Reporter: Dina Zahrotul Aisyi
blokTuban.com - Pada Rabu (8/12/2021) kemarin, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang telah berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disetujui oleh Badan Legislatif (Baleg) sebagai usulan DPR yang akan dirapatkan dalam sidang paripurna.
Forum Pengada Layanan (FPL) pada Kamis (9/12/2021) menggelar Konferensi Pers FPL untuk membahas urgensi pembahasan RUU TPKS yang melindungi korban. Dalam konferensi tersebut terdapat beberapa narasumber yakni Nur Laila Hafidhoh, tim substansi RUU PKS FPL sekaligus Direktur LRC- KJHAM, Ayu Oktariani dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Retno Ekaresti dari Yayasan Embun Pelangi Batam, Yunri Koliman dari Sanggar Suara Perempuan Soe NTT, Melsia Huliselan dari Pendamping Gasira Maluku, dan Adeli pendamping dari OPSI.
Tim substansi RUU PKS FPL, Nur Laila Hafidhoh mengungkapkan dalam RUU TPKS yang telah disetujui untuk diusulkan tersebut terdapat beberapa poin pada jenis kekerasan seksual yang tidak diakomodir. Selain itu seharusnya juga terdapat rumusan hak korban, keluarga korban, saksi ahli dan pendamping.
“Di draft terbaru hak pendamping tidak masuk, padahal dari pendamping korban kekerasan seksual sendiri seringkali mengalami intimidasi, ancaman-ancaman, baik dari pelaku ataupun aparat,” terangnya.
Melsia Huliselan, pendamping Gasira Maluku mengungkapkan dalam proses pendampingan pada korban- korban kekerasan seksual pendamping juga seharusnya memiliki perlindungan hukum. “Saya beberapa kali diikuti oleh orang yang tidak dikenal setelah mendampingi korban di rumah aman, setelah ditelusuri ternyata orang tersebut punya hubungan keluarga dengan pelaku,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, di rumah aman, tempat yang diperuntukkan bagi para korban kekerasan seksual juga beberapa kali didatangi oleh orang dengan pakaian kedinasan untuk menanyakan terkait keberadaanya serta teman-teman pendamping yang lain.
“Hal ini akan jadi ancaman bagi pendamping, padahal kita selama ini bicara terhadap perlindungan terhadap korban, bagaimana perlindungan terhadap kami para
pendamping? padahal korban, pendamping, dan kita semua adalah warga masyarakat yang berhak dilindungi oleh negara,” paparnya.
Yunri Koliman dari Sanggar Suara Perempuan Soe, NTT juga mengungkapkan kejadian serupa yang dialaminya saat mendampingi korban-korban kekerasan seksual. “Saya pernah dapat ancaman dari keluarga pelaku, ancaman verbal sampai yang menyerang psikis,” ungkapnya.
Yunri mengatakan saat mendampingi korban perkosaan anak, Ia dituduh merekayasa hasil visum, dituduh membekali korban dengan berita bohong saat pelaporan BAP dan di pengadilan, serta diancam akan dilaporkan ke pimpinan agar dipecat.
“Dari situ saya merasa tertantang untuk lebih lagi dalam memberi perlindungan, pendampingan, pertolongan bagi korban. Saya pendamping saja diancam bukan tidak mungkin korban mengalami ancaman yang lebih berat lagi,” tegasnya.
Sangat disayangkan, aturan hukum bagi perempuan pembela HAM dari berbagai ancaman baik verbal sampai dengan ancaman nyawa saat ini belum ada. Yunri juga meminta dalam RUU TPKS ini juga mengatur tentang perlindungan bagi para pendamping.
“Kami mendorong RUU TPKS ini segera disahkan mengingat banyak sekali perempuan menjadi korban akibat kekosongan aturan hukum serta belum kunjung disahkannya RUUTPKS dapat memberi peluang perilaku sewenang-wenang oleh kaum superior,” pungkasnya. [din/sas]