Oleh : Sri Wiyono
SELASA 5 Mei 2020 malam lalu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa berdialog interaktif secara online bersama 100 pemimpin media di Indonesia. Kebanyakan adalah pemimpin media siber. Saya ikut dalam dialog dengan narasumber tunggal Bu Gubernur tersebut.
Dialog yang digagas Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) itu dimulai pukul 20.00 WIB dengan menggunakan aplikasi yang memungkinkan seluruh peserta dialog dari berbagai belahan kota dan berbagai provinsi itu bisa bertatap muka.
‘Membangun Sinergi Menghadapi Pandemi’ begitu tema dialog malam itu. AMSI berharap ada sinergi yang bagus antara media dengan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Sehingga bisa bersama-sama, melalui kapasitas dan bidang masing-masing menggempur virus itu.
Begitulah kira-kira inti dan isi dialog tersebut. Dan, tentu diselingi dengan gelak tawa dan celetukan khas wartawan. Terlebih para senior saya yang terlibat dialog itu memang banyak yang ngocol. Gaya khas wartawan !!
Sebelum jam 20.00 saya sudah siap di depan laptop. Saya sudah pasang aplikasi dengan ID khusus yang sebelumnya dikasih. Sebab, untuk ikut dialog ini memang diseleksi karena dibatasi pesertanya.
Saya pasang aplikasi, masuk ke forum, dan saya lihat beberapa senior wartawan yang saya kenali. Sebut saja misalnya Mas Lucky. Pria bernama asli Dwi Eko Lokononto ini saya kenal ketika saya masih sangat junior sebagai wartawan di Surabaya. Kala itu, saya masih menjadi wartawan di harian Duta Masyarakat yang ngepos di Polda Jatim.
Mas Lucky masih di Surabaya Post yang juga ngepos di Polda. Hampir tiap hari saya ketemu, meski Mas Lucky saat itu tak banyak memedulikan saya. Maklum masih junior hehehehe..., dan Mas Lucky Cs sudah banyak jam terbangnya. Juga para senior lain seperti misalnya Mas Baehaqi yang sekarang direktur di Radar Semarang dan Kudus itu. Sesekali saya ketemu dia, saat dia ke Polda.
Eh ngelantur ke mana-mana. Kembali ke laptop hehehehe.... Dialog dimoderatori Mas Arif Rahman yang juga ketua AMSI Jawa Timur. Dialog begitu gayeng. Paparan Bu Gubernur bagaimana pemerintah menjalankan tugasnya memerangi Covid-19, bagaimana teknis dan strateginya, bagaimana semua pihak harus berperan, termasuk media, dan sebagainya dan sebagainya.
Lancar dan lugas. Menunjukkan betapa gubernur perempuan pertama di Jawa Timur ini begitu menguasai permasalahan dan tahu benar apa yang harus dikerjakan. Dan yakin kebijakan apa yang bisa menyelamatkan rakyatnya.
Selama gubernur paparan, kami diam menyimak, baru kemudian diberi waktu untuk bertanya. Di sana lalu terjadi diskusi yang menarik dan berisi.
Stop !! Saya tak hendak membahas isi dan hasil diskusi dengan gubernur ini. Oh ya, ini tulisan kedua saya mengenai Covid-19. Tulisan pertama terkait dengan keyakinan saya, bahwa negeri ini tidak akan runtuh meski diserang Covid-19. Keyakinan dan optimisme itu saya tularkan karena rakyat di negeri ini masih punya ‘hati’ masih punya empati, sehingga saling membantu antarsesama di tengah pandemi ini.
Dan itu, modal yang cukup untuk mempertahankan negeri ini. Hati yang mau menolong, hati yang mau membantu, dan hati yang mau menyisihkan sebagian yang dipunya untuk orang lain, jauh dari cukup untuk mempertahankan negeri ini dari keruntuhan. Setidaknya begitu keyakinan saya.
Di tengah pandemi ini, saya memang lebih senang menyebar semangat positif. Menyebar keyakinan dan optimisme bahwa semua bisa dilalui dengan baik. Kebersamaan dan hati yang saling merasakan sakit ketika melihat orang lain sakit cukup untuk menumbuhkan keyakinan itu.
Begitu pula ketika saya mengikuti dialog itu. Di tengah menyimak paparan gubernur, terbersit dalam benak saya, begitu besar potensi dan harapan yang bisa diraih, dengan belajar dari situasi selama pandemi.
Bayangkan, dialog itu diikuti oleh orang dari belahan bumi yang berbeda. Kota yang berbeda. Dari Jakarta, Surabaya, Bali, Tuban, Bojonegoro, Pasuruan, Malang, Medan dan lain sebagainya.
Jika misalnya dialog digelar secara langsung, di satu tempat, berapa ratus juta biaya yang harus dikeluarkan. Berapa besar biaya perusahaan yang harus dikeluarkan untuk memfasilitasi pimpinan medianya ikut dialog ini. Untuk tiket pesawat, BBM, hotel, biaya makan minum dan lainnya.
Belum lagi betapa ribet dan sibuknya panitia menyiapkan acara. Booking sana sini, memastikan jadwal sana-sini, dan tentu saja biaya besar harus dikeluarkan. Toh inti dan esensi dialognya sama. Makna dan spiritnya juga bisa didapat dengan dialog online.
Belum lagi bagaimana ribetnya menjadwalkan agenda gubernur. Koordinasi dengan protokoler dan spot jantung selama persiapan acara. Semakin dekat acara semakin detak jantung ritmenya bertambah karena khawatir gubernur tiba-tiba ada acara mendadak yang tak bisa diwakilkan. Sehingga gagal menjadi narasumber. Ah...ngeri membayangkannya.
Maka harapan sederhana dari pelajaran pandemi ini adalah semangat pengiritan biaya. Betapa besar dana yang digelontorkan untuk melawan pandemi ini. Dan itu harus mengorbankan banyak program kegiatan pemerintah. Tentu saja di antaranya program pemberdayaan.
Sehingga, dibutuhkan modal besar untuk kembali menjalankan progam kegiatan kelak setelah pandemi berlalu. Di sinilah pengalaman selama pandemi ini sangat berguna. Jika presiden dengan seluruh gubernur bisa teleconference, menteri dengan para gubernur dan bupati/walikota bisa melakukan hal yang sama, kenapa kelak tidak bisa?
Maka pikiran sederhana saya, akan terjadi efisiensi yang besar dari anggaran pemerintah jika kegiatan rapat-rapat atau seremonial dilakukan secara online. Sebab, banyak lembaga negara, pemerintah daerah yang sebagian besar anggarannya untuk membiayai rapat-rapat atau pertemuan. Celakanya, rapat atau pertemuan itu digelar di luar kota, luar provinsi bahkan di luar pulau. Tentu biayanya tak sedikit.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah marah dengan salah satu kementerian karena hal ini. Biaya teknis kegiatan yang langsung bersentuhan untuk masyarakat lebih sedikti dibanding biaya untuk rapat-rapat. https://www.harianindo.com/2017/12/09/242829/jokowi-marah-biaya-pemulangan-tki-rp-500-juta-sedangkan-untuk-rapat-rp-25-miliar/
Di kementerian, di provinsi, di kabupaten, di kecamatan dan seterusnya jika menerapkan bisa sangat menghemat biaya. Juga menghemat waktu. Biaya perjalanan dinas, biaya makan minum, biaya hotel dan lain-lain bisa dialokasikan untuk program lainnya.
Apakah tidak perlu ketemu langsung ? Tentu saja perlu, utamanya untuk keperluan-keperluan khusus yang mengharuskan ketemu atau berkumpul langsung. Jika dengan online bisa, kenapa tidak melakukan? Toh selama pandemi hal itu bisa dilakukan dan baik-baik saja. Hasil dan esensi pembahasannya juga sama.
Era digital dan teknologi tak bisa ditolak. Karena itu, menurut saya alangkah eloknya kalau dimanfaatkan. Karena selama pandemi semua bisa dilakukan. Lebih enjoy, lebih murah, lebih mudah dan efisien.
Peserta rapat bisa dari mana saja asal ada jaringan yang memungkin untuk mengikuti dialog online tersebut. Juga hal-hal lain yang sejenis bisa juga dilakukan. Sehingga kehadiran fisik tak lagi penting, ketika kehadiran secara virtual bisa dilakukan dan sudah mewakili.
Saya membayangkan ada sisa anggaran yang besar, ketika ada yang berani mengambil kebikjakan seperti ini. Tak populer pastinya, namun dampak baiknya pasti besar, khususnya dalam hal efisiensi anggaran itu.
Itu pendapat saya, pendapat Anda terserah. Karena ketika ada ide di kepala belum saya tuangkan dalam tulisan rasanya masih ada yang mengganjal. Anda boleh tidak setuju, tentu dengan argumentasi Anda sendiri hehehe...Wallahu a’lam.[*]