Reporter: --
blokbojonegoro.com - Masyarakat tentu sudah akrab dengan tingkah laku politisi yang haus kekuasaan. Psikiater Dame Jane Roberts dalam bukunya Losing Political Office mengatakan, tak mudah bagi politisi untuk kehilangan kekuasaan. Kalah, mundur, dan tak lagi berkuasa bagi politisi sama dengan kehilangan identitas yang bisa menyebabkan gangguan mental.
Roberts yang mengutip kalimat Sigmon Freud mengatakan, kuasa bagi politisi adalah ide atau objek yang harus diperjuangkan dengan sepenuh hati. Selain kerja keras, politisi harus melakukan pengorbanan termasuk dalam kehidupan pribadi demi ambisi. Dengan banyaknya pengorbanan yang harus diberikan, tak heran bila politisi terkena depresi saat kehilangan kekuasaan.
"Bagi politisi harus angkat kaki dari pusat kekuasaan seperti peringatan duka, namun tidak ada yang meninggal atau penguburan. Hal ini diperparah dengan tidak ada pengakuan atau ucapan terima kasih dari partai pengusung. Mereka yang kalah dalam pemilihan atau mundur akan dilupakan begitu saja," kata Roberts.
Politisi juga harus menanggung malu saat kembali ke lingkungan masyarakat. Terlepas dari motif angkat kaki dari pusaran kekuasaan, masyarakat akan melabeli mereka sebagai politisi gagal. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan pribadi politisi yang merasa dunianya hancur. Tak heran bila politisi menolak bertemu dengan masyarakat, misal dengan mengunci diri, karena minimnya kesiapan mental selepas tidak lagi menjadi pejabat.
Menurut Roberts, risiko mengalami gangguan mental mengintai siapa saja yang hendak terjun ke dunia politik. Tekanan dan ambisi menyebabkan politisi tak punya jalan lain kecuali memenuhi tuntutan tersebut. Hari Kesehatan Jiwa yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober menjadi pengingat pentingnya kesiapan bagi calon politisi jika tak ingin kelak mengalami depresi. [lis]
Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4250936/menjadi-politisi-antara-ambisi-dan-penyakit-mental