Reporter: -
blokTuban.com - Jika diperhatikan, kebanyakan kasus kekerasan seksual lebih sering dialami oleh perempuan ketimbang laki-laki. Memang, mengutip data Komnas Perempuan, rata-rata ada sekitar 35 perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual setiap hari di Indonesia.
Namun, bukan berarti pria mustahil mengalaminya. Banyak mitos kekerasan seksual yang merajalela di masyarakat kita perlu diluruskan karena sangat merugikan korbannya.
Hal inilah yang membuat korban merasa malu dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Akibatnya, korban mengalami trauma mendalam, depresi, hingga berkeinginan untuk bunuh diri.
Maka itu, mari akhiri beragam mitos kekerasan seksual berikut ini dengan mengetahui fakta sebenarnya
1. Korban selalu berpakaian minim atau seksi
Pakaian yang dikenakan korban umum dijadikan alasan untuk melumrahkan kejadian pelecehan seksual. “Ya pantas saja dia diperkosa, wong bajunya saja seksi begitu!” Pernah dengar, kan, komentar nyinyir seperti ini?
Tak jarang pula komentar memojokkan tentang pakaian korban dipergunakan oleh aparat penegak hukum saat memproses kasus kekerasan seksual.
Orang-orang masih berpikir bahwa pakaian seksi sama dengan undangan seks gratis, “Pakaiannya, sih, terbuka, ngundang nafsu saja!”. Argumen ini malah makin menegaskan asumsi kolot bahwa perempuanlah yang harusnya disalahkan untuk “nasib” mereka sendiri.
Padahal, segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual terjadi atas kebejatan pelaku itu sendiri. Pakaian bukanlah faktor penentu. Tindakan tersebut adalah salah si pelaku. Memakai pakaian yang nyaman atau tertutup tidak serta-merta menjamin bahwa kita lebih aman dari tindak kekerasan seksual.
2. Pria tidak mungkin jadi korban
Kekerasan seksual memang lebih banyak terjadi pada perempuan dan dilakukan oleh pria. Itu kenapa kita mungkin menganggap bahwa tidak mungkin kedua peran ini ditukar. Namun kenyataannya ada pria-pria di luaran sana yang jadi korbannya.
Anggapan bahwa pria tidak mungkin dan tidak bisa menjadi korban kekerasan seksual itu keliru. Mitos ini bisa membuat mereka yang benar-benar pernah mengalaminya enggan mencari bantuan karena takut dikira lemah hingga akhirnya menjadi trauma permanen.
Perlu diluruskan lagi bahwa pria dan wanita sama-sama bisa menjadi pelaku atau korban. Wanita mungkin saja jadi pelaku kekerasan seksual yang menargetkan pria, atau terjadi antar pria.
Faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat kejahatan tidaklah didasari oleh gender alias jenis kelamin.
3. Pemerkosaan tidak mungkin terjadi dalam perkawinan
Berhubungan intim antara suami istri merupakan hal yang wajar. Akibatnya banyak orang menganggap bahwa kalau sudah menikah, seks tentu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Eits, tunggu dulu. Mitos kekerasan seksual yang satu ini perlu diluruskan. Meskipun masih asing di telinga, pemerkosaan dalam perkawinan mungkin saja terjadi. Berhubungan intim karena paksaan atau ancaman, meskipun dengan pasangan sendiri, sama saja dengan tindak perkosaan.
Pada dasarnya, seks harus disetujui oleh suami dan istri. Tidak seorang pun berhak memaksa atau mengancam untuk berhubungan seks jika ada salah satu yang menolaknya. Ingat, suami atau istri bukanlah objek pemuasan seksual yang bisa kamu kuasai kapan pun.
4. Korban tidak melawan karena memang mau
Masyarakat menganggap bahwa sikap korban yang tidak melawan menunjukkan bahwa korban cenderung menikmati dan mau berhubungan intim dengan pelaku. Ya, pelaku dan korban dianggap melakukannya atas dasar suka sama suka.
Padahal, ini termasuk salah satu mitos kekerasan seksual yang harus kita buang jauh-jauh. Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda saat menerima kekerasan seksual. Ada yang berani melawan, ada yang memilih diam karena takut disakiti pelaku.
Sikap korban yang tidak melawan bukan berarti mereka menginginkannya. Ini justru menandakan bahwa korban diliputi rasa takut. Apalagi kalau korban diancam dengan senjata. Maka tidak heran kalau kebanyakan korban pemerkosaan tidak melawan dan lebih memilih untuk diam.
Kondisi ini disebut dengan inhibisi tonik, yaitu respon fisiologis tubuh yang membuat seseorang mengalami kelumpuhan fisik sementara sehingga tidak bisa bergerak atau melawan saat merasa takut atau terancam. Hal ini jugalah yang membuat korban kekerasan seksual rentan mengalami trauma PTSD dan depresi berat dalam beberapa bulan mendatang.
5. Pelakunya pasti orang asing
Banyak orang yang menganggap bahwa pelaku perkosaan atau kekerasan seksual sudah pasti orang asing alias orang yang tidak dikenal sama sekali. Karena itulah, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di jalan yang sepi dan biasanya saat malam hari.
Lagi-lagi, siapa pun bisa melakukan tindakan kekerasan seksual. Begitu juga dengan kerabat terdekat yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan rumah dengan pelaku ayah, paman, kakak, atau suami korban sendiri.
*Sumber: kompas.com