Oleh: Sri Wiyono
Minggu lalu, saya ‘nunut’ mobil salah satu kawan. Dia menyetir, dan saya duduk di bangku sampingnya. Obrolan panjang terus mengalir selama perjalanan.
Mulai dari kondisi Kota Tuban, pertumbuhannya, warganya, pejabatnya dan banyak hal. Tak ketinggalan kami ‘ngrasani’ pemimpinnya. Juga bagaimana suksesi ke depan, ketika bupati yang kiai itu harus ‘lengser keprabon’
Adakah trah dari Sang Kiai ini yang akan melanjutkan kepemimpinannya. Bukan langsung duduk ‘mak clingkrik’ di kursi bupati memang. Namun, harus melalui mekanisme pemilihan pemimpin yang sudah disepakati, yakni pemilihan bupati dan wakil bupati.
Obrolan mulai masuk ranah politik. Kami mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan ‘bani’ atau ‘trah’ mana yang nanti akan turun memperebutkan kekuasaan itu. Sekadar obrolan, jadi hanya mengalir begitu saja. Ringan. Toh pemilihan bupati di Tuban masih lama. Periode kedua bupati yang kiai itu baru berjalan dua tahun.
Obrolan mendadak panas kala masuk ke persoalan pemilihan gubernur Jawa Timur. Perdebatan kecil mulai terjadi. Sang kawan, condong pada salah satu calon. Dia menjelaskan alasan dan latarbelakangnya. Juga hal-hal lain yang membuat dia harus menjatuhkan hatinya pada calon tersebut.
‘’Tapi, saya sebenarnya masih kurang sreg, karena pasangannya itu yang menurut saya janggal,’’ akunya.
‘’Andai, pasangan yang dulu tidak diganti, saya 100 persen menjatuhkan pilihan pada dia,’’ tambahnya.
Saya tak perlu sebutakan siapa kawan saya ini. Yang pasti dia punya ‘pengaruh’. Secara ekonomi dia sudah sangat mapan, pekerjaannya jelas. Anak buahnya bejibun. Mainannya uang miliaran. Potensial sebagai pendulang suara.
Hanya, calon pilihan dia ternyata berbeda dengan pilihan saya. Meskipun saya tidak yakin pas hari ‘H’ coblosan nanti saya masuk TPS dan memberikan suara untuk calon gubernur hehehe....
Seperti layaknya wartawan dia mulai mencerca saya dengan beberapa pertanyaan. Kawan saya ini juga mendadak menjadi dosen penguji yang meminta saya menerangkan analisis, kenapa saya condong ke calon tersebut.
Dan, saya menanggapi enteng. Faktor pertama adalah saya secara pribadi pernah berinteraksi dengan salah satu calon gubernur itu. Beberapakali pernah bertatap muka dan sowan ke rumahnya.
Meski saya yakin calon gubernur tersebut juga tak ingat saya hehehe...
Sedikit banyak saya tahu bagaimana ‘perangai’ calon tersebut. Dan, saya yakin calon tersebut adalah orang yang baik.
‘’Lalu pasangannya, bagaimana,’’ sergah kawan saya sambil menoleh ke arah saya. Namun buru-buru dia kembali membuang pandangan ke muka, agar laju kendaraan tetap stabil.
‘’Tak perlu diragukan lagi,’’ tangkis saya.
Lalu, bla...bla...bla..saya jelaskan siapa pasangannya, dari mana dia, apa latar belakangnya, dan hal-hal lain yang saya ketahui. Wah saya kok kampanye, bisik hati saya hehehe...
Sambil tetap menyetir, kawan saya ini manggut-manggut. Nampaknya dia baru mendapat ‘pencerahan’.
‘’Nah kalau begini saya kan jelas. Ada alternatif pilihan. Karena sejak awal saya ragu dengan pilihan saya,’’ ungkapnya.
Nah lo, saya tidak memengaruhi lobya. Diskusi harus jujur dan apa adanya. Plus minus semua diumbar, dan jika ada perubahan pandangan, dan bahkan perubahan pilihan itu di luar kekuasaan kami, saya dan kawan saya itu.
Obrolan pun kembali mencair, mengalir ke topik-topik lainnya. Namun, bahasannya masih soal pemimpin. Sebab, sekarang memang lagi in, lagi viral begitu generasi jaman now menyebut.
Juga terkait dengan perebutan kekuasaan, jabatan dan segala ‘tetek bengeknya’. Ada sebagian yang mati-matian memburu jabatan. Lalu, mati-matian mempertahankannya ketika jabatan dan kekuasaan sudah dipegang, agar tak lepas dan direbut pihak lain.
Saya jadi teringat dengan ungkapan Presiden ke empat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Saya masih teringat ketika Gus Dur pamitan pada rakyat sambil melambaikan tangannya dari istana kepresidenan pada Juli 2001, ketika dia dilengserkan dari kursi presiden.
Saat itu, Gus Dur nampak hanya memakai baju tidur dengan bercelana tidur berkolor selutut. Saya ingat persis adegan itu. Saya menyaksikannya dari layar televisi di kantor LBH Surabaya. Ya, kala itu saya menjadi seorang wartawan yang bertugas liputan di Surabaya. Dan, kantor LBH Surabaya menjadi tempat singgah saya sehari-hari.
‘’Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian’’. Begitu ungkapan Gus Dur.
Barangkali Gus Dur melalui idiom itu juga secara tersirat mengatakan ; ‘’Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak dikejar mati-matian’’. Karena sejatinya jabatan itu adalah amanah, yang tak layak diperebutkan. Jabatan akan menyasar sendiri pada pribadi yang layak untuk dihinggapi.
Di Jawa berkembang sebuah ‘angger-angger’ atau panduan untuk menjadi pemimpin yang layak dan berhak memimpin. Sosoknya setidaknya harus punya tiga sifat yang melingkupi dirinya. Yakni satrio, mandito dan sinisihan wahyu. Jika tiga sifat ini salah satu saja tidak hadir di dalam pribadinya, kurang lengkap dan tidak layak menjadi pemimpin.
Sifat satrio adalah sifat membela kebenaran yang bersumber dari nurani. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mengedepankan keadilan dan pemenuhan hak untuk seluruh rakyat yang dipimpinnya secara menyeluruh.
Tanpa memandang dari golongan mana rakyat berasal, dari kasta dan kaum mana rakyat itu lahir. Ketika rakyat meminta keadilan, semuanya akan merasa tercukupi tanpa pandang bulu. Keadilan untuk semua, termasuk untuk keluarga pemimpin dan golongannya.
Bukankah Baginda Rasulullah Muhammad SAW sudah memberi contoh, bagaimana kekasih Allah itu bersumpah, seandainya Siti Fatimah putrinya kedapatan mencuri, maka Rasul juga akan memotong tangannya. Sebab, hukuman bagi pencuri kala itu adalah dipotong tangannya. Saking adilnya.
Mandito, artinya seorang pemimpin tidak pernah meninggalkan Tuhannya dalam setiap helaan nafasnya. Dia menjalankan pemerintahan dan amanahnya dengan selalu meminta bimbingan Tuhannya.
Sehingga, ketika dia memutuskan sesuatu, membuat satu kebijakan dasar pijakannya adalah upaya mencari kerelaan Tuhannya. Dan arahnya adalah senyum untuk seluruh rakyatnya. Sedang sinisihan wahyu adalah orang yang terpilih (oleh Tuhan) untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan menjabarkan amanah yang dia terima.
Gerak dan tingkah lakunya dalam menjalankan amanah selalu dituntun oleh Tuhannya. Pribadi yang terpilih, tentu bukan sembarangan. Dia dimunculkan dan didorong oleh alam untuk menjadi pemimpin. Maka, ketika dia muncul, tidak ada yang bisa kembali menenggelamkannya. Ratu Adil, begitu konsep Jawa menyebutnya.
Saya tiba-tiba ingin menulis soal pemimpin karena tahun 2018 ini menjadi tahun perhelatan pilkada langsung serentak. Ucapkanlah selamat datang wahai musim hujatan, cacian, fitnah dan menebar kebencian. Selamat datang juga musim pencitraan, kepura-puraan, kepalsuan serta janji dan rayuan.
Karena begitulah adanya. Pernak pernik itu seolah menjadi garam dalam masakan, kurang lengkap dan kurang enak, jika tidak hadir. Lalu, apakah jabatan itu harus diperebutkan dengan cara yang sedemikian rupa ?
Jika memang demikian, maka tak heran ketika seorang pemimpin terpilih dengan cara seperti itu, amanahnya juga kurang. Yang mengerikan adalah ketika pemimpin merasa bahwa jabatan dan kekuasaan yang dia peroleh adalah bayaran atas kerja kerasnya. Yang mungkin di antaranya juga hasil dari memfitnah, menghujat dan melakukan kepura-puraan.
Maka celakalah rakyatnya karena mempunyai seorang pemimpin yang tak ubahnya penipu.
Padahal, pemimpin mestinya bisa mengayomi seluruh rakyat dari semua golongan dan lapisan masyarakat. Pemimpin adalah yang bisa mengambil hati, menyatukan perasaannya dengan perasaan rakyat.
Sehingga, ketika pemimpin sedih, maka rakyat seluruh negeri akan menitikkan air mata. ‘’jujur, lugu dan bijaksana, tahu apa yang tersimpan dalam benak, rakyat Indonesia’’ begitu penggalan syair lagu Hatta yang dinyanyikan Iwan Fals.
Lagu ini menggambar sosok pemimpin M.Hatta salah satu proklamator, yang oleh Iwan Fals dikatakan sebagai pemimpin yang dicintai rakyatnya. Hujan air mata dari seluruh pelosok negeri, saat mendengar engkau (Hatta) pergi, begitu katanya.
Jika amanah itu dijalankan dengan baik. Jika cinta rakyatnya pada dia ditumbuhkan terus dengan kebijakan-kebijakan yang melindungi seluruh negeri dan isinya, maka akan terjalin kemesraan sosial, kemesraan antara pemimpin dan rakyatnya. Kemesraan manusia dengan alam dan lingkungannya.
Meminjam istilah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), pemimpin adalah ibarat suami dan rakyat adalah istri, sehingga keduanya harus saling mengasihi, saling mengisi. Suami menjaga kehormatan istrinya, menjamin keamanan, kesejahteraan dan keselamatan istrinya. Sedang istri menjaga kehormatan suaminya, mendukung dan memberikan cintanya, maka selaras dan indahlah kehidupan.
Sudahkah Anda menemukan sosok pemimpin itu di daerah Anda masing-masing. Pemimpin yang dirindukan, pemimpin yang ketika dia lengser ditangisi rakyatnya. Pemimpin yang benar-benar menjadi sosok suami bagi rakyatnya. Jika ada, maka pemimpin ini akan selamat dari hujatan, cacian fitnahan dan sebagainya.
Karena meski serangan apapun yang dialamatkan padanya, rakyatnya membela, rakyatnya menepuk dada dan siap mengorbankan jiwanya. Rakyat percaya dan tetap cinta.
Sungguh banyak pemimpin yang selama kurun waktu kepemimpinannya justru membuat rakyatnya resah, terancam dan tidak tenang. Rakyatnya sendiri tidak betah dipimpin. Andai pemilihan seorang pemimpin bisa dilakukan setiap saat, rakyatnya sudah meminta dilakukan pemilihan lagi.
Atau, jika pemilihan masih lama, rakyatnya akan terus memendam keperihan. Diam-diam menulis janji di hatinya, cukup sekali saja aku memilihmu, dan tak akan kuulangi kesalahan itu !! Lalu calon gubernur yang mana pilihanmu ? Wallahu a’lam (*)