Oleh: Sri Wiyono
blokTuban.com - Tahun politik begitu kata orang. Maka semuanya seolah-olah ditarik ke politik. Bahkan, saat ibadah memenuhi panggilan Gusti Allah pun membawa-bawa nafsu politik.
Tanpa membicarakan politik, ibarat ngopi tanpa udut (rokok): hambar. Meskipun saya juga biasa ngopi saja tanpa udut, karena saya sudah berhenti udut mungkin sejak 20 tahun lalu, dan rasanya biasa aja tuh…hehehehe..
Maka orang kembali menghitung, mengkalkulasi, mengotak-atik matuk. Politik menjadi bahan omongan yang sangat laris. Berseliweran di dunia maya, tidak tahu apakah juga berseliweran di dunia luna (mayaluna…eh Lunamaya yang cantik itu). Mengepul di warung-warung kopi, selaras dengan kepulan asap udut para ahli hisap, dasar !
Yang paling tidak enak ketika mulai kalkulasi ragat, modal, kapital, uang, bondo atau sebutan lain untuk menunjuk satu benda yang paling dicari di muka bumi itu. Ya, ketika orang ngomong politik arahnya adalah kekuasaan. Kekuasaan itu, ya kursi di DPRD kabupaten, DPRD provinsi sampai DPR RI, ini untuk jabatan legislatif. Banyak orang tahunya itu. Tak lebih.
Untuk jabatan eksekutif mulai kepala desa (kades), bupati, walikota, gubernur, sampai presiden. Camat tidak kita sebut karena jabatan itu tidak dipilih langsung oleh rakyat. Namun dipilih oleh bupati atau walikota. Meski tak jarang juga ada nuansa politis di sana dalam pemilihannya.
Dan, semua jabatan itu perlu ragat untuk mencapainya. Terlebih pada kondisi saat ini. Atau setidaknya sejak pemilihan langsung jabatan politik itu diberlakukan. Sejak sistem pengkaderan politikus di partai politik tak menarik lagi. Karena seseorang bisa tiba-tiba saja menjadi kader partai dan bisa menduduki jabatan politik secara instan. Sistem memungkinkan itu. Kuncinya adalah ragat. Maka dengan sistem yang sedemikian terbuka itu, orang dengan kapital mumpuni, tak usah repot-repot mengikuti pengkaderan di partai politik sejak dari bawah. Karena bisa ‘membeli’ tiket bertarung di medan laga politik dengan dana yang mereka punyai. Bahkan, sangat banyak kasus, kader comotan ini mengalahkan kader asli didikan partai politik, hanya karena kader tulen itu tak punya banyak modal.
Maka, dengan sistem seperti itu, seperti guyonan kawan-kawan di warung kopi, bahkan maling pun bisa menjadi bupati, menjadi gubernur, presiden dan anggota dewan jika dicalonkan partai politik lalu dipilih rakyat. Dan, begitulah faktanya.
Lalu, pada musim pencalegan tahun ini, untuk pemilihan umum (pemilu) tahun depan, hal itu kembali muncul. Ada kawan yang enggan nyaleg karena merasa tak punya ragat. Meski tak sedikit kawan-kawan saya yang dengan mantap nyaleg meski tak punya banyak ragat. Sebab, nyaleg juga pasti keluar ragat. Misal sekadar untuk foto kopi KTP, KK, foto diri, ngurus ini itu dan sebagainya hehehe..butuh ragat kan?
Suatu saat, saya diskusi dengan seorang kawan yang nyaleg. Dia sampaikan konsep yang sangat bagus, membumi, rasional dan sangat bisa diterima. Jika konsep ini dimiliki para caleg, akan sangat baguslah perjalanan demokrasi. Dan, gedung wakil rakyat akan diisi oleh orang-orang berintegritas.
Dia yakin dengan pilihannya, yang ingin mendidik pemilih dengan pendidikan politik yang benar. Politik yang tak sekadar amplop dan transaksional. Pemilih diajak untuk berfikir, bahkan kontrak politik pun dilakukan. Perjanjian dengan akta notaris pula!
Kawan yang lain hampir sama; menawarkan pengabdian total, pembelaan total pada pemilih. Menawarkan hubungan dan relasi antara yang dipilih dan yang memilih tersambung, tanpa putus dengan janji merawat pemilih minimal di daerah pemilihan (dapil) nya.
Meski jujur saya agak ragu dengan pilihan model begitu, tapi saya salut pada kawan-kawan saya yang masih muda ini. Mereka punya keberanian untuk membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi. Meski bukan hal baru, karena visi misi dan tawaran ide serta program itu dulu menjadi jualan dalam kampanye, sebelum akhirnya tenggelam dengan politik transaksional model sekarang. Dan, entah sampai kapan akan berakhir.
Jika tawaran-tawaran para caleg muda yang kembali mengusung spirit politik ‘bersih’ dari amplop itu diterima, dan menjadi model dalam berpolitik, maka kesadaran pemilih suatu saat akan muncul. Pemilih dengan senang hati akan kembali datang ke TPS, bukan karena sudah di’beli’ dengan amplop, namun atas kesadaran sendiri, bahwa suaranya menentukan masa depan bangsa, hehehe… seperti jargon KPU.
Entah bagaimana nanti model memilihnya, apakah mencoblos, nyontreng atau cukup ngeklik untuk memberikan suara, saya optimis kesadaran untuk meninggalkan politik transaksional itu akan muncul. Dan, para caleg muda yang sekarang menawarkan gagasan memilih bukan sekadar amplop itu harus memulai. Harus ada yang bermimpi untuk membawa perubahan. Harus ada yang mulai, kalau tidak sekarang kapan lagi.
Jika misalnya kali ini tawaran yang (maaf) memilih tanpa amplop itu belum disambar pemilih, maka suatu saat saya yakin pasti akan terjadi. Karena masyarakat suatu saat akan jenuh menjatuhkan pilihan karena amplop. Sebab, relasi antara pemilih dan yang dipilih hanya sebatas amplop. Yang dipilih andai jadi, kemudian dengan pongah bisa mengatakan, dia sudah membeli suara pemilih, sehingga pemilih tak bisa ‘mengganggu’ lagi dengan segenap persoalan yang dihadapi pemilih. Nah loe!
Apakah benar setiap perhelatan politik itu butuh amplop. Lalu siapa yang memberikan dan siapa yang menerima? Apakah benar pemilih itu akan pasif dan tak ambil pusing ketika tak disuguhi amplop? Apakah caleg bisa tersungkur jika tak memberi amplop pada pemilih? Semua pertanyaan itu jawabnya:BENAR! Setidaknya itu berdasarkan pengalaman pribadi saya.
Saya punya kawan akrab. Kawan diskusi dan runtang-runtung. Kawan saya ini, sekarang menjadi orang besar di ibu kota. Saya kenal dia, sejak dia belum menjadi apa-apa. Lalu dia menjadi politisi dari sebuah partai. Selama itu, diskusi terus berjalan lancar. Kawan saya ini cerdas dan analisanya tajam.
Dia lalu terpilih menjadi wakil rakyat. Sikapnya tak berubah. Tetap kritis. Analisanya yang tajam sering membuat eksekutif kalang kabut ketika dia membedah anggaran dan menemukan pos-pos yang mencurigakan. Dia bongkar semua.
Selama itu, dia juga rajin merawat basis pemilihannya. Dia ringan tangan dan cekatan. Pemilih yang ada di pucuk gunung pun dia sapa. Secara berkala dia datangi, dan dimanjakan dengan bantuan-bantuan yang bisa diberikan. Pendek kata, selama 5 tahun kawan saya ini sangat merawat basis pemilihannya. Namanya kondang di basis itu.
Pemilu selanjutnya, dia nyaleg lagi, masih di dapil yang sama. Apa dikata, nama yang kondang, keuletan dan rajinnya dia merawat basis pemilihnya selama 5 tahun itu, ternyata belum cukup untuk mengantar dia kembali ke kursi dewan. Dia kalah dengan kawan separtainya hanya karena menjelang pemilihan kawan saya ini tak mengeluarkan amplop. Duhhh…!!!
Meski keluar amplop pun masih bisa tersungkur ketika caleg lain mengeluarkan amplop dengan isi yang lebih besar. Ini juga menimpa kawan saya, dari partai yang lain. Kawan yang satu ini malah komplit upaya ‘ngerumat’ basis pemilihnya. Ibaratnya, apapun dilayani kawan ini. Namun, di detik-detik terakhir dia harus tersungkur dan harus melepas kursi dewan yang sebelumnya diduduki karena caleg lain beroperasi di daerah pemilihannya dengan isi amplop yang lebih besar dibanding isi amplop yang sebelumnya dia sebar. Maka, malam sebelum coblosan kawan saya ini sudah tahu dia bakal tak terpilih lagi, sehingga dia tak begitu terkejut perolehan suaranya keesokan harinya.
Bagaimana dalam pemilihan pejabat eksekutif? Setali tiga uang alias sama saja. Saya juga sempat menyaksikan bagaimana seorang calon bupati tersungkur karena tidak bisa memberikan amplop pada pemilihnya. Bukan karena tidak punya uang, namun karena timnya tak berhasil membagikan uang yang sudah disiapkan. Dan saya menyaksikan ini bukan hanya sekali. Amplop itu begitu berpengaruhnya menentukan nasib calon.
Lebih satu kawan saya yang berebut kursi kepala desa (kades) juga tersungkur karena memilih jalan ‘tidak umum’ itu. Jika umumnya calon memberi amplop untuk pemilih, dia tidak mau. Dia yakin bahwa pemilih masih punya nurani dan cerdas berfikir. Namun, apa dikata, pemilih masih menghendaki yang umum itu terjadi. Tanpa uang calon ditendang.
Namun, tak selamanya amplop menentukan pilihan. Karena figur calon juga berpengaruh. Lagi-lagi pengalaman pribadi. Pada suatu pemilihan kades, hanya ada satu calon. Orang menyebut mungsuh bumbung kosong. Dan, calon tunggal ini juga mendekati pemilihnya. Sebelum coblosan, seluruh warga dikirimi nasi dan lauk. Entah, ada amplopnya atau tidak saya tidak ingat pasti.
Namun faktanya, ketika pemilihan, suara yang diperoleh hanya sedikit. Mayoritas warga memilih bumbung kosong. Mendapati hal itu, sang calon yang sebelumnya duduk gagah di kursi calon itu, mendadak lemas, terkulai dan merosot jatuh dari kursi yang dia dukuki. Untuk pulang ke rumahnya pun harus dibopong. Ini bukan fiksi, tapi fakta hehehe…
Artinya, warga masih punya nurani. Harapan itu ada. Karena itu, optimisme bahwa suatu saat politik transaksional dan berbiaya mahal ini, khususnya untuk para calon tidak laku lagi. Rakyat semakin cerdas dan kritis dalam memilih. Sebanyak apapun kapital yang disiapkan. Setebal apapun amplop yang diberikan, jika kapasitas calonnya tak mumpuni, figur calon tak menarik, gagasan dan idenya tak laku, dia akan tersungkur dari pencalonan. Namun kapan hal itu terjadi? Wallahua’lam.(*)