Oleh: Sri Wiyono
‘’Pak... kapan dilantik,’’ gurau salah satu anggota grup sebuah komunitas yang saya ikuti. Entah serius atau tidak pertanyaan itu. Namun, beberapakali bersua dalam suatu kesempatan, kawan-kawan selalu ‘nggojloki’ yang disebut Pak... tersebut.
Pak... itu, saya juga cukup mengenalnya. Saat ini sudah pejabat, namun kawan-kawan ‘nggojloki’ atau setidaknya mendoakan jabatannya lebih tinggi lagi. Dan, kawan-kawan lain sudah tak canggung memberi ucapan selamat.
‘’Kemajon,’’ begitu kata Mbah Imam, kawan saya yang cukup senior.
Tidak apalah mendoakan, toh pada akhirnya, para pejabat yang bertengger di jabatan tertentu pun akan lengser. Mereka akan mengakhiri masa jabatannya. Ada yang pensiun. Juga ada yang pindah, dan ada juga yang promosi.
Seperti bait lagu Iwan Fals; Satu-satu daun berguguran/ jatuh ke bumi dimakan usia/ tak terdengar tangis, tak terdengar tawa/ redalah reda. Satu-satu tunas muda bersemi/ mengisi hidup gantikan yang tua/ tak terdengar tangis, tak terdengar tawa/ redalah reda.
Waktu terus bergulir/semua mesti terjadi, daun-daun berguguran/tunas-tunas muda bersemi. Satu-satu daun berguguran/satu-satu tunas muda bersemi/ tak guna menangis/ tak guna tertawa/ redalah reda.
Syair lagu itu menggambarkan siklus kehidupan yang berputar silih berganti. Saling mengganti. Begitu juga dengan jabatan. Saya mendadak pengin menulis soal jabatan karena saya dengar bakal ada mutasi lagi, setelah mutasi kemarin. Indikasinya, beberapa jabatan kosong, dan beberapa jabatan segera kosong karena pejabatnya pensiun.
Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang naik, ada yang duduk menyamping. Ada yang sedih, ada yang gembira, dan mungkin ada yang biasa-biasa saja. Semua yang kita miliki dan kita sandang hanyalah titipan dan amanah. Dan suatu saat akan diambil kembali oleh pemberi amanah. Maka kita harus ikhlas ketika itu terjadi.
Belajar ikhlas ? Saya jadi teringat dengan wejangan salah seorang kawan diskusi, atau lebih tepatnya ‘guru’ saya. Ketika saya menceritakan ‘kegethunan’ saya atas suatu barang yang hilang. Barang itu biasanya selalu saya bawa.
Hingga pada suatu saat ketika saya jalan bersama anak istri saya, barang itu dibuat mainan anak kedua saya yang masih kecil. Di bawa ke sana-kemari. Hingga saatnya pulang barang itu tertinggal.
Ketika saya ‘ngudoroso’ atas kehilangan barang tersebut yang juga pemberian ‘guru’ saya itu, dia menanggapinya dengan enteng. Dia mengatakan agar saya belajar ikhlas. Bahwa manusia ketika kehilangan sesuatu yang sangat dicintainya, hakikatnya adalah pelajaran dan cobaan dari Allah agar manusia belajar ikhlas.
Sebuah kata yang enak didengar dan dikatakan, namun sangat sulit dilakukan. Termasuk saya, yang masih saja ‘gethun’ dengan kehilangan saya itu. Saya masih belum sepenuhnya bisa ikhlas. Ah, dasar manusia.
Itu belum seberapa, karena saya pernah getun setengah mati saat kehilangan uang Rp 50 ribu. Selembar uang warna biru sudah beberapa hari menghuni kantong celana saya. Saya eman-eman karena belum ada temannya.
Namun, suatu saat ketika saya butuhkan, uang itu ternyata sudah tidak di saku. entah terjatuh di mana. Saya coba cari ke mana-mana, tetap tidak ketemu. Apakah lalu saya ikhlas? Iya, dengan terpaksa hehehe.
Uang tinggal satu-satunya, sudah di eman-eman. Lalu uang itu lenyap begitu saja, sakitnya tuh di sini kata anak-anak jaman now.
Saya juga kembali teringat dengan pesan Bupati Tuban Fathul Huda dalam berbagai kesempatan. Bahwa aparat pemerintah hakikatnya adalah pelayan bagi masyarakatnya. Karena itu, kinerjanya harus bagus, harus benar-benar melayani rakyat dan benar-benar bisa membuat rakyat tersenyum.
Ukuran kinerja baik itu sudah sangat jelas dan terukur. Ada tim yang menilai keberhasilan dan kinerja pejabat. Maka, ketika pejabat tidak baik kinerjanya, prestasinya payah, inovasinya lemah, maka harus ikhlas menanggalkan jabatannya.
Pun demikian, pejabat harus selalu pintar mengembangkan diri. Harus pintar mencari terobosan untuk kemajuan. Pejabat juga tidak boleh sok pintar. Tidak boleh melampaui kewenangannya. Namun, potensi dan kemampuannya harus dimaksimalkan untuk menunjang kinerjanya.
Jangan takut mencoba dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Ini, pesan Fathul Huda kala melantik ratusan pejabat dulu. Bupati yang juga kiai ini sangat faham dengan kondisi dan potensi dari masing-masing pejabatnya.
Karena itu, pejabat yang dilantik, atau pejabat yang diangkat dalam suatu jabatan tertentu, sudah dinilai pas dengan kapasitas dan kemampuannya. Juga pas dengan kecenderungan yang dimiliki. Bukankah hasil assessment menunjukkan hal itu.
Maka dengan tegas bupati menyatakan tidak ada jabatan yang tidak penting. Semua jabatan penting, dan semua pejabatnya mempunyai tanggungjawab yang sama untuk memberikan pelayanan terbaik.
Hal itu untuk membantah rumor bahwa ada pos yang disediakan untuk memarkir pejabat yang tidak produktif dan dinilai kinerjanya buruk. Sebut saja jabatan staf ahli misalnya. Rumor selama ini, staf ahli hanyalah jabatan ‘abang-abang lambe’. Artinya jabatan itu ada namun tidak mempunyai peran dan kewenangan layaknya pejabat lain. Rumor seperti itu, dulu sempat berkembang.
Namun, di tangan Fathul Huda, staf ahli mempunyai peran dan fungsi yang barangkali justru sangat penting. Staf ahli langsung diawasi dan dikendalikan bupati. Staf ahli harus bisa memahami pemikiran bupati, kemudian menerjemahkan ke dalam program dan kegiatan di masyarakat.
Nah loe, sulitkan? Betapa pentingnya jabatan ini jika dikembalikan ke ‘maqom’ sebenarnya. Karena itu, mari kita ucapkan selamat untuk para pejabat yang baru dilantik beberapa waktu ini. Pejabat yang benar-benar baru, atau pejabat lama yang harus dilantik kembali karena keharusan regulasi.
Di tangan Anda semua, masa depan Kabupaten Tuban ini berada. Maka mari tunjukkan kinerja terbaik. Tunjukkan prestasi terbaik dan lakukan pelayanan terbaik. Jika tidak bisa, maka ikhlaslah Anda ketika harus digantikan pejabat lain yang lebih baik dari Anda.
Ukuran prestasi itu adalah karya nyata. Kerja nyata sangat ditunggu, bukan sekadar duduk dan tangan di atas meja. Karya Anda semua dinantikan untuk memajukan Bumi Wali ini. Mari berkarya, mari kerja nyata.
Bukankah ikhlas itu mempunyai nilai dan derajat tinggi bagi Allah. Ingat kisah ashabul kahfi, tentang tiga pria yang terjebak dalam gua. Setelah putus asa tidak menemukan jalan keluar. Mereka tukarkan amal ikhalas yang pernah mereka lakukan.
Setiap selesai menceritakan perbuatan ikhlas yang pernah dilakukan. Salah satu dari mereka berdoa memohon agar diberi jalan keluar. Dan, setiap usai soa, baru besar yang menutup pintu gua bergeser sedikit.
Mereka ‘memamerkan’ amal ikhlasnya pada Allah secara bergantian, hingga pada pria ketiga menyelesaikan doanya, batu besar bergeser dan menghasilkan lubang yang cukup untuk mereka keluar. Ya, perbuatan ikhlasnya bisa menyelamatkan mereka. Wallahu a’lam.(*)