Reporter: Ali Imron
blokTuban.com – Jumlah sampah harian Kabupaten Tuban mencapai 500 ton lebih. Sementara Tempat Pebuangan Akhir (TPA) yang ada hanya mampu menampung 60 sampai 80 ton per hari. Sisa sampah yang belum terkelola tercecer, dan muaranya di kawasan pesisir.
Sesuai data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tuban bahwa komposisi sampah di Tuban hampir 70 persennya berupa sampah organik, dan sisanya sampah anorganik ada plastik, karet, besi dan lain sebagainya.
Permasalahan sampah tersebut menjadi perbicangan serius di diskusi publik yang digelar Universitas Ronggolawe (Unirow) Tuban bersama Universitas Brawijaya Malang di gedung rektorat lantai 1 Unirow pada Sabtu (23/10/2021).
Dalam diskusi gayeng itu, Kepala DLH Tuban, Bambang Irawan mengatakan pemerintah selama ini menjalankan dua metode untuk mengolah sampah. Diawali pengolahan berbasis masyarakat yaitu dengan membentuk 84 titik bank sampah. Diharapkan kedepan semua desa dan kelurahan yang berjumlah 328 akan memiliki bank sampah masing-masing.
“Untuk yang berbasis teknologi, Kabupaten Tuban saat ini sedang membangun pengolahan sampah Refuse Derivied Fuel (RDF) dari APBN senilai Rp122.700.000.000,” kata Bambang Irawan.
Output dari program pusat ini adalah sebagian sampah di Tuban akan dikelola dengan baik melalui RDF. Hasilnya akan dipakai pabrik semen sebagai bahan bakar alternatif pengganti batu bara. Karena kalori sampah di bawah batu bara.
RDF akan menampung sampah dari masyarakat dari berbagai kecamatan seperti Kerek, Palang, Tambakboyo, Tuban, Semanding, Jenu, dan Kecamatan Merakurak. Dimana sosialisasi program telah berlangsung tahun 2020 lalu.
Mendengar permasalahan sampah yang diungkapkan DLH, pakar bidang biologi dan lingkungan yaitu Guru Besar Unibraw, Amin Setyo Leksono memberi solusi yang harus dilakukan oleh Pemkab Tuban.
“Permasalahan sampah organik jadi rebutan. Di Riau dan Bogor sampah organik dapat diolah jadi larva BSF untuk bahan baku makanan ikan. Potensinya luar biasa. DI Jatim belum ada pengolahan sampah organik jadi BSF,” sambungnya.
Dengan mengolahnya menjadi BSF, maka nilanya meningkat karena akan jadi rebutan banyak pihak. Di samping itu, pendidikan bagi kader lingkungan juga harus dilakukan dengan cara non formal.
Mengutip dari situs Probolinggokab, BSF (Hermetia Illucens) adalah sejenis lalat berwarna hitam yang larvanya (maggot) mampu mendegradasi sampah organik. Maggot atau belatung yang dihasilkan dari telur lalat hitam (BSF) sangat aktif memakan sampah organik.
Jika pengolahan sampah organik dengan teknologi ini dilakukan langsung di sumber sampah, maka dapat menghemat biaya pengangkutan sampah dan kebutuhan lahan untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Mengolah sampah dengan bantuan maggot biayanya tergolong murah. Kita hanya menyediakan kandang lalat hitam yang berasal dari kayu dan kain hitam, juga bak-bak untuk memelihara maggot sehingga mereka mampu mengolah sampah menjadi pupuk organik.
Biokonversi oleh larva BSF dapat mendegradasi sampah lebih cepat, tidak berbau, dan menghasilkan kompos organik, serta larvanya dapat menjadi sumber protein yang baik untuk pakan ayam dan ikan.
Proses biokonversi dinilai cukup aman bagi kesehatan manusia karena lalat ini bukan termasuk binatang vektor penyakit. Pengolahan sampai dengan BSF dapat mereduksi jumlah sampah, sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi maupun segi kesehatan. [ali/mu]