Oleh: Sri Wiyono
blokTuban.com - Saya membayangkan berada di Gelora Bung Karno (GBK) dan ikut berdiri lalu menyanyikan Indonesia Raya besama dengan ribuan penonton lain. Serta menjadi saksi langsung dikereknya Sang Merah Putih lebih tinggi dibanding bendera negara lain, saat atlet Indonesia berhasil mempersembahkan emas.
Sayang, malam itu harapan tak tercapai, karena malam itu, ketika cabang atletik yang dipertandingkan: lompat galah, lari 4000 meter, 200 meter, lari estafet, lompat jauh dan lainnya, prestasi terbaik hanya perak yang dipersembahkan Lalu Muhammad Zohri, Fadlin, Eko Rimbawan dan Bayu Kertanegara melalui lari estafet 4x100 meter.
Malam itu, ribuan penonton, yang sebagian besar warga NKRI, termasuk saya dan rombongan, pun berbesar hati menerima kenyataan, dan dengan kerelaan dari penuh penghormatan kami beberapakali berdiri ketika lagu kebangsaan negara lain berkumandang.
Termasuk lagu kebangsaan Jepang yang memenangi lari estafet ini. Medali perak untuk lari estafet itu, juga menjadi medali yang istimewa. Sebab, itu adalah medali kedua yang diraih Indonesia sejak keikutsertaan di ajang Asian Games. Medali perak cabang ini pernah diraih pada tahun 1966, saat Asian Games digelar di Bangkok,Thailand. Empat pelari saat itu; Soepardi, Agus Sugiri, Bambang Wahjudi dan Jootje Pesak Oroh menjadi yang tercepat kedua.
Juga ketika lagu kebangsaan Japan lagi-lagi menggema di GBK saat Yamato Seito dinobatkan menjadi pelompat galah tertinggi dengan lompatan 5,70 meter. Dia berhak atas medali emas dalam cabang ini. Sedangkan atlet Indonesia Teuku Tegas dan Richsan hanya mampu dengan lompatan 4,85 meter.
Teuku Tegar memang belum selevel dengan pelompat galah lainnya, karena sebenarnya dia masih di kelas junior. Lompatan tertinggi Teuku Tegar yang pernah dibuat baru 5,10 meter. Itu sudah yang tertinggi di junior. Namun, di ajang Asin Games ini dia mempunyai kesempatan untuk menjajal bertarung dengan atlet-atlet senior. Jika dia belum mampu mengimbangi bisa dimaklumi.
Luar biasa! Olahraga mampu menyatukan segalanya. Membuang ego sektoral, etnis, kedaerahan, bahkan perseteruan politik. Lihatlah bagaimana Asian Games di Indonesia ini mampu menyatukan Korea Selatan dan Korea Utara yang selama ini berseteru. Selama Asian Games dua negara ini sepakat hanya mengibarkan satu bendera. Semoga berkah Asian Games di NKRI membuat keduanya kembali rukun dan tidak gontok-gontokan. amin
Pun demikian ego kedaerahan bahkan politik. Malam itu saya dan rombongan menyaksikan dan memberi dukungan langsung Teuku Tegar Abadi atlet lompat galah asal, Plumpang Tuban itu.
Kami masuk dari pintu 2 GBK, untuk bais ke dalam arena kami harus masuk ke pintu 27, cukup jauh harus berjalan dari pintu masuk 2 ke pintu 27. Ternyata itupun belum cukup, agar bisa lebih dekat dengan arena lompat galah. Kkami harus geser lagi di pintu masuk 32 baru kami dapat posisi yang pas.
"Rombongan dari mana Mas," tanya seorang ibu berkaus merah, yang lebih dulu duduk di kursi penonton.
Di bangku sudah banyak penonton lain berkaus merah juga. Oh mereka satu rombongan, seperti kami.
"Dari Tuban Jawa Timur, Bu,'" jawab saya
"Mau mendukung Tegar ya," balasnya.
"Iya. Kami ajak juga dua orangtua Tegar," jawabku sambil menunjuk sepasang suami istri yang duduk berdampingan di bangku paling depan.
"Kalau ibu dari mana? " aku ganti bertanya
"Dari Bogor, kami mendukung Richsan,"' jawabnya.
Sekadar diketahui Richsan juga atlet lompat galah yang malam itu juga berjuang demi Merah Putih bersama Tegar.
"Mari kita dukung bersama, siapapun yang menang (Tegar atau Richsan) adalah Indonesia," ucapnya semangat.
"Iya Bu, semua demi Indonesia," jawabku mantap.
Maka jadilah kami malam itu berbaur dan bersama-sama memekikkan “Indonesia”, saat nama-nama atlet berbendera Merah Putih disebut, begitupun ribuan penonton yang lain. GBK bergemuruh. Sudah semestinya seperti itulah NKRI, kuat dan besar karena kecintaan rakyat yang besar pada negaranya.
Dan nasionalisme itu bisa terwujud dalam olahraga. Masih ingatkan bagaimana presiden Jokowi dan Prabowo duduk berdampingan dan saling berpelukan penuh persahabatan ketika atlet pencak silat Indonesia mempersembahkan emas?
Maka rontoklah semua perseteruan, persaingan dan panasnya kontestasi pilpres nanti. Adem kami melihatnya, dan memang demikian harusnya para negarawan. Mereka semestinya mengajarkan pada para pendukungnya untuk tetap bersaing sehat, fair dan menjaga etika kebangsaan dan kemanusiaan. Tanpa caci maki, saling benci dan berseteru. Menampakkan suasana bersahabat seperti itu, sungguh sebuah sumbangan yang luar biasa besar demi kelangsungan demokrasi dan kebangsaan di negeri ini.
Utuhnya NKRI jauh lebih penting dan utama dibanding kontestasi politik dan jabatan yang hanya 5 tahun, atau paling banter 10 tahun jika periode. Presiden Gus Dur pernah bilang; ‘Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak untuk dipertahankan mati-matian’, saat jabatannya sebagai pemimpin di negeri ini digoyang dan dijatuhkan. Padahal saat itu, jutaan pendukungnya siap membela, bahkan dengan nyawanya.
Prinsip bersatunya rakyat dan utuhnya NKRI menjadi hal yang dipegang erat Gus Dur. Maka,jadilah panasnya politik saat itu kembali adem dan negeri ini terus berjalan dan utuh sampai detik ini, dan semoga selamanya. Jika rakyat bersatu, cinta tanah airnya, pemimpin dan elit politiknya punya komitmen menjada keutuhan NKRI dan berusaha memperjuangkan eksistensi negaranya, menghalau perpecahan dan memegang teguh kebhinekaan dengan santun, NKRI akan tetap utuh. Wallahua’lam.(*)