Reporter: Dina Zahrotuul Aisyi
blokTuban.com- Yayasan Paramitra Jawa Timur yang berdiri sejak tahun 1986 merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Berdirinya Yayasan Paramitra dilatarbelakangi oleh adanya tingkat kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang ditandai dengan keterbatasan ruang akses sumberdaya bagi masyarakat lapis bawah dan termarjinalkan.
Dengan membawa visi terwujudnya masyarakat yang dinamis dan berdaya dalam memperjuangkan hak-haknya untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan lahir dan batin. Yayayasan paramitra melakukan misi melalui penguatan kelembagaan masyarakat, membangun jejaring dan sinergi dengan para pihak (stakeholder) dan membangun ruang-ruang yang memungkinkan masyarakat mengaktualisasi diri.
Juga menciptakan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya yang ada, serta memobilisasi sumberdaya yang memastikan Paramitra dapat menjalankan misi-misinya.
Direktur Paramitra, Asiah Sugianti renstra yayasan paramitra yang disusun di tahun 2021 dan berlaku sampai tahun 2025 mendatang ada tiga, yakni, mendorong sistem layanan kesehatan mata, HIV AIDS, dan kesehatan ibu anak (KIA) yang komprehensif, inklusif, berprespektif gender dan lingkungan.
“Malah sekarang harus ditambahi orang muda, program apapun harus mengakomodir kelompok pemuda. Kalau secara lapangan kami sudah lakukan seperti di Tuban dan Probolinggo, walaupun tidak menargetkan, tapi sudah kerja sama dengan orang muda, seperti karang taruna, siswa sekolah, PMR,” jelasnya.
Dalam hal penguatan kelembagaan masyarakat sebagai wadah aspirasi, yakni community based organization, yayasan paramitra mencoba untuk menguatkan kelembagaan di masyarakat. “Tidak harus membuat program baru, melainkan boleh mengoptimalkan yang ada. Misal ada desa siaga yang sudah mencakup seluruh kesehatan, boleh saja dimasukkan di situ,” ujarnya.
Selain itu, Yayasan Paramitra saat ini memiliki semboyan ‘orang dengan disabilitas bisa menikmati hak asasi mereka dalam layanan kesehatan’.
“Ini yang kita ingin menjadi gerakan kami, karena semua program kami semua dikembangkan inklusif, yang peduli terhadap anak-anak, perempuan, orangtua dan orang disabilitas,” jelasnya.
Melalui program kesehatan mata yang inklusif, kegiatan yang ada di masyarakat antara lain operasi katarak. Sementara untuk program anak-anak difokuskan pada tingkat SMP/MTs untuk mengakses kacamata bagi siswa smp/MTs yang tidak mampu.
“Di Tuban dan Probolinggo banyak ditemui siswa-siswi yang minusnya sangat tinggi. Bagi kami, dengan program tersebut membuat komitmen kami dalam membantu masyarakat yang marjinal,” ungkapnya.
Asiah melanjutkan, goals dari program-program tersebut adalah adanya sistem yang komprehensif. Mulai dari promosi, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif ingin digarapnya. Goals selanjutnya adalah adanya sistem yang inklusif.
Arrtinya adalah program yang bisa diakses oleh semua kalangan, tidak sekadar orang disabilitas ataupun non disabilitas. Selain itu, efektif dan replikabel (dapat ditiru) bagi anak-anak gangguan penglihatan dan kebutaan yang dapat dihindari.
“Tuban dan Probolinggo ini sebagai pilotnya, inginnya bisa direplikasi ke kabupaten/kota lain kalau pemerintahnya mau. Kelemahan kita di Indonesia, pemerintah tidak pernah mau mensustainable-kan sesuatu yang sudah bagus apalagi mereplikasi,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, hasil akhir dari program ini adalah masyarakat yang bisa berperan aktif dalam upaya Penanggulangan Gangguan Penglihatan (PGP).
“Partisipasi masyarakatnya ini dilihat dari terbentuknya desa sehat mata, di Tuban ada 5 desa sehat mata, di Probolinggo ada 8. Kita belajar setahap demi setahap, kalau bagus bisa menginspirasi desa lain. Dan ini merupakan inisiasi lokal, kita tidak membiayai apapun tapi antusias masyarakat luar biasa,” terangnya.
Selain itu juga meningkatnya pengguna utilitas pelayanan kesehatan mata di tingkat puskesmas dan RSUD. Hasil akhir yang ketiga, adanya kebijakan dan lingkungan yang suportif dan kondusif bagi pengembangan program PGP.
“Adanya keterbatasan program penanggulangan gangguan penglihatan di tingkat kabupaten, karena mata bukan prioritas pemerintah, padahal gangguan penglihatan di Indonesia ada di nomer dua tertinggi setelah Ethiopia. Terbatasnya program PGP tadi, hasil antaranya sudah ada Komatda di Tuban dan Probolinggo,” jelasnya. [din/ono]