Reporter: M.Anang Febri
blokTuban.com - Lahan pertanian area hutan yang terpampang di Kecamatan Grabagan menjadi salah satu sandaran hidup untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Sistem kerjasama antara warga penduduk sekitar hutan dan pengelola Perhutani menjadi kunci dari hubungan kesejahteraan petani setempat.
Keadaan tersebut dapat dilihat pada lahan tanam area hutan Desa Gesikan, Kecamatan Grabagan. Mayoritas petani disana menanam jagung, cabai, maupun ketela untuk lebih meningkatkan produktivitas hutan. Namun begitu, memasuki petengahan tahun 2018 banyak petani yang mengeluh sebab hasil tanam yang notabennya minim pendapatan.
Hasil dari pada olah lahan tanaman jagung, ataupun cabai pada musim penghujan lalu memang memiliki kecenderungan baik dalam segi panen. Akan tetapi keadaan tersebut tak bisa menjadikan jaminan lebih pada saat seperti ini, dimana lahan pertanian hanya mandek usai panen, kemudian menunggu hujan yang akan datang dan kembali lagi aktivitas tanam.
"Kalau lahan di sini, area hutan yang agak masuk, tanamannya minim. Sebab banyak pohon-pohon besar yang ngisi lahan, pertumbuhan tanaman juga mesti kalah," Terang Suwaji, salah seorang petani yang memiliki lahan di area hutan jati Desa Gesikan, Jumat (13/7/2018).
Dia juga menambahkan, lahan pertanian di hutan jati atau lebih dikenal dengan sebutan persil bagi warga setempat, memiliki sistem bagi hasil antara warga dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) berikut pihak pemangku bersangkutan. Lebih ringkasnya, pajak tanam dalam skala kepemilikan. Setiap petani yang memiliki persil harus membagi hasil atau pajak usai proses panen tanaman, dengan besaran minimal Rp70.000 per kepemilikan dalam setahun.
"Sistem itu berlaku murah bagi petani yang punya lahan kecil. Lahan besar juga semakin besar juga pajak yang harus dibayar. Kalau milik kami ini lahan cuma sedikit, minim fungsi tanam," ulasnya tentang sistem pembagian persen yang sudah berjalan sekitar 10 tahun lebih.
Dari sistem itu, pihaknya tak merasa berkeberatan. Sebab terdapat sejumlah petani lain yang sampai harus membayar sekitar Rp250.000 per tahun pasca panen, namun dengan angka harapan besar tanaman berhasil di lahan berpotensi tanam.
Ditambahkan petani lain, Kastur mengaku penggarapan sawah maupun persil semakin tak produktif. Semua hasil panen hanya bisa dipakai untuk makan dan sedikit biaya olah lahan kembali. Beda dari pertanian zaman dulu yang apa-apa serba mudah dan menghasilkan antara proses tanam dan panen, pertanian saat ini lebih banyak ongkos tanam dibanding hasil.
"Kalau punya lahan persawahan pribadi, hasil panen hanya impas buat upah, perawatan, obat, dan lebihnya untuk makan. Kalau punya lahan persil, banyak nunggu waktu hujan pas tanam. Tiap panen juga ada sistem pajak hasil," tuturnya.
Sudah menjadi wajar jika sektor pertanian media sawah di Kecamatan Grabagan masalah utamanya tentang stok air yang tak cukup merawat tanaman kala musim kemarau. Lelaki empat puluh tujuh tahun itu berpendapat tentang hasil persil yang kebetulan juga dia punya, bahwa dedaunan jati yang ada pada satu lahan bersama tanaman jagung mupun yang lainnya bisa mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu.
"Lahan persil di area hutan jati sudah sah milik masyarakat sekitar hutan. Tetapi disela itu, warga juga sambil merawat tanaman hutan, membersihkan lahan. Waktu begini ya hanya bersih lahan, mau tanam ya gak bakal bisa," terang Kastur. [feb/col]