Oleh: Sri Wiyono
Kabupaten Tuban masuk daerah rawan bencana ! Itulah pernyataan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur (Jatim) Sudarmawan.
Dari 38 kabupaten/kota di Jatim, sebanyak 28 kabupaten/kota adalah daerah rawan bencana. Beragam bencana; mulai banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan, gempa bumi dan lain sebagainya.
Kemudian menyempit lagi menjadi 20 kabupaten/kota daerah rawan banjir. Dan, Kabupaten Tuban lagi-lagi masuk di dalamnya. Daerah rawan banjir adalah daerah dilewati aliran sungai.
Kabupaten Tuban yang dikenal sebagai Bumi Wali berada di daerah tersebut. Sebagian, wilayah kecamatan di Tuban berada di bantaran sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa.
Berbagai bencana selalu mengancam. Tuban dianugerahi sungai, laut, hutan dan dataran tinggi. Dan, masing-masing mempunyai potensi bencana sendiri-sendiri. Karena itu, bencana banjir, tanah longsor, angin puting beliung sampai kekeringan menjadi langganan menerpa. Struktur geografis yang memungkinkan semua itu.
Bagi sebagian warga Tuban, kekeringan misalnya, seolah sudah tidak dianggap sebagai bencana lagi. Namun menjadi ritual tahunan yang mesti mereka terima. Setiap tahun di musim kemarau, warga kesulitan mendapatkan air bersih.
Dan setiap tahun pula pemkab, melalui instansi terkait selalu memberikan bantuan air bersih dengan jalan langsung dikirim ke titik sasaran menggunakan mobil tangki. Biasanya, pihak ketiga seperti perusahaan, lembaga sosial dan pihak yang berkepentingan juga ikut menyumbang.
Di penghujung Februari ini, salah satu ‘kawan lama’ itu mulai menyapa. Ya, air di sungai terpanjang di Pulau Jawa ini meluap. Luapan air sungai sudah mulai menyambangi sejumlah perkampungan warga di sejumlah daerah di sepanjang bantarannya.
Biasa memang kejadian itu. Namun kedatangan air bah yang tanpa permisi tetap saja membuat repot warga yang terkena. Sampai saat ini, setidaknya sudah empat kecamatan yang terendam. Berikut ratusan hektar lahan pertanian dan ratusan rumah warga.
‘’Alhamdulillah kelem (tenggelam),’’ begitu komentar salah seorang kawan dalam grup media sosial.
Kawan ini memang tinggal di kecamatan yang langganan banjir. Maka ketika, kawan lain menanyakan apa yang tenggelam, dia jelaskan di antaranya adalah tanaman padinya di sawah.
Dia menyikapinya biasa-biasa saja. Dengan nada guyon, dia menyebut bahwa banjir sudah akrab dengan warga di bantaran sungai. Sehingga, tidak menjadi sesuatu yang harus diratapi.
‘’Sejak kecil sudah biasa banjir. Sejak lahir sudah berada di dalam air,’’ kata teman tersebut, mengistilahkan betapa akrabnya warga dengan luapan air bah.
Bahkan, pernah juga seorang kawan mengaku kangen banjir, ketika lama tak datang. Tapi tidak banjir yang besar, namun banjir yang biasa-biasa saja. Suatu ungkapan yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Bisa dikatakan sombong, atau istilah orang jawa ‘ngadang kolo’ yakni berharap datangnya malapetaka.
Ada juga yang memaknai sebagai ungkapan kangen atau kerinduan itu sebagai nostalgia lama. Bencana, biasanya melahirkan rasa empati, iba atau kasihan yang kemudian melahirkan sikap gotong rotong.
Sisi kemanusiaan yang biasanya tenggelam, mendadak muncul ketika bencana hadir. Lihat saja, ketika terjadi bencana, seperti bencana tanah longsor dan banjir di Pacitan tempo hari. Banyak manusia yang tersentuh hatinya untuk bergerak melakukan sesuatu.
Mengulurkan bantuan, menjadi relawan atau bantuan lain dilakukan. Bahkan, para pejabat pusat dan daerah turut hadir. Barangkali bukan rindu bencananya, namun rindu manusia-manusia yang keluar sifat kemanusiaannya,yang dengan enteng membantu sesamanya yang membutuhkan.
Bahkan, bencana juga bisa dimanfaatkan sebagai ladang mencari simpati. Dan, saat ini adalah tahun politik. Di Jawa Timur akan digelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Di Kabupaten Bojonegoro juga akan digelar pemilihan bupati dan wakil bupati.
Maka di sebuah media sosial, kawan saya yang warga Bojonegoro menulis status yang cukup menggelitik.
‘’Para cabup+cawabup Bojonegoro engkang bade ‘Bukak Pasar Pencintraan’ monggo waruh dateng ‘Pasar Banjir’ Sumberarum. Warga siap nyambut ‘dagangan’ panjenengan’’
Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya begini, ‘’Para cabup dan cawabup Bojonegoro yang akan membuka ‘Pasar Pencitraan’ silakan datang ke ‘Pasar Banjir’ Sumberarum. Warga siap menyambut ‘dagangan’ Anda.
Dan, status yang intinya serupa juga ditulis kawan-kawan lain. Kawan saya yang menulis status ini, memang berasal dari Sumberarum, sebuah desa di Kabupaten Bojonegoro. Dan, dia adalah salah satu warga yang rumahnya kebanjiran hehehe....
Atau, kawan saya yang kangen banjir itu, barangkali sudah mencapai maqom yang tinggi. Sehingga, memaknai banjir sebagai sebuah perwujudan kecintaan Tuhan pada makhluknya. Sebab, bencana akan melahirkan banyak hikmah. Juga manfaat-manfaat yang didapat setelahnya.
Banjir bengawan akan meninggalkan tumpukan pasir hitam yang menjadi sumber penghidupan para penambang pasir. Pasir di dasar bengawan itu tak pernah habis ditambang sepanjang tahun. Itu salah satunya.
Air juga makhuk Tuhan yang memang diciptakan dan diperintah sesuai dengan sifat-sifatnya. Mengalir ke tempat yang lebih rendah dan mengisi ruang-ruang yang kosong adalah di antara sifat air.
Karena itu, perjalanan air juga dituntun oleh perintah Tuhan yang menciptakannya. Lalu kenapa perjalanan itu bisa menjadikan manusia menderita, mengakibatkan bencana ? Di sinilah bagaimana manusia memaknai keberadaan air bah itu.
Jika dimaknai sebagai bencana, tentu seluruh yang dilihat adalah bencana. Jika dimaknai bahwa air hanya menjalankan perintah Tuhannya untuk menyentuh dan mengingatkan manusia, bahwa alam butuh dikelola dengan baik. Maka, muncullah dimensi Tuhan dalam banjir yang terjadi.
Terlebih ketika kesadaran manusia itu muncul bahwa yang terjadi adalah peringatan Tuhan. Sekaligus hukuman untuk tindakan mereka yang memperkosa alam, mengekploitasi alam dan memperlakukan alam tidak sebagaimana mestinya.
Maka, hamparan air itu adalah hamparan kekuasaan Tuhan yang tak mungkin terlampaui manusia. Maka, datangnya banjir, juga bencana lain, sekaligus bisa mendatangkan kesadaran. Karena di dunia ini tidak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan.
Semua ada sebab akibat ! Selain sudah ditulis di Lauhul Mahfudz. Banjir datang karena sudah tidak banyak lagi akar-akar pohon yang mengikat mereka. Lahan resapan untuk mereka berubah menjadi permukiman, sungai menyempit dan dangkal karena serakahnya manusia.
Longsor pun tak jauh beda. Bukit-bukit itu sudah tidak lagi punya media yang menahan. Batu-batunya sudah ditambang habis. Pohon-pohon penyangga digunduli, semak perdu dibakar, maka digoyang sedikit saja, gunung dan tebing itu runtuh. Manusia menyebutnya bencana ! Padahal mungkin Tuhan hanya menunjukkan sedikit kasih sayangnya.
Terserah bagaimana manusia memaknai semua kejadian alam itu. Karena hukum sebab akibat itu selalu terjadi. Apa yang diperbuat pada alam akan melahirkan dampak, baik atau buruk.
Untuk Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo, ucapkan selamat datang pada banjir, dengan disertai datangnya kesadaran untuk memelihara alam. Wallahu a’lam.(*)