Reporter: --
blokTuban.com - Tak dapat dipungkiri, pandemi membawa banyak kerugian terhadap Indonesia. Mengutip situs DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 20 Mei 2021 menjelaskan, perekonomian Indonesia kehilangan kesempatan menciptakan nilai tambah atau mengalami “kerugian" kurang lebih sebesar Rp 1.356 triliun akibat pandemi COVID-19.
“Perekonomian Indonesia 2020 mengalami kontraksi 2,1 persen, jauh lebih rendah dari target semula 5,3 persen. APBN 2020 bekerja sangat keras untuk melindungi keselamatan jiwa rakyat dan perekonomian dari hantaman pandemi COVID-19," kata Sri Mulyani.
Di kala krisis finansial akibat pandemi memukul Indonesia, rumah sakit dituding telah menjadikan pandemi sebagai ladang bisnis. Pada 23 Juli 2020, Tirto melaporkan beberapa cuitan di media sosial Twitter yang mengklaim bahwa ada seseorang yang tidak terjangkit COVID-19 tetapi ditangani dengan protokol COVID-19 agar rumah sakit bisa mendapatkan insentif dari pemerintah. Besarannya bervariasi, di kisaran Rp 300 juta per satu orang.
"Beneran, di kotaku itu, kata pakdeku, ada keluarga pasien yang disuruh mengaku Covid, padahal sakitnya itu sudah lama. Soalnya, kalau ada pasien Covid, RS-nya akan cair insentif Rp300 juta. Biasanya 50 juta dikasih ke keluarga pasien, sisanya buat RS," klaim seorang pengguna Twitter.
Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Anjari Umarjianto pun menanggapi bahwa cuitan-cuitan serupa merupakan bualan belaka dan tidak masuk akal. Pasalnya, proses pencairan klaim biaya perawatan COVID-19 harus melalui verifikasi berjenjang yang panjang dan ketat. Kementerian Kesehatan pun punya semacam panitia antifraud (anti-penipuan).
Teranyar, Ketua Badan Anggaran DPR RI M.H. Said Abdullah meminta rumah sakit agar tidak menjadikan layanan pandemi COVID-19 sebagai ajang pemburu rente (rent seeker) dengan modus mengubah pasien negatif COVID-19 menjadi positif untuk mendapat klaim BPJS Kesehatan, dilansir dari siaran pers.
"Untuk itu, saya meminta pemerintah membongkar praktik mafia rumah sakit yang memanfaatkan pandemi COVID-19 untuk mengeruk keuntungan finansial," ungkap Said dalam keterangan persnya pada 15 Maret 2021.
Lantas bagaimana sebenarnya kondisi keuangan rumah sakit dan perusahaan farmasi di Indonesia saat ini?
Rumah Sakit Untung?
Dari penelusuran Tirto, beberapa rumah sakit yang terdaftar sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami peningkatan laba drastis setelah pandemi menerjang.
Sebagai contoh, PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) atau Siloam Hospitals Group pada kuartal pertama 2021 mencatatkan pendapatan sebesar Rp1,91 triliun, naik sebesar 32,6 persen dari pendapatan periode yang sama tahun 2020, berdasarkan laporan kinerja keuangannya yang diakses melalui situs BEI.
Sementara itu, laba bersih SILO juga melonjak drastis sebesar 789 persen, atau lebih dari 8 kali lipat, di kuartal I 2021, sebesar Rp 143,89 miliar, dari laba bersih kuartal I 2020 sebesar Rp 16,19 miliar.
“Peningkatan profitabilitas telah didorong oleh fokus berkelanjutan manajemen untuk peningkatan pendapatan dan strategi manajemen biaya serta pelaksanaan program pengobatan dan pengujian COVID," tertulis dalam siaran pers SILO di keterbukaan informasi BEI.
Mitra Keluarga Karyasehat (MIKA) dan Medialoka Hermina (HEAL) pun mengalami tren yang sama di kuartal I 2021. MIKA mengantongi pendapatan bersih sebesar Rp 1,2 triliun, naik sebesar 37,3 persen dari Rp 874,72 miliar pada kuartal I 2020. Dengan kenaikan ini, laba bersih yang dapat diatribusikan pada pemilik entitas induk juga terkerek naik menjadi Rp 316,34 miliar, naik sebesar 59,15 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 198,77 miliar.
"Sebagian besar revenue-nya masih didominasi dari [pasien] COVID-19," ujar Head of Investor Relations MIKA Aditya Widjaja kepada Kontan pada 23 April 2021.
Sementara itu, HEAL mencatat pertumbuhan penjualan dan pendapatan usaha sebesar Rp 1,58 triliun pada Januari-Maret 2021, naik sekitar 61 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 983,88 miliar. Demikian pula HEAL mencetak laba bersih sebesar Rp 283,25 miliar pada periode tersebut, naik 294,27 persen, atau lebih dari 3 kali lipat, dari angka Januari-Maret 2020 sebesar Rp 71,84 miliar.
Dilansir dari Kontan, pendapatan bersih HEAL yang naik ditopang oleh pendapatan rawat inap hingga Rp 1,15 triliun. Direktur PT Medikaloka Hermina Tbk Aristo Setiawidjaja juga menyatakan bahwa, sebesar sepertiga dari pendapatan rawat inap itu disumbangkan oleh pasien COVID-19.
Tren keuntungan yang didapatkan oleh emiten rumah sakit seperti MIKA dan HEAL selama penanganan pandemi juga disuarakan laporan Mirae Asset Sekuritas Indonesia 7 Juli 2021. Laporan tersebut menyebutkan bahwa bed occupancy rate di rumah sakit di Jakarta naik ke level 80 hingga 90 persen per 30 Juni 2021, dibanding 55 persen pada 31 Mei 2021.
HEAL pun disebut akan meningkatkan alokasi tempat tidur untuk pasien rawat inap COVID-19 hingga 2.000 buah tahun ini, dibanding 1.350 buah pada akhir 2020.
“Rumah Sakit masih akan mendapat keuntungan dari penanganan COVID-19 pada tahun 2021. Tanpa adanya regulasi penanganan COVID-19 yang tidak menguntungkan oleh pemerintah, pendapatan rawat inap pasien per hari di rumah sakit akan terus lebih tinggi dari biasanya pada tahun 2021," tulis analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Joshua Michael.
Farmasi Cenderung Lesu?
Kinerja sektor farmasi justru masih bervariasi di tengah pandemi COVID-19. PT Kimia Farma (KAEF) mencatat pendapatan sebesar Rp 2,3 triliun di kuartal I 2021, turun sebesar 4,17 persen dibanding Rp 2,4 triliun pada periode tahun sebelumnya. Sementara itu, laba bersih pada Januari-Maret 2021 tercatat sebesar Rp 17,29 miliar, atau turun 33,90 persen dari Rp 26,16 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Dilansir dari Kontan, sekretaris korporasi PT Kimia Farma Ganti Winarno mengungkap penurunan itu disebabkan segmen distribusi dan ritel yang terdampak pandemi COVID-19. Ia mengingatkan bahwa dampak pandemi COVID-19 dimulai pada awal Maret 2020 saat pemerintah pertama kali mengumumkan warga negara Indonesia yang terinfeksi COVID-19.
"[Pengumuman ini] menimbulkan panic buying masyarakat khususnya terkait dengan masker, hand sanitizer, dan APD [alat pelindung diri] lainnya," jelasnya pada 10 Mei 2021.
Di samping itu, sisi ritel juga mengalami penurunan karena kunjungan pelanggan ke outlet menurun. Layanan klinik kesehatan juga terbatas karena adanya pembatasan kontak fisik antara tenaga kesehatan dengan pasien, menukil siaran pers perusahaan ini.
Berbeda dengan KAEF, PT Kalbe Farma (KLBF) mencatat pendapatan yang masih naik tipis sebesar 3,79 persen di kuartal I 2021 menjadi sebesar Rp 6,01 triliun, dibanding pendapatan perusahaan di kuartal I 2020 sebesar Rp 5,79 triliun. Sementara itu, KLBF mencatat laba bersih sebesar Rp 716,47 miliar di kuartal pertama tahun 2021, atau naik sekitar 7 persen dibandingkan Rp 669,27 miliar di periode yang sama tahun 2020.
KLBF menyebut dampak dari pandemi COVID-19 mulai berpengaruh terhadap penjualan perseroan sejak bulan April tahun 2020.
“Pertumbuhan laba bersih yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penjualan bersih terutama disebabkan oleh peningkatan efisiensi di biaya operasional dan tarif pajak yang lebih rendah," tulis KLBF pada siaran pers perusahaan.
Mirip dengan KLBF, PT Soho Global Health (SOHO) juga mencetak penurunan pendapatan sebesar 3,55 persen menjadi Rp 1,63 triliun di periode Januari-Maret 2021 dari periode yang sama tahun lalu. Namun, SOHO masih mencetak laba yang naik tipis sebesar 1,26 persen menjadi Rp 130,95 miliar di kuartal I 2021. Menukil laporan keuangannya, turunnya pendapatan di segmen produk profesional, segmen alliance, dan segmen lain-lain menjadi kontributor penurunan pendapatan SOHO.
Memang, tidak semua perusahaan farmasi mengalami penurunan penjualan atau laba. PT Indofarma (INAF) membukukan laba bersih sebesar Rp 1,82 miliar di kuartal I 2021, kontras dengan kerugian sebesar Rp 21,43 miliar pada kuartal yang sama tahun lalu. Pendapatan dan penjualan pun naik 151,87 persen secara year-on-year (yoy) menjadi Rp 373,2 miliar.
Berdasarkan laporan keuangannya, penjualan lokal INAF berkontribusi besar hingga Rp 370,02 miliar dari total penjualan. Khususnya, penjualan alat kesehatan, diagnostik, dan lainnya naik paling drastis hingga lebih dari tujuh kali lipat atau 671,98 persen yoy menjadi Rp 175,49 miliar pada kuartal pertama 2021.
Pandemi COVID-19 Menguntungkan?
Senada dengan temuan Tirto, analis Sucor Sekuritas Jennifer Widjaja mengatakan kepada Tirto, Kamis (22/07/2021), bahwa emiten layanan kesehatan, terutama rumah sakit, mendapat keuntungan akibat pandemi COVID-19. Pasalnya, COVID-19 merupakan penyakit berat yang membutuhkan pengobatan yang banyak dan mahal. Artinya, rata-rata pendapatan rumah sakit akibat COVID-19 pun lebih tinggi dari penyakit-penyakit lain.
Ia memperkirakan bahwa pendapatan rumah sakit di Indonesia di sekitar Rp 7,5 juta - Rp 9 juta per pasien setiap harinya, jauh lebih tinggi dari Rp 2 juta - Rp 4 juta per pasien per hari untuk kasus penyakit “normal" lainnya. Hal ini didukung pula alokasi tempat tidur rumah sakit untuk pasien COVID-19, dengan tingkat pemanfaatan tempat tidur (bed occupancy rate) di kisaran 85-90 persen, menurut Jennifer.
“Dengan lebih tingginya average revenue (rata-rata pendapatan) juga ini membantu untuk mengurangi dampak penurunan volume dari pasien non-COVID yg cenderung turun selama pandemi ini," jelas Jennifer.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ia hanya mengamati KLBF untuk sektor farmasi. Namun, jika dibandingkan dengan sektor farmasi, sektor rumah sakit lebih diuntungkan saat pandemi COVID-19.
Menurut estimasi Jennifer, kontribusi COVID-19 terhadap rumah sakit seperti HEAL maupun MIKA sudah mencapai 30-40 persen di kuartal I 2021. Sebaliknya, kontribusi COVID-19 terhadap produk dan testing seperti PCR dan lain-lain hanya 6 persen dari total produk KLBF.
Salah satu alasannya, tidak semua emiten farmasi melakukan proses produksi, melainkan ada yang hanya melakukan distribusi saja. Alhasil, margin laba yang didapatkan tidak banyak dan tidak berefek kepada bottom line atau laba bersih perusahaan.
Selain itu, produk farmasi juga banyak, sehingga kontribusi COVID-19 terhadap produk dan alat testing COVID-19 relatif kecil.
“Jadi COVID-19 tidak terlalu berdampak signifikan," ungkap Jennifer. Namun, ia tidak menutup kemungkinan ada kenaikan pemanfaatan produk farmasi KLBF, terutama di kuartal III 2021 seiring kenaikan jumlah kasus COVID-19.
Ke depannya, ia memprediksi bahwa COVID-19 akan terus mendorong sektor rumah sakit, meski kelak kasus COVID-19 melandai dan vaksinasi telah dilaksanakan secara masif. Hal ini didorong oleh pemulihan jumlah pasien non-COVID-19 yang berobat ke rumah sakit, yang sempat terhambat di tengah pandemi (pent-up demand).
Ia juga memperkirakan pasien-pasien yang biasa pergi ke luar negeri untuk berobat juga akan menggunakan layanan rumah sakit di Indonesia akibat pandemi, terlebih jika rumah sakit tersebut menyediakan pelayanan penyakit berat seperti jantung dan kanker. Artinya, rumah sakit kini memiliki pasar baru.
Sementara itu, mengutip Kontan, analis Phillip Sekuritas Helen berpendapat ekspektasi konsumen yang meningkat menjadi salah satu katalis yang akan mendorong kinerja emiten farmasi tahun ini. Pasalnya, ia melihat adanya perubahan gaya hidup, sehingga ada permintaan dari produk-produk seperti vitamin, suplemen, makanan kesehatan dan kecantikan.
Selain itu, pertumbuhan kelas menengah akan mendorong permintaan terhadap akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan dapat diandalkan, termasuk melalui aplikasi dan penjualan produk secara daring. Adapun peningkatan penyakit tidak menular seperti kanker juga bisa menjadi pendorong kinerja emiten-emiten farmasi, ujar Helen kepada Kontan.
Tidak Semata-Mata Mencari Untung
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan kepada Tirto, Kamis (22/7/2021), bahwa masyarakat harus melihat tidak hanya dari sisi keuntungan rumah sakit saja, melainkan juga tantangan rumah sakit dan tenaga kesehatan yang dihadapi di lapangan saat pandemi.
“Kalau rumah sakit penuh saat ini, ya memang posisinya saat ini [jumlah] kasus sedang tinggi-tingginya. Jadi tidak bisa dikatakan dengan rumah sakit penuh, lalu untung, seolah-olah rumah sakit mencari keuntungan. Ini mispersepsi," tegas Dedi. Hal ini juga berlaku untuk industri farmasi.
Menurut Dedi, kekeliruan pemahaman terkait mekanisme penanganan COVID-19 menjadi salah satu penyebab munculnya tudingan tersebut. Misalnya, menyoal klaim bahwa dokter bisa menyatakan pasien terpapar virus penyebab COVID-19 tanpa tes, ia menjelaskan bahwa dokter harus mengambil keputusan secara hati-hati jika gejala-gejala mengarah ke COVID-19 hingga tesnya keluar.
Selain itu, tenaga kesehatan harus mengemban beban berat. Tak hanya harus bekerja dengan kondisi kerja yang sulit dan seringkali hidup jauh dari keluarga, tenaga kesehatan juga menghadapi ancaman risiko kematian jika terpapar virus COVID-19, jelas Dedi.
“Bayangkan, dia [tenaga kesehatan] harus mengorbankan jiwa raganya bekerja sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit [dan] dia juga harus mendapatkan tuduhan seperti itu, kan kasihan sekali. Secara mental, juga terganggu," cerita Dedi.
Melansir artikel media Inggris The Guardian tanggal 28 Juni 2021, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat bahwa antara Maret 2020 hingga 26 Juni 2021, ada 949 tenaga kesehatan Indonesia yang meninggal setelah terinfeksi COVID-19. [lis]
Sumber: tirto.id