Oleh: Sri Wiyono
blokTuban.com - ‘’Mantan Koruptor Boleh Dicoblos’’. Begitu judul halaman depan sebuah koran harian nasional edisi Sabtu (15/9/2018). Kontan batin ini terusik. Terlebih, hal itu merupakan putusan resmi Mahkamah Agung (MA), untuk permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Juga terhadap Putusan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 20 tahun 2018 tentangt Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Saya kembali tenger-tenger, bengong dan terdiam sejenak. Ini kali kedua saya tenger-tenger, setelah yang pertama saya terhenyak saat kawan-kawan di Blora, Jawa Tengah ngabari bahwa salah satu mantan koruptor di kabupaten itu lolos menjadi calon legislatif (caleg).
‘’Koncomu lolos dadi caleg Lek,’’ begitu WA salah satu kawan di sana. ‘’Konco dengkulmu kuwi,’’ balasku,juga lewat WA. Lalu kami tergelak bersama. Dan, diskusi kecil pun mengalir.
Semula, tokoh yang dulu sering saya tulis kasusnya dalam sebuah berita, hingga akhirnya sampai masuk penjara dicoret oleh KPU setempat. Tentu, sebagai KPU di daerah, KPU Blora taat dengan putusan KPU pusat. Dan, PKPU 20 tahun 2018 itu menjadi dasar KPU Blora mencoret tokoh ini. Sah!
Namun, sang mantan koruptor itu melawan, dan menggugat, sehingga sampai digelar sidang ajudikasi, yakni upaya penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga. Bawaslu yang ditunjuk untuk melenyelesaikan. Sidang dipimpin oleh Ketua Bawaslu Blora. Hasilnya, sang mantan koruptor ini dinyatakan boleh dan bisa nyaleg.
Dua lembaga itu, KPU dan Bawaslu, ada kawan-kawan saya di sana. Bahkan, untuk yang di KPU saya yakin integritas dan kemampuannya. Sebab, saya ikut menyeleksi mereka, ikut menguji mereka, mewawancarai mereka serta memegang rekam jejak dan apapun terkait dengan mereka.
Bahkan sampai bagaimana mental mereka sehat atau tidak saya tahu, melalui hasil tesnya. Sebab, saya menjadi salah satu anggota Tim Seleksi (Timsel) KPU Blora saat itu. Sebagai sekretaris Timsel, saya memegang dan tahu data mereka lahir batin. Jadi ibaratnya saya tahu lima Komisioner KPU Blora itu njobo njero hehehe...
Yang di Bawaslu, saya juga mengenalnya. Di antaranya malah sering bersinggungan, runtang-runtung bareng. Diskusi bareng dan sering berbicara banyak hal. Artinya, saya tahu integitas dan kapasitas mereka. Semuanya anak-anak muda yang hebat. Bahkan yang perempuan adalah aktifis yang tahan banting.
Lalu kenapa Bawaslu Blora meloloskan sang mantan koruptor itu? Semula saya kaget. Namun kemudian mulai berfikir, mencari literatur dan banyak membaca berita terkait hal itu. Dan hasilnya, secara konstitusi mantan koruptor atau narapidana lain tak bisa dihalangi untuk nyaleg. Aturan yang berupa UU menjamin itu. Sedang larangan mantan koruptor nyaleg hanya dari PKPU. Secara hierarki atau tingkatan hukumnya, jauh lebih kuat UU daripada PKPU. Sederhana.
Namun masih ada harapan. Dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dalam pasal 8 ayat 2 disebutkan:
Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim ke Badan atau Pejabat Usaha Tata Negara, yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat tersebut tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dari bunyi pasal di atas, KPU diberi waktu 90 hari oleh MA untuk memikirkan apakah melaksanakan putusan itu atau tidak. Dengan demikian, Peraturan KPU (PKPU) yang melarang caleg mantan koruptor masih berlaku hingga 90 hari ke depan.
Sementara, penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) caleg adalah 20 September. Jika dihitung kurang dari 90 hari sejak putusan MA. Jika KPU tak melaksanakan putusan itu hingga 20 September mendatang, PKPU itu tetap berlaku, caleg mantan koruptor tetap tak bisa nyaleg di Pemilu 2019.
Jika ingin secara konstitusi kuat, larangan mantan koruptor, napi kasus narkoba dan kasus-kasus besar lain nyaleg bisa dimasukkan dalam UU. Draf diajukan oleh pemerintah. Yang membahas siapa? Ya anggota DPR, padahal DPR lah yang berkepentingan. Apakah para wakil rakyat itu tega ‘membabat’ atau memangkas para mantan koruptor agar tidak masuk parlemen? Yang mungkin kebetulan itu kolega, teman atau bahkan rekan se parpol? Berputar-putar bukan? Hehehe...
Pemberantasan korupsi itu soal komitmen. Begitu, kata-kata guru besar sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah, dalam sebuah diskusi yang pernah saya ikuti. Sebagus apapun perangkatnya. Sejlimet apapun sistem dibuat. Jika komitmen pemberantasan korupsi tidak ada, maka semua sistem itu bisa disiasati. Semua perangkat aturan itu bisa diakali. Dan, benar juga kata saya dalam hati, yang kemudian saya yakini hingga kini. Komitmen...ah..
Apapun kondisi saat ini, dan proses yang sedang berlangsung kini,tak boleh membuat kita pesimis. Optimisme harus terus dikibarkan. Di antara orang-orang yang kurang baik, pasti ada orang baik. Begitu pula, di antara para caleg tidak layak dipilih karena berbagai sebab, masih banyak caleg yang layak pilih.
Di Tuban, ada banyak caleg yang punya komitmen untuk berpolitik dan mencari tiket ke gedung DPRD dengan bersih. Mereka menawarkan komitmen dan harapan, bahwa anggota DPRD itu bisa bersih, tidak bercitra buruk seperti saat ini. Terlebih usai terbongkarnya korupsi berjamaah di DPRD Malang. Semakin buruklah citra para wakil rakyat itu.
‘’Sakjane kabeh DPR yo nglakoni ngunu iku, koyo ning Malang. Tapi durung konangan wae. Apes wae DPRD Malang iku,’’ seorang kawan diskusi di warung kopi berkelakar.
Dan diam-diam di dalam hati saya bilang ‘’Masuk Pak Eko...’’ karena saya agak sepakat dengan kelakarnya. Kalaupun tidak sama persis dengan yang dilakukan oleh para wakil rakyat di DPRD Malang itu, ya melakukan dengan cara-cara lain yang mirip-miriplah, hehehe....
Namun yakinlah, kondisi seperti ini tidak akan berlangsung selamanya. Ada saatnya nanti hal-hal seperti itu tak laku lagi. Saat ini, politisi-politisi muda negeri ini, termasuk di Tuban sedang berusaha untuk memulai mengajak berpolitik yang tidak sekadar uang. Mereka menawarkan gagasan, konsep dan kesepakatan pemberdayaan pada konstituen. Bukan sekadar ‘ente milih ane, tak kasih fulus’. Bukan sekadar amplop berisi puluhan dan ratusan ribu untuk membeli suara.
Beberapa di antara politisi muda dengan tawaran konsep berpolitik tanpa jual beli suara itu pernah diskusi dengan saya. Saya salut dengan keberanian mereka,semangat mereka dan keyakinan mereka. Jika untuk saat ini, apa yang mereka lakukan itu masih kecil, melawan arus bahkan ada yang menyebut ngoyoworo alias sia-sia. Namun saya yakin gerakan seperti itu suatu saat akan mendapatkan tempatnya. Akan Indah pada Waktunya seperti judul lagu yang dinyanyikan Nella Kharisma yang sering saya putar hehehe....
Harus ada yang memulai jika ingin berubah. Harus berani bermimpi. Harus ada yang memulai. Jika bukan mereka yang punya komitmen, siapa lagi. Jika bukan sekarang, kapan lagi. Maka tancapkanlah komitmen untuk mereduksi bahkan meninggalkan salah satu komponen yang bisa memantik praktik korupsi itu wahai para politisi. Maka ke depan masa depan cerah. Rakyat semakin bergairah dan citra wakil rakyat semakin sumringah. Wallahu’alam.[*]