Reporter: -
blokTuban.com – Anto belum genap berusia 40 tahun saat tiba-tiba mengeluh adanya rasa tidak enak di bagian dada. Nyeri dada itu semakin berat ketika sedang beraktivitas dan akhirnya Anto segera dilarikan ke rumah sakit.
Ayah dua anak ini ternyata mengalami serangan jantung dan harus menjalani kateterisasi jantung. Semuda usia 40 tahun terkena serangan jantung dan harus kateterisasi?
Saat ini, banyak orang berpikir bahwa penyakit jantung identik dengan usia tua sehingga kebanyakan usia produktif merasa aman. Mereka pun cenderung tidak pernah memeriksakan jantung. Pola hidup yang tidak sehat juga tetap dijalankan kalangan generasi muda.
Prevalensi penyakit kardiovaskular cenderung meningkat dari tahun ke tahun. WHO (World Health Organization) memprediksi, penyakit kardiovaskular akan menyebabkan kematian lebih dari 23 juta jiwa per tahun pada 2030.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2013, penyakit jantung koroner sudah mencapai 12,1 persen dari populasi. Yang lebih mengejutkan, riset itu menyatakan 39 persen di antaranya merupakan kelompok berusia kurang dari 44 tahun, sedangkan 22 persen berasal dari kelompok usia 15 hingga 35 tahun.
Modernisasi yang terjadi secara perlahan namun pasti berdampak pada pergeseran kelompok usia penderita penyakit jantung dari usia senja ke usia produktif.
Berbagai kemudahan dan kenyamanan yang kita dapatkan dari teknologi yang kian maju justru membuat pola hidup menjadi tidak sehat.
Pekerja usia produktif cenderung memiliki waktu kerja yang panjang, bekerja di belakang meja (sedikit bergerak), tidak mengkonsumsi makanan yang sehat, dan tidak berolahraga.
Dokter Spesialis Jantung Siloam Hospitals Kebon Jeruk yang juga tergabung dalam Siloam Heart Institute, dr. Antono Sutandar, Sp.Jp-K mengatakan bahwa pola hidup yang tidak sehat dan stres memiliki peran cukup besar menyebabkan penyakit jantung pada usia muda.
Berdasarkan Interheart studi, terdapat 9 faktor risiko yang dapat meningkatnya penyakit jantung koroner (PJK), yaitu kolesterol tinggi, merokok, stres, diabetes, tekanan darah tinggi, abdominal obesitas (perut lebih besar daripada bokong), tidak mengkonsumsi alkohol sama sekali, tidak berolahraga, serta kurang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.
“Sejak Perang Dunia II, kita mengalami perubahan diet yang drastis untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan. Bahan pangan yang semula merupakan hasil pertanian sekarang bergeser menjadi hasil olahan industri seperti tepung terigu dan gula. Porsi makanan olahan di dalam kehidupan kita juga semakin meningkat. Perubahan pola inilah yang makin menyebabkan penyakit jantung bergeser ke usia yang lebih muda,” katanya kepada Kompas.com, Rabu (3/10/2018).
Menurut dr. Antono, PJK bisa dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor risiko tersebut. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang tidak dapat kita ubah seperti faktor keturunan, usia, dan jenis kelamin.
Seseorang yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat PJK atau mati mendadak sebelum usia 55 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit jantung.
“Di samping itu, semakin bertambahnya usia, risiko untuk terjadinya semua bentuk penyakit kardiovaskular akan meningkat pula. Dan hanya pada pria, risiko terkena PJK meningkat menjadi dua kali lipat. Orang-orang dengan faktor risiko seperti di atas sebaiknya melakukan skrining jantung lebih awal,” tambahnya.
Skrining jantung awal yang bisa dilakukan adalah dengan ECG stress test. Ini merupakan prosedur sederhana di mana pasien diminta melakukan treadmill sambil irama jantungnya direkam dengan ECG.
ECG stress test ini memiliki akurasi 60-70 persen untuk mengetahui adanya penyempitan pada pembuluh darah jantung. Jika didapatkan kelainan pada ECG stress test pasien akan diminta untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti stress echo, CT scan jantung, tes nuklir, atau kateterisasi.
dr. Antono menjelaskan bahwa perkembangan teknologi kesehatan dapat menurunkan angka mortalitas pasien yang masuk dengan serangan jantung. Namun, pencegahan atau diagnosa dini penyakit jantung merupakan lini pertama yang harus diperkuat.
Pil in the pocket
Bento dan Toni merupakan sahabat karib. Saat sedang memancing bersama, Bento mengeluhkan rasa tidak nyaman pada dada kirinya. Nyeri tersebut bisa ditunjuk dengan satu jari dan berkurang jika dia sedikit membungkuk.
Toni lalu memberikan cedocard kepada Bento. Ia mengatakan, pil dapat menghilangkan nyeri dada. Tak lama setelah meminum obat tersebut, Bento merasa pusing dan akhirnya pingsan.
Dari kisah tersebut, niat baik saja tidak cukup untuk membantu sesama, apalagi terkait nyeri di dada. Jika salah penanganan, bisa-bisa penderita justru mengalami kondisi lebih buruk.
Cedocard atau isosorbide dinitrat adalah obat yang bekerja untuk merelaksasi pembuluh darah jantung. Biasanya obat ini diletakkan di bawah lidah dan digunakan pada pasien dengan angina (nyeri dada karena penyempitan pembuluh darah jantung).
Sayangnya, pengetahuan masyarakat yang minim berakibat banyaknya kesalahan dalam pemberian obat ini.
“Delapan dari sepuluh orang dengan nyeri dada yang meminum cedocard ternyata bukan merupakan serangan jantung,” ujar dia.
Cedocard yang digunakan tanpa indikasi yang tepat dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah yang drastis sehingga menyebabkan kondisi pingsan atau mau pingsan.
Pemberian 2 butir aspirin 100 miligram (mg) memberikan efek samping yang lebih sedikit daripada cedocard. Namun, pemberian obat tersebut hanya untuk orang yang tidak memiliki alergi terhadap aspirin.
dr. Antono menjelaskan, nyeri dada penyakit jantung memiliki karakteristik yang khas. Nyeri tersebut harus terjadi pada saat beraktivitas, peningkatan aktivitas, atau emosi tinggi.
Penyebabnya, jantung bekerja lebih keras saat beraktivitas dibandingkan saat beristirahat.
Nyeri dada yang terjadi saat beristirahat namun tidak terjadi saat beraktivitas atau emosi tinggi bukanlah ciri khas nyeri dada karena jantung.
Ciri khas berikutnya, nyeri dada khas jantung biasanya tidak bisa ditunjuk dengan 1 jari dan bukan nyeri di permukaan.
“Biasanya ada rasa tidak nyaman yang berasal dari dalam (belakang tulang dada) dan terasa seperti ditekan oleh balok kayu yang berat. Nyeri dada ini juga tidak dapat berkurang dengan perubahan posisi, menarik napas, ataupun asupan makanan.
Nyeri dada ini juga bisa disertai dengan penjalaran ke rahang, ulu hati, tangan kiri atau kanan, sampai ke punggung,” kata dr. Antono. Nyeri tersebut berlangsung minimal sampai 5 menit. Nyeri dada yang terjadi kurang dari 1 menit walaupun terjadi di dada sebelah kiri, bukan merupakan nyeri dada khas jantung.
“Jika Anda mengalami nyeri dada yang tidak hilang lebih dari 30 menit kemudian semakin berat dengan aktivitas, saya anjurkan Anda segera datang ke UGD terdekat,” ujarnya.
Tahapan Penyakit Jantung Koroner
dr. Antono Sutandar, Sp.JP-K yang juga menjabat sebagai Vice Chairman Siloam Heart Institute menjelaskan bahwa penyakit jantung koroner terdiri atas tiga fase.
Fase pertama merupakan fase penyempitan pembuluh darah jantung karena penumpukan kolesterol. Pada fase ini, pasien bisa ditangani dengan obat-obatan saja dan perubahan pola hidup untuk mengontrol faktor risiko yang ada. Namun, apabila penyempitan yang terjadi cukup parah maka dapat dilakukan pemasangan cincin ataupun bedah jantung (bypass) untuk mencegah terjadinya serangan jantung.
Fase kedua terjadi jika ada gumpalan darah yang menyumbat dan menyebabkan serangan jantung. Pada fase ini belum terjadi kerusakan otot jantung sehingga perlu dilakukan pemberian fibrinolitik atau primary angioplasty secepat mungkin untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat untuk mencegah terjadinya kerusakan otot jantung.
Sementara itu, fase ketiga terjadi ketika serangan jantung sudah mengakibatkan kerusakan otot jantung. Pengobatan pada fase ini tergantung dari berapa besar dan lama kerusakan otot jantung yang terjadi. Penanganan bisa dilakukan dengan obat-obatan, angioplasty atau bedah jantung untuk membuka pembuluh darah dan menyelamatkan otot jantung yang masih dapat diselamatkan.
Jumlah operasi jantung di Indonesia kini sekira 4.000 kasus per tahun. Jumlah ini masih tergolong sangat sedikit dibandingkan dengan potensi kasus bedah jantung yang berjumlah lebih kurang 20.000 kasus per tahun.
Studi juga menerangkan bahwa sekira 2.000 pasien memilih untuk melakukan prosedur operasi di luar negeri. Hal ini menggambarkan ketidakpercayaan masyarakat Indonesia terhadap kualitas pelayanan jantung di Indonesia.
Berdasarkan situasi inilah, Siloam Heart Institute (SHI) didirikan oleh Siloam Hospitals Group yang berpusat di Siloam Hospitals Kebon Jeruk. SHI diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia. Dengan begitu, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan jantung yang komprehensif dan lengkap yang sama baiknya walaupun berada di dalam negeri.
*Sumber: kompas.com