Oleh: Dahlan Iskan
Saya dapat kabar Audry lagi di Singapura. Gadis Surabaya yang genius. Dan pernah saya tulis panjang lebar.
Kebetulan saya juga lagi di Singapura. Baru keluar dari rumah sakit. Tapi belum boleh pulang. Masih harus kontrol ke dokter lagi.
Saya balas WeChat Audry, yang mengabarkan keberadaannya di Singapura. Saya ajak Audry makan siang.
Saya tahu, Audry juga lagi kurang sehat. Karena itu saya pilihkan tempat makan di dekat tempatnya menginap.
Audry tidak langsung menyanggupi tawaran makan siang itu. Katanya: sejak kemarin saya belum tidur.
Kasihan. Pasti badannya meriang semua. Karena itu, biar pun saat itu pagi hari, saya balas WeChatnya: good night!
Saya urungkan ajakan makan siang agar dia segera tidur.
Ternyata Audry balas lagi: saya tetap tidak bisa tidur. Masih terpengaruh bau kamar tadi malam. Bau rokok.
Audry tidak bisa menerima bau rokok.
Ternyata Audry bermalam di hotel kecil yang murah. Meski pun kamar itu adalah kamar non-smoking, rupanya banyak tamu yang melanggar.
Audry. Meski anak orang kaya (orang tuanya tinggal di Graha Family, perumahan paling mewah di Surabaya), dia tetap memilih jalan sederhana.
Sepatunya jelek. Bajunya biasa. Tasnya ransel.
Bahkan kalau lagi di Surabaya, Audry tidak mau tinggal di rumah mewah orang tuanya. Dia pilih tinggal di rumah orang tuanya yang lain. Yang lebih sederhana. Hanya kacamatanya yang terlihat tebal dan mahal.
Saya pernah mempertanyakannya: kok kacamatamu mahal sekali? Dia bilang: ini menyangkut kesehatan mata, untuk membaca dan melihat. Saya belinya di Shanghai, katanya.
Oh, dia rasional sekali. Untuk organ matanya yang penting, dia tidak mau sembarangan.
Akhirnya Audry pilih ikut makan siang. Di Paragon. Dekat Orchard Road.
Kami pun asyik diskusi panjang. Pakai bahasa Inggris, Prancis, Mandarin, dan Indonesia secara bergantian. Sesekali bahasa Suroboyoan. Terutama kalau lagi bicara dengan istri saya, atau dengan Kang Sahidin dan Niki yang ikut mengurus saya.
Audry bicara Prancis kalau lagi menjawab pertanyaan istri Robert Lai. Bicara Mandarin kalau lagi menjawab pertanyaan tamu saya dari Beijing.
Siang itu kami makan bersebelas. Seru sekali. Kami bahas mengenai konsep penciptaan alam, iman, komunisme, konsep-konsep keagamaan dan kemasyarakatan.
Kini Audry berumur 29 tahun. Cerdasnya bukan main.
Umur 13 tahun dia memang sudah tamat SMA.
Lalu, karena tidak ada universitas yang mau terima mahasiswa berumur 13 tahun, dia kuliah di Amerika. Ambil jurusan fisika murni.
Hanya dua tahun kuliah sudah lulus sarjana fisika dengan predikat bukan main: magna cumlaude. Setahun kemudian sudah lulus post graduate dengan predikat yang sama tingginya.
Saat makan siang itu, Audry tidak kelihatan mengantuk. Bicaranya masih secepat pikirannya.
Audry masih juga bicara betapa menderita batinnya karena orang tua yang tidak nyambung. Tidak bisa memahami cara berpikirnya. Orang tuanya, kata Audry, hanya bicara uang, uang dan uang. Dia benci sekali.
Dua hari kemudian, Sabtu kemarin, dia kembali WeChat saya. Mengabarkan kalau orang tuanya ada di Singapura. Untuk urusan bisnis. Ingin mengundang saya sekeluarga makan siang.
Saya sanggupi untuk makan siang pada hari Minggu kemarin.
Orang tua Audry memilih lokasi di Mandarin Oriental Hotel. Inilah hotel yang menjadi favoritnya pengusaha dari Indonesia. Sekarang hotel di Orchard Road ini menjadi milik grup Lippo.
Ayah ibu Audry sudah di meja makan ketika kami tiba berlima: saya, istri, Robert Lai, Kang Sahidin dan Niki.
Audry tiba terakhir.
Rupanya Audry tidak mau tinggal di Hotel Mandarin mewah, yang ditempati orang tuanya. Audry terlihat membawa banyak buku. Begitu duduk dia lebih membuka-buka bukunya daripada bersosialisasi dengan kami atau orang tuanya.
Saya pun memanggil namanya: Audry, sudah bisa tidur? Jawabnya mengagetkan: belum juga.
Berarti sudah tiga hari kurang tidur.
Saya tanya lagi: itu buku-buku apa? Dia jawab: buku-buku pelajaran bahasa Latin.
Katanya: saya harus bisa bahasa Latin. Sebagai syarat untuk bisa diterima kuliah di salah satu universitas di Amerika.
Oh. Kuliah lagi. Kuliah lagi.
Meski dapat predikat magna cumlaude, Audry pernah mengaku kepada saya bahwa dia tidak menyukai fisika. Katanya: terlalu mudah.
Audry dulu ambil fisika hanya untuk menyenangkan orang tua. Dengan mengambil fisika Audry yakin bisa meraih predikat tertinggi. Dan orang tuanya senang.
Katanya: pokoknya orang tua saya senang begitu-begitulah. Saya benci sekali.
Kedua orang tuanya lebih banyak diam ketika kami berdebat seru soal juru selamat, soal surga, neraka, filsafat Dante, soal pacar, lelaki idaman yang dia inginkan bakal jadi suaminya dan soal perkawinan.
“Kami tidak pernah paham pembicaraan begini-begini,” ujar ibunya kepada saya. Setengah berbisik.
Saya bisa bayangkan betapa dingin hubungan anak-orang tua ini. Padahal Audry adalah anak satu-satunya.
Bahwa Audry tadi datang membawa buku-buku berbahasa Latin, mungkin dia membayangkan makan siang yang dihadiri orang tuanya ini akan sangat membosankan. Karena itu dia siap dengan temannya sendiri yang lebih mengasyikkan: buku.
Ternyata buku itu akhirnya tidak dia tengok lagi. Kami berdebat seperti dua hari lalu. Atau seperti saat makan malam di Shanghai tiga bulan lalu.
Ada yang berubah sekarang: orang tuanya sudah lebih bisa menerima Audry apa adanya.
Orang tua Audry sudah beda dengan dulu. Yang selalu ingin mengubah Audry. Menjadi gadis modis, cantik, pintar, sukses, dapat suami kaya dan hidup makmur dan kaya raya.
Kini orang tuanya ikut saya juga, menerima Audry mau apa. Meski dia anak tunggal, Audry sudah dewasa. Begitulah saran kami juga. Memang tetap tidak nyambung, tapi sudah tidak bertentangan. (*)