seperti ini Sur, bisa dengar tanah berbisik lewat kaki ku, untuk menyampaikan pesan dari bumi.” Bisa dibilang ia adalah penjaga bumi. Amarahnya bias naik jika ada orang yang merusak lingkungannya.

Suatu ketika ia sedang duduk-duduk di salah satu gubuk milik petani, ia melihat ada dua orang pemuda yang berboncengan melewati sawah. Ia melihat pemuda yang diboncengkan melemparkan bungkus makanan.

Guruh yang melihat perlakuan itu amarahnya langsung naik seketika, ia melemparkan batu kecil kepada dua pemuda itu sambil marah-marah. Tak terima dengan perlakuan Guruh pemuda itu memutar sepedahnya lalu menghampiri Guruh dan membalas perbuatan Guruh dengan melemparkan batu yang lebih besar, untungnya hal itu berhasil digagalkan oleh warga.

Rasa kesal dan amarahnya kembali datang ketika ia melihat ibu-ibu yang mencuci pakaian menggunakan deterjen, dan sampahnya dibuang ke sungai. Belum lagi saat mobil-mobil dari kota melewati desa yang meninggalkan asap-asap kotor dengan bau menyengat. Begitu sering ia membuat keributan dengan penduduk akibat hal yang kecil, sampai-sampai penduduk desa mencibirnya dengan sebutan, “orang gila!”

Suatu ketika Guruh pergi ke hutan, saat dihutan ia menemukan kantung kain yang terikat. Setelah menemukan kain itu, ia bawa kantung kain itu dan ia berlari menghampiriku. “Surya, coba lihat ini. Aku menemukan ini di tanah hutan dekat sungai. Diperlihatkannya kepadaku kantung kain itu.

“Kamu tau itu apa?” sejenak aku amati, “kantung kain itu berisi seperti emas, Ruh. Apa mungkin isi kain itu emas?”

“Aku juga ngga tau, Sur. Coba kamu tanya ke juragan jagung bapakmu. Ini kuberikan padamu. Aku tidak butuh ini.” Sambil kupandangi kantung kain itu yang sedang kupegang.

Keesokan harinya, saat bapakku mau mengantarkan jagung hasil panen ke juragan Randu, aku memaksa untuk ikut karena ingin menanyakan soal kantung kain yang diberika oleh Guruh. Sesampainya kerumah juragan, aku menyodorkan kantung kain pemberian Guruh kepada juragan.

“Boleh saya tau juragan, apa isi dari kain kantung itu, apa kantung itu berisi emas?”

“Kamu dapet darimana kantung kain ini, Sur?” masih diamatinya lekat-lekat kain kantung itu.

“Guruh yang menemukan itu dihutan, juragan. Lalu kain kantung itu diberikan kepada saya.”

Setelah diamati kain itu, juragan membuka kantung kain itu, ternyata benar kain kain itu berisi

segerombol emas.

“Apa benar itu emas asli juragan?”

“Saya belum bisa memastikan, Sur. Harus dibawa ketoko emas yang ada di kota. Supaya bisa

memastikan, dubantu dengan alat canggih.”

“Jangan juragan itu pemberian dari Guruh.”

“Heh, Sur. Kalo sampai ini beneran emas asli gimana? Coba kamu pikir, Sur. Kamu bisa kaya raya.

Bapakmu bisa membeli kerbau,membeli sapi,membeli motor bebek, Sur. Kamu tidak akan jalan kaki lagi saat berangkat ke sekolah. Lagipula jika emas ini asli dan didapatkan dari hutan, berarti penduduk juga berhak mendapat bagian. Itu bisa memakmurkan penduduk desa.”

“Yasudah juragan, kalau memang untuk kemakmurandesa, tidak apa-apa dibawa, Gan.”

“Nah bagus itu, Sur. Saya kekota empat hari. Nanti saya kerumah bapakmu jika memang ini emas asli.”

Empat hari kemudian, juragan benar menepati perkatannya dating kerumah bapakku. “Benar, emas ini

benar emas asli,” ungkap juragan.

Tidak perlu waktu lama, kini berita mengenai harta karun di belakang hutan desa telah menyebar keseluruh penduduk desa.

Para petani mulai meninggalkan sawah,kebun,ladang, kemudian para pengembala meninggalkan ternaknya, pedagang meninggalkan warungnya, untuk beramai-ramai mencari kantung kain yang berisi emas di hutan.

Mereka semua pergi dengan peralatan bak pemburu harta karun. Dibawanya cangkul,parang,besek,wajan, apapun benda yang dapat memudahkan mereka mencari harta karun, mereka membawa semua benda-benda itu.

Hutan yang masih muda, kini mulai ramai dikunjungi oleh manusia-manusia serakah yang gila dengan harta kartun. Memaksa membuka jalur menuju lokasi untuk menemukan kantung kain yang berisi emas dengan membabat pohon yang ada dihutan.

Dalam sekejap, kini hutan sudah penuh dengan hiruk pikuk penduduk desa. Ada yang mulai menggali tanah , memecah batu-batu besar yang menghalangi jalan, hingga menggerus sampai bantaran sungai. Raut wajah tamak begitu terlihat dari setiap pasang mata meraka saat melihat kantung kain yang beri emas yang heboh diberitakan oleh seluruh penduduk desa belakang.

Guruh tidak tau apa yang terjadi pada hutan ini, suatu ketika saat ia ingin membeli obat untuk neneknya yang sakit, ia melihat apa yang terjadi pada hari itu. Disaat itu juga Guruh juga sedang sakit.

“Apa ini? Berhentiii! Berhenti kalian jangan rusak rumahku, Pergiii!” Guruh menghampiri para penduduk

dengan amarah yang membara,suara bergetar dan matanya basah.”

“Gila kamu, kita semua akan menjadi kaya,” ungkap satu warga dan ditertawai semua orang yang ada

dihutan.

“aku mohon behentilahhh, jangan merusak rumahku, berhentiii! Aku sakit, kini Guruh benar-benar melemah. Tidak ada satupun orang yang menanggapi Guruh meski ia sudah memohon. Semua orang masih menggali, menebang,dan semakin memperluas lahan untuk mencari kantung kain yang berisi emas itu. Perlahan kuhampiri Guruh yang masih sesenggukan.

Setiap hari, setelah merawat neneknya yang sakit, ia pergi kehutan untuk mengamati kegitan penduduk dengan mata yang basah tanpa memikirkan kondisi badanya yang sedang sakit. Tidak mau makan apa-apa hanya minum air keruh sungai akibat aktifitas manusia-manusia yang gila dengan harta karun kain kantung yang berisi emas.

Suatu waktu aku berbicara pada bapak, prihatin Guruh dan keaadan saat ini. Karena aku membawa kantung kain itu ke juragan. Tetapi bapak tidak sependapat denganku, katanya ini hal yang bagus, aku telah berjasa pada penduduk desa.

“Sungguh, aku sangat menyesalinya, Ruh,” batinku.

Siang ini aku kembali mencari Guruh memberikan makanan buatan ibu, semoga ia mau memakannya. Kini, jalan menuju hutan sangat berbeda,terang dan ramai karena vegetasi yang menutupi jalan dibabat habis oleh orang-orang yang serakah. Semakin hari, semakin banyak orang mencari kantung kain yang berisi emas.

“Guruhhh!” sambil berlari aku menghampirinya.

“Hati-hati, Sur,” sahutnya sangat lirih.

“Kita makan siang dulu.”

“Kamu saja, Sur, aku kenyang.”

Dia berbohong, aku tau dia pasti berbohong. Dia terlalu kacau. Muka pucat, bibir kering, terlihat sangat lemah dan tidak bertenaga. Aku tau dia pasti tidak diam. Tidak pernah berhenti memohon pada orang-orang serakah itu untuk pergi dari rumahnya. Rumah Guruh.

“Sur!”

“Ya?”

“Aku begitu sangat marah, tapi aku tidak bisa apa-apa, Sur.”

“Maafkan aku, Ruh, andai kemarin aku tidak memberikan kantung kain itu kepada juragan, pasti tidak

akan terjadi seperti ini, Bisikku padanya.”

“Aku sakit, Sur. Tidak kuat lagi.”

“Kita kepuskesmas sekarang ya, Ruh.”

(Menggeleng)

“ Sur, aku lelah. Aku tidak kuat lagi, aku bersumpah, semua orang itu akan tenggelam!”

Setelah berkata seperti itu Guruh menunggalkan Surya dengan mata terpejam. Saat itu ia benar-benar meninggalkan bumi tercinta bersama mbok Yam.

Tiga hari setelah kepergian Guruh, kini awan yang sangat hitam datang, tak begitu lama hujan turun sangat deras bersahutan dengan kerasnya guntur.tetapi hujan ini tidak seperti biasa, sudah lima hari hujan turun dengan terus-menerus. Air selokan sudah terisi air hujan dan sudah mulai naik keatas rumah- rumah warga desa. Sejenak aku teringat kata-kata terakhir kepergian Guruh, “Semua orang itu akan tenggelam.”

“Ah,tidak,” Segera ku hilangkankan lamunan agar tidak berfikir aneh-aneh.

Kini hujan semakin deras bersahutan dengan guntur yang sangat keras. Menyebabkan aliran listrik dipadamkan. Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, aku membuka tirai jendela, terlihat gelap dan sunyi desa ini. Sayup-sayup aku dengar keributan diluar,suaranya kalah dengan rintik hujan yang deras.

“Masih jam satu dini hari’ batinku. Tapi suara orang-orang itu semakin nyataditelingaku.”AIRR…AIRR..LARIII…BANJIRRR! Teriak orang-orang dari luar rumah. Lalu dengan gegas bapak menggendongku dan membawaku keluar rumah.

Kami berlari mejauh dari air yang datang dari arah sungai di kaki gunung, tempat orang-orang yang mencari harta karun.

BRUKK…

Aku terjatuh bersama bapakku. Terlalu mustahil untuk berlari dalam keadaan gelap, hujan yang semakin deras sambil menggendongku. Aku dan bapak kembali bangun dan berlari dengan sekuat tenaga, namun semua sudah terlambat.

Air yang datang begitu deras menghantam tubuh kami. Pandanganku sangat buram. Aku merasakan nyeri hebat dikepalaku, seperti ada cairan yang mengalir di pelipis mataku, setelahnya semua menjadi gelap. Aku tersadar ada dua lelaki berseragam duduk dihadapanku, lalu memberiku segelas air hangat.

“Alhamdulillah kamu sudah tersadar nak, kamu jangan banyak gerak dulu,” kata lelaki itu. Aku hanya mengiyakannya.

Setelah meminum air hangat itu aku bertanya pada kedua lelaki itu, “ Dimana bapakku?” Lelaki dua itu hanya terdiam, sekali lagi aku bertanya pada kedua lelaki itu, “Dimana bapakku? Sambil menangis, lalu salah satu lelaki itu menjawab, maaf bapakmu sudah tidak bisa diselamatkan lagi.” Saat mendengar itu tangisan Surya semakin memecah.

Begitu tangisnya reda, Surya diam sejenak sambil melamun dalam hatinya berkata, & bagaimana bisa, perkataan Guruh benar-benar terjadi,? kini orang-orang yang serakah tenggelam.

Setelah itu, Surya menatap langit, biru bercampur sedikit jingga dan merah, sang fajar menyapa malu- malu dari ufuk timur. Surya tersenyum sendu melihat tanah kelahirannya. Pada akhirnya harta-harta yang terpendam itu mengajak para pengikutnya untuk menyatu bersama mereka, menyatu kembali bersama bumi yang mereka cintai.

 

Terimakasih sudah membaca sampai cerita akhir. Semoga pertemuan ini bukan menjadi pertemuan terakhir kita di cerpen ini. Aku mohon doa dan dukungannya selalu, ya, semoga dapat bermanfaat untuk kalian semua.

Aamiin…

 

Terimakasih banyak! Semoga Tuhan selalu memberkahi kita semua! Jangan lupa bersyukur!!!

 

Siti Nur Aini, lahir 23 Juni 2007 di suatu kota yang indah di Tuban, sekarang sedang duduk di bangku kelas 9 di SMPN 5 TUBAN.

 

Temukan konten Cerpen menarik lainnya di GOOGLE NEWS