Deglobalisasi dan Ilmu Pengetahuan di Era Pandemi Covid-19

Oleh: Suhendra Mulia, M.Si. (Humas Madya LIPI)

Globalisasi adalah terciptanya konektifitas antarwilayah yang menghubungkan seluruh warga dunia dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Sehingga dunia menyerupai sebuah kampung besar. 

Secara teoritik terutama dalam ilmu ekonomi globalisasi selalu diharapkan memiliki keuntungan untuk mencapai kemakmuran bersama. Dan globalisasi diterjemahkan dalam liberalisasi, pengurangan  interpretasi negara dalam kehidupan ekonomi.

Demikian ditegaskan Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Cahyo Pamungkas, ketika memberikan paparan di dalam webinar nasional Covid-19 dan Deglobalisasi: “Ilmu Pengetahuan”, pada Jumat (12/3) lalu. 

LIPI mengembangkan yang namanya Frontier Riset di bawah payung global village untuk mengembangkan teori atau konsep yang terkait dampak globalisasi terhadap masyarakat, lanjut Cahyo dalam paparannya.

Cahyo menguraikan tujuan dari program ini; untuk terwujudnya frontierilmu sosial kemanusiaan dalam penguatan masyarakat dan negara dalam kehidupan global. Dan untuk menemukan akademi inside, teori proposisi atau diskursus, beberapa bidang ilmu sosial yang terkait globalisasi. Kemudian juga intervensi jangka pendek, tambah Cahyo.

Studi LIPI berbasis Riset Frontier yang dikembangkan antara lain; 1). model pembangunan yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan berbasis komunitas. Ini adalah riset yang dikerjakan oleh Pusat Penelitian Ekonomi LIPI yang bertujuan untuk bagaimana mendorong suatu pembangunan ekonomi yang inklusif.

2) Globalisasi dan Industri Kreatif: Proses Produksi dan Jaringan Industri Animasi di Indonesia yang dikerjakan oleh Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI. Riset ini juga melakukan riset animasi, riset yang terkait dengan industri kreatif terutama antara Jepang dan Indonesia. 

3). Produksi Pengetahuan tentang Desentralisasi di Indonesia Pasca Orde Baru, riset ini dikerjakan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI yang mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi tentang ideologi di balik desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Yaitu politik liberal, politik ekonomi neoliberal yang menjadi tata Kelola dari pemerintahan dalam 20 tahun terakhir pasca reformasi sehingga desentralisasi otonomi maupun demokrasi kemudian menjadi “kebablasan”. 

4). Nasionalisme dan Proposisi Pertentangan Universalitas Barat versus Fundamentalisme Agama yang dikerjakan oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI. Riset yang terkait dengan perkembangan nasionalisme dan proporsisi pertentangan antara Universalitas versus fundamental agama, 5). IPTEK dan Kebudayaan, terang Cahyo.

Lebih lanjut, Cahyo menerangkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan masih melihat globalisasi secara konseptual sebagai peluang, ancaman, dan tantangan bagi masyarakat dan negara. 

Globalisasi harus diartikulasi bukan saja arti konektifitas antarwilayah tetapi juga lebih kepada proses pembentukan geografi kekuasan yang baru. Ruang-ruang antara kualitas global dan lokal terbentuk. Kemudian perlu dilakukan revitalisasi kerangka berfikir dari program ini. 

Tantangan Indonesia di dalam globalisasi ada infrastruktur, Iptek, Tata Kelola, SDM dan jaringan. Tata kelola menjadi tantangan utama, menurut Cahyo, tetapi sekarang tantangannya adalah jaringan. 

Sebab, jaringan menjadi penting dalam menghadapi globalisasi dalam pembentukan jaringan para pelaku-pelaku sosial antara negara yang satu dengan negara yang lain menjadi tema sentral, tambah Cahyo.

Pendapat senada juga disampaikan Amin Mudzakkir, Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI. Menurutnya, virus corona telah mengubah wajah dunia dalam satu tahun terakhir. 

Bandara, yang biasanya orang lalu lalang bepergian, sekarang terlihat sepi. Di beberapa negara, seperti Australia, bahkan sejak sekitar Maret 2020 bandara telah tertutup sama sekali bagi orang asing. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan, inikah akhir globalisasi?, ucap Amin.

Selanjutnya dalam kenyataannya, bahkan sebelum virus corona melanda, dunia tidak pernah datar. Kemudian bepergian dari satu bandara ke bandara lain sebagaimana sering diilustrasikan oleh narasi-narasi mengenai globalisasi hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. 

Status pandemik yang disebabkan oleh persebaran virus corona bukan akhir melainkan awaldari suatu pemahaman baru mengenai globalisasi. Dari sudut pandang kajian wilayah, fenomena globalisasi yang dialami berbeda oleh masing-masing negara itu menarik diamati. 

Dalam hal ini, virus corona yang melahirkan status pandemi membuat kita, semoga saja, tersadar betapa pemahaman mengenai globalisasi pada dasarnya lahir dari ekonomi politik pengetahuan tertentu, tutup Amin.(*)