Oleh: Ikhwan Fahrudin*
Kentrung Bate adalah satu-satunya seni pertunjukan yang lahir di Desa Bate, Bangilan, Tuban. Kesenian yang lahir sebagai alat penyebar dakwah islam di zaman dahulu. Menurut Lilis Indah SSP (2015), Awalnya, kentrung ini dipopulerkan oleh Kiai Basiman, salah satu tokoh agama di Desa Bate pada zaman kolonial Belanda sekitar tahun 1930-an. Kesenian ini diciptakan untuk menyebarkan agama Islam dan menyindir penjajah yang selalu bertindak sewenang-wenang. Namun, seiring berjalannya waktu Kentrung Bate menjadi hiburan bagi masyarakat. Hingga saat ini Kentrung masih eksis menghibur warga Tuban dengan ciri khasnya. Meskipun hingar-bingarnya tak seramai dahulu.
Sejatinya setiap daerah memiliki kekayaan budaya dan tradisinya masing-masing. Dengan berbagai filosofinya dan asal-usulnya yang syarat makna. Menurut Kemuning Linda P, kata Kentrung berasal dari gabubungan kata “ngre’ken” yang berarti “menghitung” dan ngantung yang berarti “berangan-angan”, yang jika ditafsirkan secara harfiah kata Kentrung ini berarti mengatur atau menghitung jalannya peristiwa dengan berangan-angan.
Dalam penampilannya, Kentrung memiliki keunikan tersendiri. Yakni dalangnya harus wanita. Sedangkan pemainnya dibawakan oleh dua sampai empat orang. Semua pemain berperan menjadi panjak (pemain musik), tetapi ada satu orang yang berperan ganda, selain sebagai panjak dia juga sebagai dalang (pencerita). Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan ini berupa tabuh timplung (kentheng) dan rebana. Bernuansa islami khas Bumi Wali Tuban. Digunakan sebagai pertunjukan acara resmi, pernikahan, peringatan hari kemerdekaan, hingga acara adat suatu desa.
Seni tradisi Kentrung Bate, menurut dalang Kentrung Surati, merupakan seni pertunjukan yang lahir untuk memagari kultur warga desa dari serangan budaya asing. Olah seni pertunjukan kuno ini, memiliki beragam makna dan bisa dipakai untuk syiar kebajikan.
Kendati media siar yang diwartakan sebatas syair tembang yang dikemas dalam seni pertunjukan. Namun kolaburasi dengan perangkat gamelan sebagai pengiring tembang, mampu membuahkan karya seni apik.
Kentrung juga sering disebut seni teater tanpa gerak dan laku. Biasanya, pementasan kentrung berisi parikan muatan lokal yang sarat dengan canda, sehingga kesenian satu ini dulunya sangat diminati warga sebagai salah satu media alternatif untuk mengusir kejenuhan dari penjajahan
Mengenai tema dari pementasan kentrung bervariasi. Berbeda dengan tema yang diangkat dari cerita pewayangan. Namun, cenderung ke domain hikayat, sirah nabawiyah, kisah rasul, para wali, sahabat, dan tokoh Islam tersohor. Karena itulah kesenian Kentrung ini banyak mengandung pelajaran tasawuf yang bisa dipetik seperti kesempurnanurip, keutaman, purwaning dumadi, dan sangkan paraning dumadi.
Lihat saja syair dari Gending Kawitan dari perhelatan Kentrung Bate.Gending pembuka ini, menjadi pakem tak terpisahkan dari helat berkesenian tradisi. Seni Kentrung Bate; Gending alit munggwing driji, Ojo lali yen momong raga, Ya Lailla HailallahYa Muhammad Rasulallah, Lamun supe wiwitane, Kaya ngapa mring gesange, Ya Lailla Hailallah Ya Muhammad Rasulallah.
Selain itu, kentrung Bate juga mengandung nilai-nilai politik, ekonomi, ideologi, sosial, budaya dan keamanan yang disajikan dalam cerita pementasan. selanjutnya cerita ini akan diramu lagi oleh tim dalam versi jawa yang dibumbui dengan cerita roman percintaan, agar lebih segar setiap pertunjukkannya pun disisipkan lelucon-lelucon segar yang sebenarnya ditujukan untuk menyindir sikap sewenang-wenang para penjajah kepada masyarakat Bate saat itu atau masyarakat Tuban umumnya.
Terdapat pula tema-tema perjuangan di era pra-kemerdekaan Republik Indonesia yang identik dengan cerita zaman kerajaan. Seperti, Angling Dharma, Jaka Tingkir, Ranggalawe, dan yang lainnya. Si tuan rumah penanggap Kentrung bisa request tema yang akan dipentaskan. Sarahwulan, Perawan Sunthi, Angling Dharma, Amat Muhammad, Joharmanik, Ngali Martolo, Amir Hamzah, Juharsah, Jalak Mas, Siti Julaihah, Musodo Maling, dan Dewi Pertimah, misalnya.
Bahasa yang digunakan oleh dalang untuk menceritakan lakonnya adalah bahasa Kawi (bahasa Jawa kuno), sehingga sulit dimengerti oleh generasi remaja kita. Hal ini kadang menjadi kendala bagi kaum muda yang ingin melestarikannya. Harapannya, di era modern ini telah berinovasi untuk menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga bisa diterima kalangan luas.
Kentrung Tuban disadari atau bukan, telah menjadi kekayaan khas Tuban yang perlu dilestarikan. Peran serta pemerintah kabupaten Tuban sangat vital dalam keeksisan seni unik ini. Jika bisa dikembangkan, kentrung bisa dibuat sebagai destinasi kebudayaan khas Tuban. Mengingat potensi yang dimiliki cukup terbuka. Mampu mengangkat warga Desa Bate selaku pelaku sejarah pioner Kentrung.
Tingkat minat akan Kentrung dewasa ini mulai memudar. Menurut Surati, Kentrung ini terancam punah karena gagal melakukan regenerasi pada kaula muda. Jangankan pemuda dari luar daerah Tuban, pemuda asal Bate pun enggan mempelajari kesenian kentrung ini. Alasannya bervariasi, merantau keluar kota, sulit di pelajari, hingga malu menjadi pemainnya. Sungguh ironis, kekayaan budaya sebagus ini harus hilang karena tersingkap akulturasi modernitas yang belum tentu membawa kebaikan. Lebih banyak mengumbar nilai-nilai negatif dan rasa malu pemuda Indonesia untuk mempelajarinya.
“Saya sedih saat melihat anak-anak muda tidak mau belajar Ngentrung, ada saja alasannya. Padahal, jika mereka mau belajar saya ikhlas mengajai mereka. Setidaknya saat saya meninggal nanti masih ada penerus kentrung disini”, tutur Surati, seperti dilansir di tubanliterasi.com
Surati sendiri gandrung dengan Kentrung sedari kecil, saat diajak melihat Kentrung oleh Bapaknya. Hampir setiap ada pertunjukan Kentrung di sekitar daerahnya (Kecamatan Bangilan) ia melihatnya. Terkesan ada ketertarikan di setiap pertunjukan dengan tema atau lakon yang diperankan. Alhasil, rasa tertarik itu berubah menjadi rasa penasaran, dan akhirnya ia memutuskan untuk mulai belajar menjadi panjak dan ikut pentas dengan ayahnya. Semakin hari rasa penasaran itu menjelma menjadi cinta. Semakin banyak orang yang memesan kentrungnya, semakin besar pula cinta dan penghasilan yang beliau dapatkan. Hal inilah yang mendorong Mbah Rati untuk belajar menjadi dalang dan menguasai cerita-cerita yang ada.Namun itu dahulu, sekarang beda cerita.
Menilik sejarah kentrung yang panjang. Perlu kiranya kita membuka wawasan khazanah Tuban yang saat ini. Pelaku sejarah yang menonjolkan kedaerahan yang mengungkap fakta dibalik kekayaan Tuban. Apa yang menjadi kekayaan kita, kita sendiri yang menjaganya, melestarikannya, dan memviralkannya. Menjadi bangsa yang besar tatkala warganya menghargai jasa pendahulunya. Menjaga. Untuk Tubanku, Tuban Kita, Tuban bersama.
*Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Aluswah.
Kentrung Bate Kekayaan Kesenian Khas Tuban
5 Comments
1.230x view